Kepulauan Simeulu yang berbatas langsung dengan Samudera Hindia, menyimpan banyak potensi. Kaya alam dan lautnya, tapi belum ada sentuhan pembangunan yang berdurasi tinggi setalah 12 tahun berstatus kabupaten.
September lalu, wartawan kami, Darmansyah memotret simelue dari dekat. Sebuah wilayah yang kini bukan lagi penghasil cengkeh atau pun pengekspor kopra atau juga pemilik kayu rasak di hutan Sibigo. Bahkan rotan yang melilit hutannya kini tinggal kenangan. Janji pembangunan tak pernah terwujud. Tulisan dengan tema Simeulu ini ditampilkan beberapa bagian, untuk disajikan sebagai pembelajaran bagi para pemangku kepentingan dan pembaca.
***
Pulau dalam pelukan gempa yang teronggok di kolam samudera itu masih tetap miskin, ketika kami kembali menjenguknya. Dua belas tahun usai ia ditabalkan sebagai kabupaten, di ujung tanggal September lalu, kami masih belum menemukan sentuhan pembangunan berdurasi tinggi yang memolekkan infrastrukturnya dan melepaskannya dari isolasi psikologis sebagai warga di lini kedua.
Anak pulaunya, ketika kami menyusuri Teupah Barat, Teupah Selatan, Simeulue Barat dan Simuelue Timur hingga melongok ke kampung-kampung di Alus-Alus atau pun memutar ke Lamayang, Alafan, Salang maupun Kuta Padang dan masih belum sembuh benar dari penyakit minder complex.
Sebuah penyakit yang datang menghinggapi penduduknya ketika semarak pembangunan memunggungi negerinya hingga terkelepar ke jurang kemiskinan beristilah struktural. Penyakit yang terus berbiak meretas harga diri mereka akibat keterasingan yang panjang, berliku dan menjemukan hingga mereka mengucilkan diri dalam sikap diam membarakan dendam amarah
Simeulue memang sebuah keterasingan ketika sebagai minoritas yang terbelah dalam suku anak pulau, devayan dan sigulai, mereka harus tertatih-tatih untuk mendapatkan ruang bersaing dengan komunitas pendatang di pusaran negerinya sendiri.
Anak-anak Simeulue tumbuh menjadi pemurung, pemarah terkadang nyelekit sebagai dampak tersumbat aspirasi mereka ketika memasuki ruang publik. Itu memang sebuah penyakit dari keterasingan. Penyakit yang juga menjadi keputusan ketika mereka surut kepedalaman dan membiarkan dominasi pendatang bergerombol di pusat-pusat pertumbuhannya.
Dominasi Minang, Barus dan Jamee yang lebih elegant dan memiliki akar sejarah sebagai migran yang alot membuat anak-anak asoe lhok Simeulue terkunci di pojok Sibigo, Nancala, Kampung Aie atau pun Ulu Mayang. Mereka hanya bisa mengompensasikan harga dirinya dengan bercas-cis heboh dalam bahasa ibunya, devayan atau sigulai yang rumpunnya dari austronesia, sembari mengumpat kebijakan isolasi panjang yang membuat mereka terlunta-lunta selama beberapa dekade. Mereka diayak dengan janji jalan lingkar, diversifikasi komoditi, transportasi terpadu dan terjadwal serta pengembalian retribusi cengkeh.
“Semuanya omong kosong. Kami hanya diberikan peningkatan status menjadi daerah otonom kabupaten dengan pepesan kosong. Kabupaten dengan anggaran minim dan menjadikan birokrat sebagai warga istimewa, menyalin peran ulee balang yang bagaikan zelfbestuur dan bisa membancak duit dana alokasi umum yang berjumlah Rp 260 milyar atau pun dana otonomi khusus dan memindah-mindahkan jumlah rupiah dengan teknik mengubah-ubah mata anggaran untuk melanggengkan jalan korupsi secara beranak pinak,” kata Amidan anak Simeulue yang sukses di Medan dan enggan pulang karena muak melihat tingkah aparaturnya.
Simeulue memang sebuah kealpaan dari pilinan janji ketika cengkeh merekahkan harapan di penghujung tahun enampuluhan. Janji yang raib atas nama pembangunan masih tersentralisasi dan kini dipelintir setting-nya menjadi kisah “olok-olok” tentang kedunguan anak-anak pulau yang membelanjakan uang dengan pelesir ke Sibolga, Koetaradja, Medan dan Padang mencarter pesawat twin otter, atau pun menjadikan televisi jadi barang pajangan serta cerita kulkas yang menjelma jadi lemari pakaian.
