Ruang publik di Aceh bisu! Ketika resonansi qanun-qanun kontrovesial yang dikemas oleh legislatif provinsi untuk dijadikan produk peraturan daerah melewati ruang terbuka, semua orang terkunci dalam satu kata, “apatis.” Masa bodoh.
Apatisme yang tidak berarti diam. Tapi sebuah gumam dari ketidaksetujuan. Gumam terhadap produk yang mengabaikan etika multikultur, multietnis dan semangat egaliterian. Pengabaian terhadap eksistensi minoritas dalam pasal-pasal qanun instusi dan simbol serta lambang provinsialis itu.
Pengabaian, yang seperti dibisikkan oleh seorang teman ketika kami berbincang “ringan.” mendegradasikan posisi subkultur dan subetnis pada posisi vertikal di tengah perkembangan tuntutan kesetaraan sebagai ciri moderenitas masyarakat terbuka. Tidak hanya pengabaian, tapi juga pembangkangan terhadap ajaran kultural demokratis Aceh lama dengan falsafah, “meunyo kah meupakat lampoh ngon jirat tapeugala.”
Sebuah ajaran yang menempatkan kesepakatan bersama sebagai sebuah semangat perjuangan dan telah berdurasi panjang, serta teruji ketika melewati masa kritis dalam kehidupan sosial politik Aceh masa kolonial, pra kemerdekaan, pemberontakan daerah dan tuntutan untuk memperoleh sebuah state.
Dan ketika rancangan qanun-qanun itu dipakai sebagai sumber otoritas kelompok, institusi dan single authority dengann tameng sebagai kekuatan penekan, semua kita, sepertinya, merasa gamang untuk melakukan gugatan. Kita gamang untuk berseberangan ketika perdebatan tidak memberi manfaat produktif. Tidak hanya publik yang diam. Intelektual dan akademisi lebih senang melanjutkan sebagai “petapa” diam dan enggan turun mencampuri persoalan-persoalan nonsubstansial sebagai pencerahan. Semuanya bisu.
Parahnya lagi, ketika suara yang berkibar di seberang sana makin kencang dan mengeras, apatisme pun mengisi penuh ruang publik dengan mengutamakan penyelamatan diri. Ruang publik yang selama ini digaduhkan oleh kelompok dan institusi independen seolah menjaga jarak untuk tidak menganggu safety yang selama ini lebih berharga dari mengedepankan egoismenya.
Pembahasan qanun-qanun itu, wali nanggroe, bendera dan lambang daerah, memang sedang menempuh jalan senyap untuk menghindar dari sentuhan publik serta dengan sengaja mengalpakan perdebatan di ruang terbuka seperti polemik media, panel yang yang sering dilabeli LSM atau pun seminar sepenuh kamar atau setengah kamar yang bernuansa akademik dan diongkosi anggaran, seperti lazimnya sebuah undang-undang.
Kesenyapan itu makin meninggi intensitasnya bersamaan pula dengan adanya unsur kesengajaan untuk “mengorup” rancangan qanun-qanun itu dari sosialisasi ke entitas publik sehingga, ketika resonansinya melintas di ruang terbuka ia menimbulkan reaksi keras ketika bergesekan dengan sentimentil minoritas.
Gesekan ini, seperti yang kita catat dalam beberapa aksi, mengundang debat kusir lewat kesenjangan multi tafsir dari orasi mau pun release berdurasi pendek dan menempatkan pihak-pihak, yang setuju dan menolak, dalam dua kutub yang saling “apriori.”
Kita tidak ingin mendalami substansi pasal-pasal dari qanun yang kontroversial itu. Kita hanya ingin menegaskan tentang hakekat manfaatnya bagi kelanggengan kehidupan majemuk dari masyarakat Aceh.
Untuk itu kita menyadari qanun-qanun, yang substansinya tidak menyentuh kesejahteraan rakyat secara absolut itu, dan tidak menjawab kebutuhan terkini prioritas masyarakat di negeri ini, sepertinya memang dipaksakan untuk siap pakai guna menampung hasyrat prestise perjuangan, sekaligus memenuhi semangat megalomania tentang keterpisahan daerah ini sebagai sebuah federasi yang memiliki privelege.
