Rex direvitalisasi.
Diremajakan
Saya senang dengan kabar ini.
Berita ini.
Kabar yang di posting ke whatsapp saya oleh seorang kawan dua hari lalu
Saya tak menanya siapa yang meremajakannya. Tak juga nyinyir dengan tanya dari mana dananya. Yang penting bagi saya Rex diremajakan.
Dari postingan berita sang kawan itu, saya sudah tahu semuanya. Tahu sumber “hambo” kabarnya. Tahu dananya berlabel apa. Tahu media beneran mana yang menulisnya.
Dan saya juga tahu beritanya bukan “hoax.”
Ini kabar – berita resmi. Sumbernya pejabat sumbu di kota saya. Kutaradja-Banda Aceh-Kota Gemilang yang digawangi sang Walikota Aminullah Usman.
Di saat kabar Rex jadi remaja itu datang sel akar otak kanan saya sempat bergetar. Getarannya menjalar ke batangnya. Terus ke ranting. Selanjutnya saling menyapa dengan sel akar, cabang dan ranting otak kiri.
Persambungan itu mengalirkan darah “enjoy” keseluruh organ saya. Persambungan mengusik untuk mencari sebuh episode yang hilang. Episode paling indah dari persahabatan saya dengannya. Dengan Rex.
Rex itu dulunya sebuah nama bioskop. Milik seorang India Benggali yang digusur oleh walikota Teuku Oesman Yacob. Walikota “strong man” yang sempat dua kali bolak balik ke kursi jabatannya.
Walikota yang digugat oleh si India Benggali ke pengadilan. Walikota dengan gaya bicaranya yang lantang dan ceplas ceplos. Anak aristokrat Meulaboh. Yang Humble.
Walikota yang ayah teman saya si Datuk dan si Tommy. Yang rumahnya di kawasan “menteng”nya Koetaradja. Lampriek. Yang disana juga rumahnya Ali Hasymi gubernur Aceh kala itu.
Rex yang digusur Oesman Yacob sempat ditelantarkan karena belit kasusnya berlabel perdata. Kita tahulah kalau kasus perdata. Lama dan panjang sekali debat kusirnya.
Debat kusir yang membuat Rex bermetamorfosa menjadi pusat kuliner. Pusat kuliner karena di”pagap” oleh banyak hotel diikat pinggangnya.
Hotel Medan, Hotel Prapat, Hotel Internasional , Hotel Masda, Hotel Palembang, Hotel Aceh Barat dan Hotel Sulthan..
Sehingga, jadilah Rex milik banyak komunitas.
Rex yang tidak hanya milik saya. Rex yang juga miliknya Hasyim Kaliane Sing, Hasbi Burman, Arminsyah dan entah siapa lagi di tingkat akar rumput.
Rex yang juga miliknya Dimoerthala, Zainuddin Hamid Let Bugeh, Haji Harun Keuchik Leumeik, Maulisman Hanafiah, Teuku Alibasyah Talsya, M.Nourhalidyn dan banyak lagi di akar elitisnya.
Tak ketinggalan juga Rex-nya Bre Redana anak mas Kompas yang datang berguru ke Aceh.
Bre Redana dari persalinan nama Don Sabdono. Don Sabdono yang menghimpun puluhan kumpulan cerpennya dalam satu judul. Rex
Rex Don Sabdono yang Bre Redana itu kemudiannya menjadi milik dunia setelah disadur ke banyak bahasa oleh banyak entitas. Entitas seniman papan atas. Yang meresensinya puluhan kali.
Rex itu sudah lama menjadi milik kita. Rex yang tidak hanya pusat kuliner. Tapi juga pusatnya kegaduhan ketika melewatkan malam. Dari azan maghrib hingga azan subuh.
Untuk itulah dalam menulis Rex saya tak ingin menuliskannya dalam sekali tepuk. Terlalu panjang. Walau pun saya tahu media di era online menulis sebuah berita panjang bukan sebuah dosa.
USA Today, media top Amerika, pernah membuka kotak pandora berita panjang. Panjang sekali. Di media online-nya. Tentang kasus kriminil – politik penyerangan gedung Capitol di Washington. Yang menyeret nama presiden Donald Trumph sebagai penghasut dan provokator.
USA Today menulis tujuh ratus nama pelaku penyerangan. Lengkap dengan riwayat hidup ringkas dan peristiwanya. Berita panjang, yang kalau di era koran nggak mungkin dilakukan karena akan menyita sepuluh halaman.
Semula saya sempat juga diusik oleh semangat USA Today untuk menulis Rex ini. Menulis sekali tepuk. Untuk sebuah berita.
Tepuk yang tak peduli dengan pembaca. Kalau mau baca seluruhnya silakan. Diketeng juga nggak apa-apa. Nggak mau dibaca silakan.
Tapi setelah mikir mudharatnya sebuah tulisan panjang pilihan saya jatuh untuk tidak menyeret Rex dalam sekali tepuk. Saya diajak untuk memilahnya di banyak tepuk.
