PENANTIAN panjang status hokum Anas Urbaningrum dalam kasus proyek olahraga terpadu Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, akan berakhir hari ini, Jumat (22/2/2013), setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyudahi gelar perkara, dan memutuskan apakah perkaranya akan ditingkatkan ke tahap penyidikan atau tidak. Jika naik ke tahap penyidikan, akan ada tersangka baru dalam kasus ini.
Juru bicara KPK, Johan Budi, dalam keterangannya kepada wartawan malam sebelumnya, membenarkan adanya keputusan tentang pelaksanaan gelar perkara pada hari Jumat. “Kami berharap ini tidak mundur lagi, ungkapnya. Pertanyaan yang menggelitik dari gelar perkara ini adalah apakah akan ada “Jumat Keramat” untuk Anas.
Di gedung KPK, Jumat pagi sudah terlihat kesibukan wartawan yang ingin mendapatkan berita saheh tentang gelar perkara itu. “Memang ada gelar perkara,” akata seorang staf di KPK kepada wartawan. Seolah menjadi hari “keramat” Jumat secara tradisi KPK memang memberrikan kabar baru tentang status seseorang yang bermasalah dengan korupsi.
Johan mengatakan bahwa dalam gelar perkara nantinya tim penyelidik akan memaparkan sejauh mana perkembangan penyelidikan aliran dana Hambalang yang dimulai KPK sejak pertengahan tahun lalu tersebut. Selama ini, nama Anas kerap disebut setiap kali topik aliran dana Hambalang dibahas, terlebih setelah beredar draf surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Anas berkaitan dengan kasus tersebut. Dalam draf itu, Anas disebut menerima gratifikasi terkait proyek Hambalang.
KPK pun menyatakan kalau dokumen draf sprindik yang beredar melalui media itu merupakan dokumen asli. Kini, KPK membentuk Komite Etik guna menelusuri pelanggaran kode etik yang mungkin dilakukan unsur pimpinan KPK terkait bocornya draf tersebut.
Informasi yang didapat para wartawan, menyebutkan, Anas diduga menerima pemberian berupa Toyota Harrier saat dia masih menjadi anggota DPR dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin pada 2009. KPK telah mendapatkan bukti berupa cek pembelian mobil mewah tersebut sejak pertengahan 2012. Nazaruddin diketahui membeli Toyota Harrier di sebuah dealer mobil di Pecenongan, Jakarta Pusat, September 2009, seharga Rp 520 juta. Mobil itu kemudian diatasnamakan Anas dengan nomor polisi B 15 AUD.
Namun, menurut kuasa hukum Anas, mobil itu bukanlah gratifikasi, melainkan mobil yang dibeli Anas senilai Rp 670 juta yang dicicil pembayarannya. Pada akhir Agustus 2009, Anas menyerahkan Rp 200 juta kepada Nazaruddin sebagai uang muka pembayaran mobil itu, disaksikan Saan Mustopa, Pasha Ismaya Sukardi, Nazaruddin, dan Maimara Tando. Kemudian pada Februari 2010, Anas membayar cicilan kedua kepada Nazaruddin senilai Rp 75 juta yang disaksikan oleh M Rahmad. Kemudian setelah Anas terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat melalui kongres pada Mei 2010, Harrier itu dikembalikan kepada Nazaruddin dalam bentuk uang.
Terkait penyelidikan Hambalang, KPK pernah meminta keterangan Anas. Namun, KPK tak pernah menetapkan status hukum apa pun untuk Anas. KPK berharap kewenangannya melakukan pengusutan kasus tindak pidana korupsi tidak dikait-kaitkan dengan urusan politik atau partai. “KPK sama sekali tidak ada kaitannya dengan itu,” ujar dia.
Johan enggan menjawab ketika ditanya soal adanya kemungkinan penetapan status Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus Hambalang. “KPK adalah kumpulan manusia, bukan Tuhan, dan tidak bisa memutuskan nasib seseorang,” ujar Johan.
Dalam keterangannya, Johan juga mengumumkan dokumen draf surat perintah penyidikan kasus Hambalang yang beredar di masyarakat adalah asli milik KPK. Meskipun berkas itu asli dan mencantumkan nama Anas Urbaningrum sebagai tersangka, Johan tidak mau memastikan kepastian status tersebut.
Dalam berkas yang beredar luas itu, Anas Urbaningrum disebut-sebut menerima gratifikasi berupa mobil Toyota Harrier dari PT Adhi Karya dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal Partai Demokrat.
Kepemilikan mobil tersebut sebelumnya pernah dibantah oleh Anas. Pada Selasa lalu, kuasa hukum Anas, Firman Wijaya, mengakui keberadaan Harrier. Namun, menurut Firman, Anas mencicil mobil itu dari bekas Bendahara Demokrat Muhammad Nazarudin.
Ditemui kemarin saat akan diperiksa untuk kasus tindak pidana pencucian uang Irjen Djoko Susilo, Muhammad Nazaruddin menbantah cerita tersebut. “Tidak benar. Pembayaran Harrier hanya ada dua, satu cash dan satu lagi cek, semua dari Adhi Karya.”