Site icon nuga.co

Mesin Tik Hasyim

Malam tadi saya didatangi mimpi yang sangat menyentak. Mimpi seperti gambar hidup. Tentang seseorang yang telah jadi penghuni langit.

Isi mimpi itu saya taklimatkann kepada banyak teman sebagai bukan hanya sekadar bayangan. Tapi sebagai roh yang keluar dari tubuh dan gentayangan. Ketemu dengan jalan hidup masa lalu.

Di mimpi itu. si seseorang itu, menyapa saya sembari bertanya tentang karet rol mesin ketik bututnya yang hilang. Karet rol dari mesin ketik ajaib.

Mesin ketik butut, sudah berkarat, merek royal warna hitam di sebuah ruang lantai dua ujung jalan perdagangan.

Mesin ketik, saya tahu, dulunya, selalu menyertainya  di sebuah kantor koran kembang kempis yang kemudian bermutasi menjadi harian prestise.

Saya menyebut koran itu kembang kempis karena terbitnya mengembang dan mengempis. Gak punya jadwal.

Mesin ketik itulah yang membawa banyak tulisannnya terbang mengembara kemana-kemana selama beberapa dekade. Ke banyak koran di era itu.

Mesin ketik. Bukan laptop. Bukan tablet. Tapi, sekali lagi,  mesin ketik.

Mesin ketik yang dalam mimpi saya malam  itu masih menemaninya di langit sana. Mesin ketik bersuara sember tak-tik-tok. Tak-tik-tok.

Itulah suara yang menguar dari kubikel-kubikel kecil yang hingga hari ini sering singgah di memori saya ketika tidak bermimpi.

Kubikel-kubikel yang gaduh. Mungkin lantaran bunyi-bunyian itulah, malaikat tak pernah tidur di sampingnya Tepatnya tak bisa tidur.

Saya tahu ia masih mengetik, nun di alam sana,  di saat saya menulis di papan laptop ini. Saya tahu juga ia sedang mengetik kabar tentang kebahagiaannya.

Ketikan ketika ia masih di bumi  sembari mengirim hasilnya ke teman-temannya lewat cerpen atau puisi sentimentil. Puisi sunyi

Saya hanya bisa berimajinasi: sembari menyelesaikan ketikannya para malaikat terbang naik turun melayaninya dengan secangkir kopi.

Maaf …. Ini hanya imajinasi. Imajinasi  liar yang hingga tadi pagi kala hujan gerimis masih menari-nari di kepala saya. Yang muncul bila saya teringat sosok sahabat  penulis yang sudah berpulang itu.

Hasyim Kaliane Sing. Hasyim KS

Saya percaya, seandainya di langit sana memang ada mesin ketik saya yakin ia akan menulis dengan sentimentil cerita pendek atau pun puisi laut. Puisi dan cerita pendek berlatar lhok pawoh.

Lhok pawoh sebuah setting dari background  cerpen pertamanya di kolom budaya harian indonesia raya milik moechtar lubis di ujung tahun lima puluhan. Tujuh puluh tahun silam.

Sahabat saya yang yang suka suka  disapa dengan bang hasyim itu, mungkin saja, seperti biasa, akan menulis kisah-kisah kecil.

Kisah-kisah konyol. Kisah-kisah receh. Kisah-kisah yang di hari-hari rutinnya di sebuah masa ia tuangkan di kolom “apit awe.”

Kolom yang masih hidup di benak banyak orang. Kolom di sebuah surat kabar lokal ketika ia ia masih tiduran di kolong meja di ujung deadline..

Selain itu. mungkin juga,  ia akan berbagi kabar betapa kusutnya rambut keritingnya kala bangun untuk ikut rapat redaksi pagi. Rapat redaksi yang selalu gak pernah membuat mood-nya mengembang.

Bagi saya kisah-kisah tentang perangai sang teman itu bisa membunuh rasa rindu ini. Rasa rindu yang membuncah setelah mendengar celoteh yang tak pernah berhenti tentang banyak hal

Saya sering ngomong berdua dengannya tentang banyak hal. Sering juga saat pembicaraan jadi serius ia pergi nyelonong …

Dan pembicaraan berhenti mendadak. Ibarat kereta api yang berhenti ditinggal pergi sang masinis. Bang hasyim selalu begitu.

Dan saya berharap ada keajaiban ia bisa kembali dengan kisah-kisah baru. Tapi, kisah-kisah baru itu tak oernah muncul. Sampai akhirnya mesin ketik itu datang di malam mimpi itu.

Bayangan itu menguar . Menguar setiap saya pulang kampung. Katika saya mendamparkan diri  ke “rumah lamanya”. Twi lhok. Ie dingin, lhok pawoh.

Lhok pawoh itu merupakan sebuah kawasan kecamatan di kabupaten “ketelatan.” Saya selalu menyebut kabupatan di selatan itu dengan “ketelatan.”