Sebaris olok-olok yang disisakan sebagai “kesalahkaprahan” dan menjalarkan kepedihan hingga mereka hanya bisa bergumam dalam bisu berkepanjangan hingga hari kami ziarah.
Guman yang selalu dilepaskan oleh karib saya yang sudah berpulang, Ibnu Aban GT Ulma (Ulu Mayang), terakhir wakil bupati untuk dua kali masa jabatan, setiap kali bertemu dan mengugat dengan kalimat bernada testimoni, “Apa salah kami hingga diolok-olok sebagai manusia tidak waras.”
Iban, begitu kami selalu menyapanya, menyimpan “dendam” keperihan sebagai anak Simelur yang bersekolah ke Banda Aceh dari duit cengkeh dan selalu mempertanyakan reorientasi provinsi atas tanggungjawab pembangunannya. Gugatan itu selalu disuarakannya dengan lantang. Suara anak Ulu Mayang, sebuah desa di Simeulue Timur, ke setiap lembaga, personal dan organisasi nirlaba dan tidak pernah menemukan jawaban, yang dikemudiannya ia bawa mati.
”Jangan biarkan kami sendiri merealisasikan pembangunan. Ongkosnya sangat mahal. Mana ada uang negeri pulau itu untuk menuntaskannya pembangunan infrastruktur secara terpadu. Subsidi. Jangan hitung untung laba membangun sepotong daratan di tengah samudera sana itu,” kata-katanya yang selalu kami ingat setiap kali bertemu, entah di Banda Aceh atau di Medan.
Ibnu Aban benar. Hingga hari kami datang menjenguk kabupaten miskin dengan populasi mini dan transportasi terbatas itu, mereka masih bergulat dengan segepok perencanaan yang tidak tahu darimana sumber pembiayaannya. Segepok masalah yang setiap kali direalisir selalu di gelitik bencana karena posisinya daratannya berada di hunjaman lempeng samudera.
***
“Ring road?” ujar Zaiton, seorang guru sekolah menengah di Kampung Aie, Simelue Tengah, balik bertanya ketika kami gelitik memorinya tentang realisasi rencana pembangunan yang dicanangkan empat puluh tahun lalu.
Dengan suara ketus bernada tinggi sembari mendelikkan mata dengan tatapan sinis lelaki baya itu menjawab dengan jujur, “Kalau tidak disentuh BRR, sebuah badan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dibentuk usai gempa dan tsunami, mungkin Anda masih harus naik ojek, meniti jembatan batang kelapa yang lapuk atau pun menyebarang muara sungai yang kering ketika pasang surut dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk sampai ke desa ini.”
Padahal jarak Kampung Aie dengan Sinabang, kota kabupaten, hanya berjarak 60 kilometer dan telah menjadi bundelan final rancang bangun hingga ke Bappenas sejak tigapuluh lima tahun lalu. Lintasan ini menjadi ajang janji selama berperiode setiap kali calon legislatif atau eksekutif berkampanye ke negeri pulau itu.
Zaiton memang ciri anak pulau yang ketus. Mual dengan lapisan janji yang telah berdaki. Dan menerkam pertanyaan tanpa basa basi dengan jawaban menyentil. Ia bisa saja meluapkan rasa berangnya ketika diusik tentang janji yang pernah diobral provinsi untuk mengeluarkan mereka dari keterkungkungan transportasi massal, murah dan aman..
Simeulue memang sebuah pecahan dari entitas kabupaten “ketelatan.” Negeri pulau itu berhasil “membeli” status otonomi ketika pemerintah membuka jalan bagi pembentukan kabupaten baru di tahun 1999 setelah selama tiga tahun sejak 1996 berstatus kabupaten administratif dan masih menyusu ke Aceh Barat. Negeri ini mendapatkan identitas sebagai kabupaten bersama Aceh Singkil tanpa pernah mengelupaskan label “pe-em-a-be-es”nya bersama negeri-negeri lainnya di irisan belahan barat hingga selatan Aceh.
Label Persekutuan Masyarakat Aceh Barat Selatan (PMABS) yang jumut dengan ketinggalan dan diusik dengan olok-olok negeri yang membiakkan ilmu tenung dan sijundai sebagai trade mark untuk menyingkirkan komunitas ini di posisi elite birokrasi Aceh.
