Site icon nuga.co

Otonomi Simeulue

Setalah 12 tahun berstatus kabupaten, Simeulue memang prototype seutuhnya sebuah wilayah simalakama. Ketika pilihan yang tersedia hanya prestise dengan mendahulukan kepentingan politik dari pada kesejahteraan dan pelayanan.

September lalu, wartawan kami, Darmansyah memotret simelue dari dekat. Sebuah wilayah yang kini bukan lagi penghasil cengkeh atau pun pengekspor kopra atau juga pemilik kayu rasak di hutan Sibigo. Bahkan rotan yang melilit hutannya kini tinggal kenangan. Janji pembangunan tak pernah terwujud. Tulisan dengan tema Simeulu ini ditampilkan beberapa bagian, untuk disajikan sebagai pembelajaran bagi para pemangku kepentingan dan pembaca.

***

Eksprimen pemekaran daerah jilid tiga di Aceh yang mengantarkan Kepulauan Simeulue meraih status otonomi penuh, setelah berkutat dengan perwakilan kabupaten selama dua puluh tahun dan dilanjutkan dengan daerah administratif tiga tahun berikutnya, hanya menghasilkan produk kebanggaan tanpa diikuti  prestasi yang mendekatkan kemakmuran bagi masyarakatnya.

Produk otonomi ini adalah “perjudian” politik sebagaimana pola manipulasi daerah otonomi baru yang mekar di negeri ini tidak terkecuali di Aceh. Manipulasi dari gerakan elite daerah, background sejarah pemerintahan, angka-angka demografis dan potensi ekonomi yang diramu dalam proposal gerakan dukungan massa.

Memerlukan waktu, ruang dan uang untuk mencapainya hingga nun jauh ke Jakarta sana. Dan itu pula yang dilakukan oleh elit Simuelue seperti, untuk menyebut satu nama, Sutan Asin ketika menenteng map selama bertahun-tahun ke Meulaboh, kabupaten induk, ke Koetaradja bahkan sampai ke Depdagri dan DPR di Jakarta. Hasilnya tak pernah dinikmati Pak Sutan karena turunan minang yang kakek neneknya datang ke Sinabang duluan berpulang sebelum Simeulue benar-benar mendapatkan otonomi.

Benarkah kondisi riil dari geografis, potensi dan demografis yang menjadi  dasar perjuangan dan pemberian otonomi yang selalu diretorikan untuk mendekatkan kesejahteraan kepada masyarakatnya. “Mana ada itu,” ujar seorang pengamat pemerintahan di Banda Aceh dengan ketus.

Tidak terkecuali Simeulue atau yang lainnya. Bukan sebuah kondisi riil dari potensi yang disediakan daerah secara geografis dan demografis sebagai basis yang diperjuangkan untukl mendapat kabupaten. Simeulue sulit untuk dikatakan  kawasan potensial, strategis dan layak mendapat kabupaten kalau mau jujur-jujuran. Simeulue juga bukan sebuah pulau dengan kekayaan melimpah yang bisa merepresentasikan status otonominya untuk mengacu pertumbuhan pembangunan dari duit sendiri.

Simeulue memang “simalakama” sebuah otonomi. Penantian yang panjang untuk mendapatkan status itu harus melewati fase berjenjang. Dari status kewedanaan di permulaan kemerdekaan hingga perwakilan kabupaten, daerah administrtatif untuk kemudian  setelah 44 tahun barulah mendapatkan otonomi di tahun 1999 yang kala itu dirayakan sebagai Hari Kemerdekaan.

Otonomi Simeulue, kalau kita mau jujur adalah pilihan antara prestise dan prestasi. Dan pilihan finalnya ya, prestise. Pilihan emosianal politis untuk mendiamkan tuntutan “pemberontakan” setelah  elite daerahnya menggertak akan beralih payung provinsi jika tidak disediakan wadah otonomi.

Selisiklah geografisnya yang terasing di kolam samudera bagian barat Aceh yang  jarak terdekatnya dengan daratan 86 mil laut dan butuh waktu 10 jam untuk bisa mencapainya bila naik ferry. Kondisi cuaca  pada musim barat makin menjauhkan pulau ini yang amat tergantung dengan  transportasi laut ini. Penerbangan? Pasti sangat mahal karena home base pesawatnya di Polonia, Medan sana.

Kedua pilihan transportasi pasti   tidak diminati investor. Dan hanya subsidi yang bisa menggerakkannya. Dan itu pula sampai, entah kapan,  yang ditanggung oleh anggaran Kementerian Perhubungan lewat mata anggaran daerah tertinggal, yang dulu dilabel dengan penerbangan dan pelayaramn perintis.  “Siapa yang mau investasi di sektor ini kalau tidak ditopang subsidi,” tutur seorang pejabat di provinsi yang baru pensiun dari jabatan perhubungan.