Jalan sunyi di ruang publik ini, seperti kemudian kami selusuri, memang disengaja oleh banyak entitas dan komunitas yang selama ini memiliki kadar intelektualitas di atas rata-rata dalam mengisi ruang publik dengan membuka ruang perdebatan yang intens untuk kebaikan negeri. Mereka, baik dengan sengaja atau tidak sengaja, mencoba menghindar dari polemik yang sering sangat ir-rasional itu dan mencari posisi safety dalam memilih jalan sendiri-sendiri.
Mereka mengunci diri dari polemik yang dilontarkan spokesman wakil rakyat yang meretorikakan tentang perjalanan finalisasi draft qanun tanpa menginginkan respon berbeda. Mereka tahu tentang argumentatif yang sengaja dikunci dari perspektif rancangan pasal-pasal peraturan itu. Mereka juga amat mafhum ketika dialog di ruang hampa bisa memunculkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat argumentatif tentang manipulasi kata-kata.
Manipulasi tentang pembenaran bahwa rancangan qanun itu sudah dilemparkan ke ruang publik dan telah didiskusikan secara akademik. Tentang rancangan qanun yang yang sudah melewati ruang uji publik. Atau pun pernyataan tentang tidak akan adanya perubahan jadwal pembahasan dan draft, yang dikatakan, sudah disepakati.
Kita menangkap ada penciptaan pembenaran di retorika mereka ketika kelemahan qanun diungkapkan secara rasional dengan mengacu pada hirarki peraturan dikaitkan dengan substansi yang menjadi dasar ia dibuat. Substansi dari kesepakatan damai yang seharusnya dipertemukan kembali tafsirnya untuk kemudian dirujuk pada peraturan yang memayunginya.
Kita, mungkin sepakat, agar multitafsir dari kesepakatan damai yang dirumuskan dalam undang-undang pemerintahan aceh tentang rancangan qanun-qanun yang simbolis baik dalam bentuk kelembagaan, seperti wali nanggroe maupun bendera dan lambang daerah, hendaknya disinkronisasikan dengan peraturan lainnya agar tidak saling bertabrakan yang memunculkan kegaduhan opini yang ujung-ujungnya mempertaruhkan gengsi dengan mengorbankan rasa aman.
Kita menangkap nuansa yang tidak nyaman dari pernyataan Pangdam Iskandarmuda dan Desk Aceh di Menko Polhukam yang nyaris berseberangan dengan pihak yang menginginkan lambang dan bendera GAM di adopsi menjadi lambang daerah. Kita juga menangkap ketidaksetujuan komunitas di belahan barat dan tengah Aceh yang merasa tidak nyaman dengan qanun-qanun yang ekslusif itu.
Isyarat ini, baik yang disuarakan Pangdam Iskandarmuda maupun Desk Aceh, harus di pahami sebagai representasi Jakarta yang pijakan aturan main yang mereka pegang adalah Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 20007. Begitu juga dengan komunitas barat-selatan dan tengah-tenggara Aceh, yang merupakan minoritas etnis dalam konfigurasi demografis, klutur dan etnis daerah ini, yang tidak setuju dengan argumentasi “penguasa” federal ini, seharusnya bisa dipahami sebagai sinyal dari tersumbat komunikasi publik.
Tidak hanya mengalami penyumbatan dalam komunikasi, rancangan qanun-qanun itu seakan-akan mereka yakini sebagai pembenaran “anggapan” yang selama puluhan tahun bersemayam dalam memori komunitas barat dan tengah Aceh tentang terpinggirkannya mereka dari monopoli kekuasaan yang didominasi masyarakat utara dan timur.
Dominasi yang kini tidak hanya mendapat ruang pembenaran tentang format ketimpangan distribusi kekuasaan dan pembangunan, tapi juga makin mendekati kebenaran tentang ketimpangan dari sisi kultural.
