Saya terkejut senang ketika ditawari seorang teman ke Ladong. Di empat hari menjelang puasa lalu. Ketika kami ketemu usai shalat zuhur di masjid Oman, Lampriek.
“Ladong kawasan industri,” katanya datar.
“Ah,, ” jawabnya saya kecewa sembari menggelengkan kepala. Bukan isyarat menolak. Tapi bingung.
“Di Ladong ada kawasan industri?” tanya saya kepada sang teman sembari mengerenyitkan dahi, menyipitkan mata dan memonyongkan mulut.
Sang kawan tersenyum menyebabkan saya salah tingkah.
Sebelum menuruni anak tangga untuk menuju parkiran kami berhenti sejenak
Dan ia bertanya: “Anda nggak tahu di Ladong ada kawasan industri? Ah.. wartawan ketinggalan zaman,.” Ia mengejek saya. Ejekan biasa di antara teman.
“Dulu saya kan ikut sebagai anggota tim waktu merancangnya.”
Saya diam karena memang tak tahu. Atau karena tidak mau tahu. Yang saya tahu ia seorang pejabat di provinsi. Tapi tak tahu ia sebagai anggota tim yang ikut merancang kawasan industri itu.
Yang saya tahu Ladong adalah sebuah gampong di kawasan sepi usai pantai Ujong Batee. Kabupaten Aceh Besar. Dan kecamatannya masjid raya.
Entah kenapa kecamatannya masjid raya. Saya juga tak tahu. Yang saya tahu masjid raya itu di kota Banda Aceh. Di tengah kota pula.
Kalau saya nggak tahu, Anda mungkin tahu jawabnya.
Awalnya saya senang ajakan ke Ladong yang Ujong Batee itu. Disana saya punya banyak kenangan Termasuk kenangan dengan istri ketika masih pacaran.
Bahkan di pinggang penurunan bukit sebelum sampai ke pantai itu, dulunya, ada rumah makan favorit saya milik Haji Dan. Bersebelahan dengan kolam ikan buatan. Yang kini. rumah makan terkenal itu, sudah tutup. Pindah ke Simpang Jambo Tape.
Ladong yang kawasan industri itu, usai diberitahu, saya kulik di google search setelah ada kesepakatan kami akan ke sana. Awal ramadhan. Sebelum saya kembali ke Jakarta
Kesepakatan itu datang setelah saya mengiyakan ajakannya. Tapi minta waktu usai saya ziarah ke “negeri ketelatan” sana. Ia mafhum. Karena ziarah menjelang puasa itu tradisi bagi anak “nanggroe” kalau ada di rantau.
Pilihan waktu ziarah saya tak pernah berubah. Di hari “mamagang” diteruskan hari “makan-makan” agar dapat menikmati rendang beserta lamang tapai dalam sekali tepuk.
Teman itu sendiri ingin ke Ladong untuk “melancong,” setelah pensiun. Melancong usai dikabari sudah ada investor yang akan bikin pabrik.
Pabrik cangkang sawit milik perusahaan Alpine Green. Yang rencana semula produksi perdana di April. Ekspornya ke Jepang. Dan kapasitas awalnya lima hingga sepuluh ribu ton.
Entahlah..
Saya tak peduli kapan pabrik dibangun, kapan produksinya dan kemana di ekspor. Sebab kalau soal cangkang saya so pasti tahu hafalannya.
Hafalan dari grup investasi seorang teman di Pal Merah yang sudah produksi cangkang dan sudah puluhan kali ekspor yang benefitnya cukup besar.
Saya ingin menulis tentang cangkang atau tempurung kelapa sawit ini secara khusus. Nantilah. Kapan-kapan.
Dan di dua ramadhan kesepakatan ke kawasan industri Ladong dengan sang teman saya penuhi. “Kita pakai satu mobil saja agar bisa ngobrol,” katanya usai menjemput saya ke rumah menjelang duha.