Kabupaten yang posisinya memanjang di garis pantai lautan hindia membuat daerah penghasil pala itu berudara panas. Untuk mencapainya dari kota propinsi bisa sulit bisa nggak.

“Bang, apa kabar?” kata saya sambil menghentikan pedal gas dan seikat kenangan sentimentil menjalar di memori ketika berpapasan dengan rumah masa kecil dan rumah tempat ia pulang itu.

Kenangan-kenangan itu berloncatan di antara desir angin di daun kelapa kering desa lhok pawoh. Desa yang sering  membuka kotak kenangan tentang-nya

Kenangan yang juga banyak singgah di teman-teman yang lain. Teman di banyak komunitas penulis.

Kenangan tentang kematiannya  dalam pelukan lekuk pantai diiringi nyanyian ombak laut bak puisi kecil yang seolah  menjadi penanda takdirnya.

Di depan rumah itu, saya selalu mengatakan, ia sahabat yang meninggalkan lobang, atau lebih tepat kekosongan, yang besar hingga hari ini setelah kepergiannya.

Ia telah memberi banyak.

Ia sastrawan yang sekian puluh tahun yang lalu telah menulis puisi dengan idiom yang segar dari sebuah kota kecil.

Di sebuah masa selama beberapa tahun ia pernah menghilang: ia, menjadi bagian dari rombongan sandiwara keliling. Yang di negeri saya dinamai dengan “gelanggang labu”

Selepas dari menghilang, ia mengalami kepahitan hidup. Kemudian kami bersua di tempat kerja yang sama. Di sebuah media lokal yang hingga kini masih eksis setelah bermigrasi ke banyk segemen.

Semula tampak ia ragu — mungkin cemas: ia tak mengantomgi ijazah strata satu. Ia takut dianggap sebagai penderita kusta. Penderita kusta dari “po di amat” yang pernah ia tulis di media Jakarta

Saya tahu keraguan itu lumrah: bahkan ada rekan wartawan mengerutkan kening tentang kehadirannya.

Bagi saya, kemampuan orang-orang seperti bang hasyi, layak dapat tempat- lebih dari layak: ia cemerlang, “witty”, seksama dalam ketepatan kata — dan tak pernah molor dalam memenuhi tenggat.

Bagi saya, ia berhak bekerja, menulis, bertukar ide. Ia tak perlu menjalani “hukuman”, prosekusi — apa lagi?

Hasyim sendiri memahami ini. Ia sering jadi korban prosekusi perasaaan. Saya tahu ia tak perlu disepelekan ketimbang orang lain.

Saya tahu ia telah memberi banyak terhadap media itu. Pemberiannya yang luar biasa: tak ada “heroics”, tak ada kepongahan.

Pengalamannya yang penuh sakit ia bagikan sebagai cerita yang kaya, dan saya tahu banyak temannya yang lain telah menulis bagimana eksistensinya terhadap dunia sastra yang ia geluti.

Kepada banyak orang saya selalu mengatakan. “dia juga mengajari saya tertawa…”.

Humor adalah bagian sentral dalam percakapan dengannya. Agaknya itu yang mengikatkan kami berdua: humor — dan puisi.

Saya pernah mengatakan kepadanya, banyak orang  tak mengerti — atau merasakan — ada humor dan puisi: dua “dunia” yang tak hendak takluk kepada kebekuan hati dan pikiran.

Saya sering berbagi mimpi-mimpi menjadi seorang jurnalis dan penulis yang baik.

Meski sejujurnya, sayalah yang sebenarnya sedang berguru menulis padanya. Saya diam-diam belajar bagaimana menulis yang enak dan renyah

Saya sepakat dengannya, tulisan yang hidup adalah senjata penting untuk menaklukkan minat pembaca di tengah persaingan antar media komunikasi yang kian ketat.

Mereka dikangeni karena berjiwa, personal, memiliki sudut pandang yang unik dan cerdas, serta penuh vitalitas.

Tulisan yang baik tak ubahnya seperti tarian burung camar di sebuah teluk: ekonomis dalam gerak, tangkas dengan kejutan, simple dan elok.”

Kalau kita baca tulisan-tulisan hasyim, bukankah tulisannya meliuk-liuk seperti camar?

Ringkas, berjiwa, penuh vitalitas,  bikin rindu

Hasyim sepanjang pertemanan saya sangat mencintai profesinya sebagai wartawan.

Alasannya karena pekerjaannya menyenangkan. Dia benar-benar mencintai pekerjaan dan hobinya itu, yakni menulis.

Hasyim sudah lama pergi, Dalam bilangan belasan tahun. Ia bagi saya ibarat biji gandum, jatuh ke tanah, mati, dan kemudian berbuah banyak.

Terimakasih bang….Perjumpaan dan kepergian itu membuahkan kehidupan dalam diri saya. Escribir para siempre, menulis untuk selamanya.

Mungkin di langit sana ada mesin ketik

Exit mobile version