Kita tidak menginginkan adanya kebenaran yang menjadi stigmasisasi permanen. Yang kita inginkan adalah cairnya stigmasisasi ini sehingga tumbuh saling kepercayaan sebagai “tras” kebersamaan. “Tras” tentang kepemilikan bersama negeri majemuk kultur dan etnis ini.
Sebab ketimpangan bisa meninggikan sentimentil kabupatenisme yang disetiap era selalu menjadi perdebatan di Aceh. Kita sudah belajar banyak dari konflik-konflik horisontal yang tak memberi keuntungan kepada golongan dan kelompok mana pun yang bertikai. Kita menghendaki Aceh yang plural. Aceh yang tidak mengedepankan ego sektoral kedaerahan dan etnis sebagai alat untuk pembenaran.
Kita menghendaki Aceh dengan kesetaraan kultur, etnis dan semangat egaliter sebagaimana ia pernah berjaya dimasa lalu. Aceh masa lalu yang jaya adalah sebuah wilayah yang mendistribusikan kekuasaan kepada federasinya dan memberi kewenangan yang luas dengan mengadopsi kearifan lokal sebagai jawaban untuk menyelesaikan friksi antar kepentingan.
Dengan kata lain juga kita menghendaki Aceh menjadi satu-kesatuan utuh tanpa diusik oleh tuntutan otonomi baru, seperti ALA maupun Galaska yang selalu diorasikan kembali sebagai pertaruhan harga diri minoritas di barat selatan dan tengah tenggara Aceh.
Untuk itu kita perlu meluruskan jalan bagi lahirnya qanun-qanun simbolis dengan mengutamakan dialog terbuka, setara dan saling memahami kepentingan masing-masing tanpa harus bersitegang dengan pembenaran diri sendiri, kelompok atau lembaga.
Dibutuhkan ruang publik yang lebih terbuka untuk mendiskusikan persoalan-persoalan prestise ini. Ruang yang menyediakan jawaban secara nalar intelektual dan akademik. Dan jangan ada diantara kita yang melakukan diskusi di ruang hampa dengan memanipulasi retorika yang berkecendurangan vertikal, “gertak” dan selalu sepihak seperti di masa amuk perang.
Kini, perdebatan tidak lagi bernuansa vertikal dengan prasyarat-prasyarat ketat, yang dulunya, sering memacetkan dialog. Kini arena perdebatan sudahh mengalami modifikasi bersamaan dengan suasana “romantisme pasca perang” yang sangat kasat suara. Dan tidak harus lewat ancam mengancam seperti disuarakan secara sepihak dengan bunyi bahwa rancangan ini akan tetap jalan dengan dengan pasal-pasal yang sudah ada. Malah dengan nada tinggi para spoker itu mengatakan pembahasan draft itu sudah final. Entah di mana letak finalisasi. Entah sejak kapan ia selesai ditelaah.
Kita tidak pernah apriori dan memasang harga mati untuk mendiskusikan qanun-qanun, baik yang simbolis maupun yang bersubstansi kesejahteraan di ruang publik sepanjang ia dilabeli sebagai kepentingan bersama. Kepentingan menyeluruh masyarakat Aceh.
Ruang publik tentu akan mengadopsi semangat “multikultur” dan “multietnis” karena itulah yang menjadi ciri masyarakat moderen. Masyarakat yang dibentuk dari kesetaraan plural yang menghindari “tirani” mayoritas maupun tirani minoritas. Masyarakat yang esensinya terbuka dengan mengedepankan akal sehat sebagai tujuan kepentingan bersama.
Kita tidak tahu apa tujuan dari pembentukan qanun-qanun, yang menurut pihak yang menentang saling bertabrakan dengan pasal-pasal peraturan pemerintah tentang lambang dan bendera yang menjadi acuan permainan di negara ini Acuan tentang semangat kemajemukan yang menempatkan kelompok dan personal secara garis lurus bukan tegak lurus. []