Duha yang kami laksanakan di masjid Oman. Maklum bulan puasa. Kan ibadah harus lebih banyak. Padahal sebelumnya duha sering terlewatkan.
Menuju ke Ladong nggak sulit. Jaraknya pun dua puluh satu kilometer. Jalannya mulus. Cuma agak menyempit di kawasan Kajhu menjelang pintu tol Sibanceh. Sigli-Banda Aceh. Sebelum Lambada Lhok.
Setelah itu ces… mendaki bukit kecil Ujong Batee. Turun. Terus jalan lurus. Ketemu sekolah menengah perikanan.
Yang menghambat perjalanan kami di hari awal ramadhan itu adanya pelebaran jalan sebelum belokan menuju kawasan industri. Itu pun nggak menyebabkan kemacetan. Kan lintasan ini sepi. Sepiii… sekali.
Kenderaan bisa dihitung dengan jari. Jari kiri menghitung truck be-be-em dan jari kanan menghitung mobil pribadi. Selebihnya Anda sendiri bikin perhitungan.
Dalam perjalanan dengan sang teman saya bercerita tentang kawasan industri Cikarang yang sering saya sampiri karena diajak teman yang punya…… di sana.
“Oo.. alah… Anda jangan samakan ini dengan Cikarang, Krawang atau Bekasi. Bahkan nggak usah banding dengan kawasan industri medan yang sudah berpinak tiga. Kim satu, dua dan tiga,” katanya.
Saya terdiam dan menyindirnya. Apa bisa menyamai Cot Gapu?
Ia tertawa. “Masa lalu,” katanya. Saya tak peduli. Terus menyindir. Dan bercerita tentang Cot Gapu yang punya pabrik korek api dan kawat. Yang pemiliknya investor Aceh. Perusahaan Puspa.
Saya juga bercerita tentang perusahaan NV Permai, Firma Lubuk dan Azeyma Coy milik anak “nanggroe” yang moncer membuka cabang hingga ke Jakarta dan punya link bisnis ke Penang dan Singapura sebagai trading.
Bercerita juga tentang Markam, Ibrahim Risyad dan orang kaya Aceh masa kini yang punya duit berlimpah tak pernah punya keinginan untuk membawa duitnya pulang,
Bahkan saya juga menyindir tentang orang kaya Aceh yang kini berkibar di dunia politik menelantarkan bangunan sebuah hotel di Sabang
Walaupun Cot Gapu kini sudah inalillahi untuk diwarehkan ke perkantoran pemerintah daerah kabupaten Bireuen. kawasan itu pernah menterang dan jadi kenangan.
Seperti kenangan terhadap Pardede Textil. Pardede yang kayanya minta ampun dengan industri dasarnya di Medan. Pardede yang punya klub sepakbola dan diangkat Bung Karno sebagai Menteri Berdikari.
Saya juga menyindir sang teman, bukan menyindir pemerintah Aceh yang sudah menggelontorkan duit sebesar seratus enam puluh milyar untuk kawasan industri Ladong lewat perusahaan Pema. PT Pembangunan Aceh.
PT Pembangunan Aceh yang saya tak kenal kiprah estate tapi kenal dengan direkturnya. Kenal amat karena pernah duduk sepapan dan saling tahu trah masing-masing.
Tapi saya tak menyapanya. Apalagi menanyai tentang Pema yang membangun Ladong. Padahal nomornya masih teregistrasi di handphone saya.
Karena saya “say hello” bisa menyebabkan tulisan ini tersendat akibat kedekatan silaturahmi.
Anda pasti tahu namanya. Dan dari mana ia menyalin nama perusahaan itu. Yang ada kata pembangunan dalam dua kata.
Nama yang saya ejek menyalin PT Pembangunan Jaya milik Jakarta. Yang di era gubernur Sumarno mengajak Ciputra menggawanginya dan mengubah wajah Ancol yang tempat mesum dan jin buang anak menjadi monumental.
Apalagi setelah Ali Sadikin menjadi gubernur pembangunan jaya berkibar menjadi real estate kenamaan.