Itu baru dari satu sisi kecil. Sisi lain, secara demografis jumlah penduduknya  hanya hunian sebuah kecamatan di daerah lain. Cuma 83 ribu orang berdasarkan update BPS terakhir.

Dengan sepuluh kecamatan dan hampir 200  desa coba hitung dengan tepat berapa distribusi penduduk  di setiap pedesaan dan bagaimana membagi rata dana perdesa. Sebagai contoh, di kecamatan Simeulue Timur saja, tempat kota kabupaten bermukim terdapat 29 desa. Apalagi, setelah kami jelajahi desa-desa di Simeulue terpencar-pencar dan ada yang dihuni tidak lebih dari seratus jiwa.

Dan ketika masalah desa yang inflasi ini kami diskusikan dengan drs. Soetardji M, mantan kepala biro pemerintahan di provinsi ia cuma ketawa sembari nyeleneh dengan ucapan guyon. “Mereka surut kebelakang dan berpikir  ketika zaman orde baru yang setiap desa mendapat dana bandes. Kala itu banyak desa banyak rezeki tahunannya.”

Sedikit serius pensiunan pejabat dan dosen ilmu pemerintahan itu menasehatkan, seharusnya desa-desa itu di-regrouping kembali. Jangan tambah dimekarkan. “Tak ada manfaatnya dengan sistem otonomi dan anggaran sekarang,” katanya.

Kini bukan hanya provinsi, kabupaten dan kecamatan yang kena penyakit taun, gila sampar, yang dimekarkan. Desa-desa juga makin kencang berlomba mendapat status desa otonomi baru.

Potensi? Apa yang tersisa setelah cengkeh tak “berbunga” rupiah dan kopra yang tak laku-laku. Bahkan rotan dan kayu rasak, sejenis jati, sudah lama raib dan digantikan kebun sawit yang mengantarkan Bupati Darmili beberapa tahun lalu menjadi pesakitan dan dihukum percobaan yang menyebabkan jabatannya urung dicpot.

Selisiklah  income per capita-nya. Pergerakannya sangat lamban dan nyaris tak bergerak signifikan dengan dana yang dikucurkan. Selain masih jauh dari angka nasional juga masih mengikuti trend pertumbuhan provinsi. Ini  mengindikasikan masih lekatnya masalah kemiskinan menempel di masyarakatnya.

Ini bisa dibuktikan dari kecilnya pendapatan asli daerah. Dan Simeulue, seperti kabupaten dan kota lainnya di Aceh, baik kabupaten induk maupun daerah otonomi baru, masih bergantung dengan rente Jakarta yang  kini bernama DAU. Dan tahun lalu Simeulue mendapat gelontoran dana alokasi umum ini  dari APBN  sebesar Rp 260 milyar.

Masih ada rente lain sebagai susu yang mereka terima secara recehan dari provinsi, dana otonomi khusus dan dana bagi hasil migas, yang pengelolaannya masih menjadi centangprenang dan pengendalinya juga masih memunculkan dakwa-dakwi yan tak pernah selesai antara kabupaten kota dengan provinsi.

Dana-dana, yang lebih dari 60 persennya, berdasarkan profil anggaran Simeulue, dibelanjakan untuk kegiatan rutin, terutama belanja pegawai. Dengan dana sebesar itu yang belanja perjalanan dinas dan indek biaya hidup yang tinggi tidak akan banyak membantu percepatan pertumbuhan pembangunan di sana. Apalagi sejak awal mereka harus membangun gedung perkantoran, rekruitmen pegawai dan membeli semua mesin pendukung pemerintahan. Belum lagi yang disisakan untuk dibancak secara berjamaah.

Dalam kondisi gambling otonomi bermuatan gengsi itu,  kami datang menjenguknya  untuk melihat  buah yang peroleh warganya setelah menyandung status kabupaten  sejak tiga belas tahun lalu. Kami  mendatangi desa udik dari pojok selatan hingga ke utara serta dari timur ke barat dan bertanya kepada penduduknya di pelosok Latiung, Suak Lamatan dan Ulu Mayang di Teupah Selatan hingga ke Lameren, Serafon dan Lafakha di Alafan bagaimana dengan  janji kemakmuran yang  sudah digadang-gadang lebih dari setengah abad lalu.