Memilah untuk menulis Rex-nya Hasyim KS dan Hasbi Burman
Kalau pun harus ditambah saya ingin menyeret Rex-nya Bre Redana.
Rex yang menjadi judul buku kumpulan cerita pendek. Plus Rex yang menyenggol Harun Keuchiek Leumiek
Rex-nya Hasyim KS adalah rex makan malam. Makan malam gratis dari sapaan tit..tit .. klakson holden BL 6464.
Klakson holden milik Harun KL yang menggamit Hasyim KS dan saya dari lantai dua sebuah toko di ujung jalan perdagangan, pasar aceh untuk boyong ke Rex.
Ke Rex dari toko berpapan nama koran Swadaya. Koran yang ces-ces. Ces-ces karena hari terbitnya ditopang oleh duit siup. Bisa terbit seminggu sekali, sebulan sekali atau tidak terbit sama sekali.
Namanya bisa saja koran harian. Tapi jelmaannya adalah koran mingguan, dwi bulanan, bulanan dan tahunan. Bahkan pernah jadi koran mati suri. Tapi tak pernah mati benaran dan mati siup. Surat izin usaha penerbitan.
Koran Swadaya adalah koran miliknya M. Nourhalidyn.
Nourhalydin yang kami panggil Bang Nour. Bang Nour yang anak Pidie. Berstatus resmi sebagai pegawai negeri di bagian tata usaha fakultas hukum unsyiah.
Bang Nour beristri wanita trah heterogon. Wanita perpaduan Aceh dan Mandailing. Yang dilingkungan tombonya di sapa Uni yang mengesankan ia berdarah minang.
Padahal hambo Aceh-nya kental. Dari Ayahnya. Yang datang dari Medeuma. Nun di Trumon sana di negeri Aceh ketelatan. Eee Aceh Selatan.
Kak Ida yang ramahnya luar biasa lewat cerocosnya macam air mengalir. Akrab.
Kak Ida ibuknya si Teguh Hari Patria dan si Ami Juga Ibuknya si Dewi almarhum yang berumah di gampong palanggahan. Pelegehe.
Anda pasti ndak tahu lah tentang Swadaya yang Nourhalydin. Itu pasti. Swadaya yang kami banjiri lewat berita untuk mengisi empat halamannya.
Kami keroyok dengan berita, cerpen dan puisi bersama Hasyim KS, Muis Bahar, Ridwan Amran dan Harun KL untuk mempertahankan siup-nya lewat mesin ketik portable yang letternya sering mangkrak dan terkulai.
Mesin ketik yang dipakai si Hasyim untuk menulis banyak puisi dan berita reportase.
Entahlah…
Entahlah.. karena otak saya terus ngelantur. Yang menjadikan tulisan ini jadi “out focus.” Keluar arah. Keluar dari Rex peremajaan dan masuk ke Swadaya yang Nourhalydin
Makanya, bisik nalar saya, naskah ini janganlah ngelantur kemana-mana. Kalau pun ingin mengulik Swadaya ringkaskan saja. Ringkaskan hingga hingga hembusan kata oo..ooo bagi banyak orang dari pertautannya dengan sebuah media top
Media yang kini masih pede-pedenya di tengah gempuran media sosial. Media benaran bernama Serambi. Media yang orang tak pernah tahu siapa ayah kandungnya.
Untuk Anda tahu ayah kandung dari media top itu adalah Swadaya. Bukan ayah sambung atau ayah tiri. Ayah beneran yang diadopsi oleh manajemen Kompas lewat perpanjangan tangan anak usahanya bernama Persda. Pers daerah.
Adopsi dalam bentuk hitungan saham. Saham yang memakai persentase kepemilikan. Dan hitungan banyaknya saham yang diterbitkan.
Walau pun tahu hitungannya secara kasat otak, saya tak ingin menulis tentang saham kepemilikan Serambi hari ini.
Ngapain harus sejauh itu.
Dan ngapain pula saya harus melenceng kemana-mana hingga ke nominal saham. Padahal waktu masih jadi tukang aduk semen di sebuah media dulu, saya selalu menekankan pentingnya “momentum” untuk sebuah penulisan
Momentum itu kan bernama revitalisasi Rex. Dan saya diperintahkan oleh otak untuk “manage” saja revitalisasi Rex agar ia bisa “soft landing.” Jangan kehilangan sentuhan dan ngelantur.
Karena momentum ini saya harus kembali ke Rex-nya Hasyim KS, Hasbi Burman dan Rex-nya Bre Redana. Plus Rex-nya Holden BL 6464 Harun KL yang membawa kami pusat kuliner itu
Pusat kuliner Hasyim KS sang wartawan dan penyair sentimentil. Penyair yang mengendapkan banyak tanya tentang jalan hidupnya. Jalan tanya ketika menyuap nasi goreng Wak Busuk yang di “balen” Harun KL.