Lantas Pema!
Maaf! Saya nggak percaya bisa berkibar.
Membangun kawasan industri cepek macam Ladong saja nggak selesai-selesai sejak empat tahun lalu. Padahal duitnya digelontorkan dari apebede yang hitungannya tak ada break efent point. Kembali modal. Apalagi menndapat laba.
Pejabatnya bertitel sarjana teknik. Sama dengan bos atasnya yang selalu membanggakan diri dengan gelar akademis yang aristek.
Sindir menyindir dan daleh ke daleh menjadi isian kami di perjalanan menuju Ladong.
Apakah itu membatalkan puasa, saya tak tahu. Yang saya tahu debat kami itu disertai tawa berderai. Kalau pun ada ghibahnya itu terjadi setelah saya memindahkannya ke tulisan ini.
Dan biarlah saya yang menanggung dosanya. Dosa jurnalis yang berghibah ketika meluruskan yang bengkok.
Saking asiknya kami “maota” perjalanan akhirnya mendekati Ladong dengan sedikit hambatan. Hari itu ada pemasangan pembatas jalan. Plus pelebaran di kiri kanannya.
Sebelum belok menuju kawasan industri itu ada keude kampung kiri kanan jalan. Masih “miskin” dagangan.
Mungkin belum kecipratan raseuki kawasan industri. Dan entah kapan raseuki itu datang yang meningkatkan status mereka menjadi kaya saya nggak tahu. Mungkin juga nggak datang-datang. Dan mereka mungkin tetap dibarisan ta dong-dong.
Seperti yang diorasikan seorang pengamat yang menulis di sebuah online dan mengatakan kawasan industri Ladong akan menjadi tempat “buya gampong tadong-dong…” Lanjutnya silakan….
Kalau saya terserah apa kata orang. Saya jujur saja ingin menulis yang benar dan salah dalam kaidah jurnalis.
Datangi lokasi, crosceck kebenarannya dengan data, cocokan lagi dengan kebutuhan plus..plus … lantas tulis. Kalau kaidahnya begini pasti tak ada hujatan dan angkat telurnya. Tak ada umpatan dan pujiannya.
Lantas bagaimana dengan lokasi kawasan industri Ladong?
Saya senang saja melihat lokasi kawasan industri itu begitu kami memasukinya. Yang berisi banyak tumpukan pasir dan sebuah bangunan yang ditunjuk sang teman sebagai pabrik cangkang.
Pabrik cangkang Alpine Green Energie. Yang saya tidak tahu bagaimana prosesnya. cangkang itu sebelum di ekspor. Apakah hanya pembersihan atau pengolahan. Apakah juga ada produk untuk disalurkan ke industri.
Yang saya tahu Jepang memang butuh cangkang kelapa sawit berapa pun ketersediaannya. Cangkang yang bisa menjadi enerji hijau. Cangkang yang juga bisa sebagai makanan ternak. Dan cangkang yang bisa untuk bahan kosmetik.
Alpine Green?
Ya, Anda tanya sendirilah. Sebab saya tak sempat tanya ketika takziah kesana.
Yang sempat saya tanya hanya tentang lokasi. Yang kata sang teman sudah dicadangkan seluas enam puluh enam hektar dan lahan yang siap pakai tujuh belas hektar.
Saya termasuk bukan orang infrastruktur. Tak tahu apa yang dimaksud siap pakai. Yang saya tahu lahan siap pakai macam di Cikarang. Fasilitas jalan, listrik, air, dan saluran dan entah apa lainnya beres.
Di Ladong.
“Masih apes ya,” ceplos saya tanpa melengos ke sang teman. Entah terdengar entah tidak ceplosan saya. Dia lanjut mengatakan,”inilah lokasinya.”
Bukan seperti lokasi yang sehari-hari saya pelototi kalau pulang pergi di Summarecon. Yang pekerjanya berjubel dengan alat berat sibuknya ya ampun ketika beko menghenyakkan geriginya menggali embung untuk pembuangan air.