Janji yang telah disambungkan oleh bakal calon, calon dan bupati menjabat  dalam tiga pilkada sejak mereka mendapatkan otonomi setelah berpisah  dari  kabupaten induknya, Aceh Barat.

“Kicuah saado’e,” ujar Pak Nacan, tetua Desa Latak Ayah di Simeulue Tengah dalam bahasa Jamee yang sudah dimodifikasi. “Tipu semua.” Dan Pak Nacan, yang dipanggil dengan Pak Tuo itu hanya bisa  merengut ketika disuguhi pertanyaan tentang perubahan status kehidupannya. “Masih payah mambali bareh,” katanya dengan jengkel.

Bukan hanya Pak Nacan yang ngoceh dalam kalimat yang sangat perih dan pesimis tentang kesejahteraan. “Waang datang kemari dengan apa?” Setelah kami jelaskan transportasinya, ia mengangguk dan berkata,  “Sampai mati pun kami tidak akan dihampiri yang namo nyo kemakmuran.”

Mengiyakan sinisme Pak Tua, Kamal La’yon,  lelaki setengah baya dari Desa Naibos di Teupah Barat,  yang sangat kelat bahasa devayan,  di Simeulue terdapat dua bahasa dan suku lokal devayan dan sigulai,  bereaksi  dengan cepat atas  pertanyaan kami tentang arti otonomi baginya. “Apo itu otonomi,” katanya dalam bahasa Indonesia yang belepotan dengan jamee. “Sama saja nasib kami ko,” lanjutnya menggeleng-gelengkan kepala seperti orang tersangak.

Baik Pak Nacan mau pun Kamal La’yon yang berasal dari dua desa berbeda dan kutub kultur yang tak sama,  bahkan akar komunitas pun berlainan, hanya mau  diajak berkisah  tentang kemakmuran cengkeh dan kopra di empat dekade lalu yang menjulangkan kemakmuran hidup  bagi mereka. Menatap ke kebun kelapanya yang tak pernah diremajakan, Pak Nacan mengenang masa jaya cengkeh dan kopra. “Kala itu satu mayam mas sama dengan satu kilo cengkeh. Rp 16 ribu rupiah. Satu kilo kopra kering bisa beli dua arai beras,” katanya dengan  serius.

“Walau pun untuk diingat dan diceritakan kembali kami sudah sangat senang, tinimbang kondisi sekarang yang ketika bangun tidur pagi hana meupat bu beungoh. Ini derita kami,” kata Pak Nacan bergurau mengutip sebuah joke yang di Aceh sana menjadi kalimat pembenaran atas kemiskinan.

Pak Nacan ketika disodorkan pertanyaan tentang kota Sinabang yang sudah maju mengatakan, selama sepuluh tahun terakhir hanya sekali berkunjung ke kota itu ketika anaknya sakit batu karang dan dirujuk ke Banda Aceh. Rumah sakitnya saja tak mampu mengobati penyakit kencing batu.  Apa itu maju? “Tak ada juga kemajuan. Kami hanya disuruh makan uap kata otonomi saja. Yang makan duitnya mereka-meraka,” katanya dengan suara meninggi.

Simeulue memang prototype seutuhnya sebuah kabupaten simalakama. Ketika pilihan yang tersedia hanya prestise dengan mendahulukan kepentingan politik dari pada kesejahteraan dan pelayanan. “Mereka  memang sudah memilih prestise. Semua orang tahu itu,” kata mantan kepala biro pemerintah provinsi  lainnya yang enggan dituliskan namanya.

Sang kepala biro yang ikut memproses lahirnya Kabupaten Simeulue, dan berasal dari kabupaten yang sama sebelum pulau itu berpisah,  terus terang mengatakan, secara ekonomi mana layak  mereka mendapatkan status itu. “Ini persoalan politik. Dan kalau tidak jadi kabupaten mau jadi apa mereka,” katanya dengan serius.

Pejabat yang hafal seluk beluk ilmu pemerintahan beserta policy pembangunan itu mengatakan, dijadikannya Simeulue menjadi otonom jangan hanya dilihat dari aspek politis doang. “Mereka memang menderita penyakit gagap ketika harus men-justifikasi-kan kemampuan daerah untuk membiayai diri sendiri.”

“Tapi ingat, mereka sudah lama terasing dalam kungkungan isolasi yang amat pedih. Dan status kabupaten dengan istilah ikutannya otonomi itu adalah kebanggaan. “Biarlah mereka memanggul kebanggaan itu Dan jangan tanyakan apa mereka sudah makmur? Itu kan perjudian yang memang diakomodasi oleh peraturan,” katanya tuntas. [ ]

Exit mobile version