Entitas yang semula hanya terdiri dari dua kabupaten untuk kemudiannya membelah diri bagaikan amuba dan membagi kemiskinan secara merata di antara penyandang status kabupaten dan kotanya. Kini negeri itu telah menjadi delapan daerah otonomi tanpa pernah menjadi makmur dan tetap dinomor tigakan ketika menuntut hak toelagh-nya sebagai tanah merdeka untuk menghapus isolasi infrastruktur dan psikologisnya.
Hak yang dicicil pembayarannya lewat janji berdurasi panjang yang menyebabkan mereka terkungkung dalam isolasi infrastruktur dan kultur yang complang hingga mereka memutuskan untuk lebih mendekatkan diri ke orientasi yang sangat Sibolga, Padang dan Medan.
Simeulue, seperti tetangganya yang lain di komunitas PMABS adalah sebuah entitas yang ketika diadakan khauri blang untuk faraidh kekuasaan dihitung jatah posisinya di sentral pemerintahan negeri ini. Mereka hanya disapa dan diusap uap napasnya dengan janji dari sebuah kata “akan.” Janji yang memualkan ketika digelar hajat mendulang suara dan diucapkan dengan bersinyinyir tentang akan adanya memakmurkannya bila mereka meraih kekuasaan.
Datanglah ke Simeulue dan napaktilasi jalan lingkar yang digadang-gadang sejak tiga dekade lalu dengan label yang membengkokkan lidah ketika mengejanya, ring road. Dan ketika kami datang berziarah nyaris terpotong-potong tanpa pernah tersambung secara utuh sebagai sebuah infrastruktur berjaringan yang mengenyahkan isolasi perkampungan udiknya.
Jalan yang tak jelas status apakah jalan kabupaten atau provinsi. Dan yang pasti bukan jaringan jalan negara. Yang jelas pula biaya perawatannya akan menguras kocek dan ketika kami berkunjung kondisinya mulai terdegradasi akibat tambal sulam karena keterbatasan anggaran kabupaten.
“Mengharapkan dana perawatan dari anggaran kabupaten memang sulit. Kini anggaran kita sudah dihisap belanja pegawai yang mendekati dua pertiga APBK,” kata seorang pejabat kabupaten. Dari PAD? “Malu saya mengatakanbesarannya.”
***
Simeulue, kini, bukan lagi pulau penghasil cengkeh atau pun pengekspor kopra atau juga pemilik kayu rasak di hutan Sibigo. Bahkan rotan yang melilit hutannya kini tinggal kenangan setelah pemerintah kabupaten membabatnya melalui landclearing tak terkendali untuk kebun kelapa sawit yang awalnya menjanjikan kemakmuran tapi tak pernah terwujud..
Simeulue kini tinggal pulau kenangan. Pulau yang semula dirancang dengan optimisme menghapus cap keterasingan dan kemiskinan. Pulau yang digadang-gadang memiliki moda transportasi terpadu, udara, laut dan jalan lingkar. Pulau yang nyatanya, kini, terengah-engah membangun kesejahteraan penduduknya tapi tak punya sumber dana memadai.
Dana yang semula dimimpikan datang dari investor dengan menjual profil yang acak, bias bagaikan mengecat langit. “Tidak fokus. Spekulatif dan sedikit berbau manipulasi,” kata Jahidin, aneuk jamee yang sudah beranak pinak di Sinabang ketika kami menghirup kuah mi berbahan baku lobster di sebuah warung milik seorang pendatang Sigli.
“Mereka hanya berhenti dengan kebanggaan punya kuliner lobster. Selesai,” kata Jahidin yang menghentakkan kata “mereka” sebagai ucapan sedikit merendahkan status anak pulau. Lobster yang kini dijual sebagai label pengganti cengkeh dan ramai-ramai dikembangkan setelah sebuah perusahaan dari Medan menanamkan modal untuk pemeliharaan lobster dan ikan kerapu di Teluk Sinabang.
Lobster, yang kini, dijadikan simbol keberhasilan semu yang dijual ke Medan dan Jakarta serta di ekspor ke Singapura hanya dalam jumlah cekak dan menyerap tenaga kerja kecil. Dan tak ada kemakmuran disana.
Memang, ketika kami datang ke sana, para pejabat dan warung-warungnya mengiming-imingi pengunjung dengan mie lobster atau menu lobster yang diolah menjadi kuliner lainnya. []