Walaupun begitu saya gembira juga. Kok perusahaan Alpine Green Energy mau tampil sebagai tenant pertama. Tenant yang diorasikan oleh pejabat dapat mendorong calon-calon tenant lainnya.
Walaupun calon tenant itu masih diawang-awang dan sedang berkalkulasi tentang cost dan benefit investasi. Karena ingin mendapat finalisasi jika beraktifitas di Ladong.
Dan saya tahu juga aktivitas kawasan industri atau sektor industri di suatu wilayah, akan memberikan efek yang luas bagi perekonomian setempat. Itu kan bacaan sekolah dasar para wartawan ekonomi bisnis. Atau jurnalis ekbis.
Apalagi kalau dikatakan dapat memicu pertumbuhan ekonomi di Aceh.
Oke sajalah. Ngapain harus diperdebatkan.
Selain itu, di dalam kawasan juga telah tersedia beberapa infrastruktur dasar seperti jalan, kantor pengelola, maupun jaringan energi dan jaringan air yang terkoneksi Itu kan katanya. Bukan kata investor yang biasanya nyinyir untuk mendapat fasilitas penunjang gratis.
Dan juga bukan kata saya yang datang sebelum zuhur itu.
Kata saya yang keliru datang datang di hari-hari pertama puasa. Hari-hari pertama puasa di Aceh kalendernya biasa fakultatif. Setengah libur.
Dan katanya lagi ekspor tempurung kelapa sawit Alpine Green itu di bulan Mei.
Karena saya datang di awal Mei hingga kini nggak tahu apa udah ekspor. Kalaupun belum bisa di bulan Juni,,, bisa Juli… Bisa juga sudah ekspor atau bisa besok, lusa dan bisa lagi….
Hari-hari ini pun sudah lewat pekan pertama Juni.
Kan ekspor cangkang tak repot dengan daluarsa. Produk cangkang itu nggak bisa busuk seperti daging buah sawit…Namanya saja cangkang. Tempurung. Yang isinya sudah menjadi minyak goreng mak-mak.
Cangkah yang dulu menjadi limbah dan dimanfaatkan untuk menimbun jalan sekitar pabrik crude palm oil. Kalau Anda nggak percaya datang saja ke Lau Butar, Seumayam dan Seunagan yang pabrik ce-pe-o punya socfindo. Yang permukaan jalan didepannya ber”aspal” cangkang. Tempurung.
Karena itulah saya melewatkan untuk menulis apa cangkang itu secara utuh kali ini. Takut kalau nantinya saya dituduh hoaks karena memberitahu Anda tentang pabrik tempurung di Ladong.
Pabrik tempurung aja kok repot.
Kalau ini dibincangkan pasti akan muncul sindiran, kok lebih jongkok dari Cot Gapu. Yang ada pabrik korek api dan kawat,
Itu namanya “ambyar.” seperti jargon Roy Suryo.
Dari sisi posisi, seperti saya katakan ke teman, usai kami bergegas pergi karena ada kumandang azan, Ladong kawasan industri ini bagus
Bahasa kerennya “competitive advantage”nya strategis. Akses ke bandara internasional blang bintang bisa lewat pintu toll Lambada
Pelabuhan? Malahayati cuma sepuluh kilometer. Cuma, kalau ke Ulee Lheu yang agak jauh. Tiga puluh kilometer.
Rencana master plan Ladong, core business-nya penyewaan lahan, penyewaan bangunan, unit perkantoran, unit multi fungsi, unit warehouse, dan pengelolaan limbah industri.
Tapi belum ada fisiknya.
Zonasi tenannya bergerak di industri makanan halal, manufaktur, logistik, dan industri kimia.
Kalau ditanya apa betul begitu. Pasti saya jawab: diatas kertas oke.
Lantas Anda tenteu akan bertanya, tahun berapa kawasan itu akan benar-benar bisa dinamakan kawasan industri
Kalau itu yang ditanyakan saya jawab, wallahulam saja.