Nasi goreng yang juga menjadi suapan Hasbi Burman si tukang parkir yang penyair itu. Si tukang parkir di pelataran Rex yang selalu nyambi makan bareng nasi goreng dari duit recehnya Harun KL.
Si tukang parkir “mbong” yang kami ketawakan dengan Hasyim KS usai proklamir dirinya sebagai “presiden” Rex lewat tulisan “feature” bergaya “human interest” di kolom sosok koran Kompas.
Ketika saya rehat dan mencari ide untuk meneruskan tulisan ini datang sebaris kalimat pendek di kotak masuk telepon genggam saya
“Apakah Rex masih eksis, Bang?”
Saya tergagap membacanya ketika tahu siapa pengirim pesan itu. Saya hanya bergumam sembari membisikkan pada diri sendiri, ”Inilah orangnya yang melambungkan nama Rex ke langit nusantara
Setelah kumpulan cerpennya berjudul Rex menyempal dibelukar cerita pendek nusantara dengan skala sepuluh.
Kumpulan cerpen yang datang dari perenungan panjangnya usai menulis feature human-interest di kolom “sosok” koran “Kompas, ” berjudul, “Sang Presiden Rex.”
Saya “heng” dalam hitungan detik mengenang semua yang menjalar diingatan saya tentang Rex si orang ini. Yang bersambung dengan kelebat perjalanan Rex.
Kelebat bayangan ketika pusat jajanan itu merangkak dari satu dekade ke dekade berikutnya untuk kemudian menjadi sentra kehidupan malam di pojok lahan yang “mendunia” itu.
Setelah “siuman” saya membalas pesan pendek itu,”Masih eksis, Mas.”
Yang spontan dibalasnya sangat cepat dengan kalimat antusias,”saya ingin datang lagi Bang!”
Saya sengaja menyapa lelaki itu dengan Mas, karena saya tahu ia anak Gunung Merbabu nun di Jawa Tengah sana.
Saya tahu juga ia kepincut dengan Rex dan tak pernah melekangkan nama itu dalam memorinya selama puluhan tahun, sejak ia diamuk romantisme pasca bercerai dengan pusat jajanan itu
Rexnya Mas Don adalah generasi kedua setelah ia dipasangi pagar besi setinggi pinggang
Rek yang disesaki kios-kios yang menyemak. Rex yang pun melengkapi menu kulinernya dengan mi aceh, martabak telur, kerang rebus, nasi goreng Wak Busuk.
Memperkenalkan minuman “terung belanda” yang dipromosikan sebagai pengusir kolesterol.
Keragaman makanan ini yang menyebabkan Rex bisa melintas zaman dan bertahan sampai sekarang, memasuki generasi ke tiga
Rex persisnya berlokasi di Kampung Penayong. Kampung Pecinaan. Di sebuah lahan bekas bioskop yang lokasinya membentuk setengah lingkaran pada pertemuan tiga ruas jalan. Charil Anwar, jalan Sri Ratu Safiatuddin dan jalan A Yani.
Rex tidak hanya ikon kota Banda Aceh. Tapi juga pusat pertemuan komunitas etnis tanpa membedakan latar belakang masing-masing.
Karena strategisnya lokasi dan fungsinya keberadaannya sulit tertandingi. Ia tak tergoyahkan sebagai sentra jajanan malam walau pun perkembangan kota Banda Aceh yang semakin melebar ke sisi barat dan utara
Eksistensi Rex sebagai pusat jajanan tidak hanya bertahan melintas zaman, tapi berkembang ke sisi Jalan Yani dan Jalan Charil Anwar hingga ke pangkal paha Jalan Safiatuddin.
Ia mulai berdenyut di ujung sore, bergegas menjelang malam dan tutup di pangkal subuh.
Kehidupan malam di Rex merupakan gairah yang tak pernah mati.
Ketika gairah dendang Minang, musik Aceh hingga ke lagu pop seperti Noah bersahutan dari “loadspeaker” berdentang kencang dari gerobak penjaja makanan yang mengaduk-aduk suasana.
Rex, kini dan dulunya, sudah menjadi sepotong “kota” internasional sepanjang malam. Tempat berkumpul pendatang campur baur.
“Kota” plural yang menyimpan gelegak magma toleransi para pendatang yang tidak peduli dengan status sosial, etnis dan mencairkan pantangan perempuan Aceh keluar malam, menghirup ekspresso dan bercas cis tanpa disentuh oleh polisi syariat.
Rex adalah sebuah kawasan privelasi yang dibiarkan dari teriakan “halakah” karena ia terbuka dan tak ada kemesuman yang bisa menggelegakkan kebencian.
Untuk itu Rex paham bagaimana memposisikan dirinya sebagai denyut kota tanpa harus terperosok pada hura-hura jajanan beralkohol dan remang-remang yang merangsang orang mengumbar birahi.