Ulee Lheue 1884.
Tahun kesepuluh penaklukan berdarah di “kuta dalam.”
Hotel de l’Europa, swalayan kugelmann, japanse bordeel, marine soceiteit, de pasar malam, kapal komando “tromp” dan ‘boom.’
Itulah sederet kecil infrastruktur yang melayani “dusun” berdarah itu ketika beranjak menjadi “kosmopolitan” di pasca awal “kamp konsentrasi.”
Usai penaklukan “kuta dalam.”
Kosmopolitan yang terdeskripsikan dengan lugas dalam buku Paul van’t Veer, “de Atjeh-oorlog.” Perang Belanda di Aceh.
Perang yang mengubahnya sebagai “gampong” udik. Gampong yang bersalin wajah dalam kegamangan budaya “holand indies” yang kepincut asesori beraroma Eropa.
Kegamangan budaya khas rasa rendah diri kultur lokal. “Shock culture.”
Itulah kejutan budaya ketika gegas langkah transformasi sebuah “dusun sagoe” milik ulee balang Meuraksa, Teuku Ne.
Dusun sagoe di bentangan rawa hutan bakau dan sejumput tanah sempit di garis pantai memanjang dari pantai Ceuremin hingga ke mulut kuala Ulee Lheue.
Sebuah wilayah rawa yang menuju “kosmopolis”nya peradaban “hollandia” mini.
Peradaban Individual. Serba acuh, dan mengingkari tatakrama lokal di ujung tahun-tahun pergantian abad pasca rekonstruksi “kuta dalam.”
Dan Ulee Lheue, tanah “hibah” kesepakatan damai Teuku Nek dengan Batavia, memang “kosmopolis” dari berbaurnya komunitas plural semau gue di tengah hukum amuk perang.
Hukum yang mengintegralkan pembenaran tindakan pembantaian setengah “genoside” ala “kuta reh” gaya ekspedisi van Dealen, dan menabalkan eksistensi Ulee Lheue sebagai kota “pakansi.”
Kota liburan dengan ruang budaya yang longgar bagi enam ribu infantri knil batavia.
Ulee Lheue, tak pelak, ketika zaman itu, memang pantas disebut sebuah “metropolis,” ketika Koetaradja belum beranjak dari sebuah “gampong” kumuh usai dicabik perang berdarah di ladang pembantaian “meusegit” raya.
Dan ketika Ulee Lheue berpupur menor untuk mendapat pengesahan status sebagai kota ”metropolitan,” Koetaradja masih dilingkari undukan tanah tanggul dan benteng karung pasir penghalang ganasnya “atjeh moorden.”
Ya. Ulee Lheue di pengujung pergantian abad itu memang kosmopolitan dalam artian sesungguhnya.
Telusurilah deretan satu persatu fasilitas dan infrastruktur yang menggerakkan pertumbuhannya menjadi kota campur aduk yang “centangprenang” komunitasnya..
Hotel de l’Europa milik entrepreuner Greek, Yunani, sebagai contoh.
Dalam arsip milik KITLV, the royal netherlands institut for southeast asian and caribbean studies, catatan dan foto hotel de l’Europa bertahun 1892 masih tersimpan utuh dan bisa diakses untuk mendapatkan kesahihannya sebagai penginapan berstandar “dunia” di negeri “indatu”ini.
Hotel “pionir” di Koetaradja, bahkan di Aceh, kala itu, menurut catatan lepas di banyak buku dan literatur sejarah, berdiri tegak di sumbu “ring road,” jalan lingkar “boom,” pelabuhan, dekat tanki minyak pertamina ketika masih belum dikelupas humbalang laut.
Atau pun, tepatnya, bersebelahan dengan “mariner soceitet,” balai marinir yang kini jadi komplek Angkutan Air TNI-AD, dan disemarakkan hilir mudiknya “rikshaw,” semacam becak yang ditarik manusia, milik koeli cina yang diduplikasikan dari Kwangtung atau Kanton, dengan bayaran satu “benggol” sekali putaran.
Masih di seputar jalan lingkar, keramaian makin riuh dari ketak ketik sepatu kereta kuda dengan sais jawa yang hormatnya terhadap penumpang, yang minta ampun membungkuknya, seperti orang sedang ruku.
Jalan lingkar pelabuhan ini, sebelum tsunami menyapunya, memutar ke arah kiri dari ujung jembatan Ulee Lheue, menyusuri perkantoran perhubungan laut, syahbandar dan berbelok di asrama polisi hingga lapangan sepakbola di ujung pegudangan serta melewati deretan rumah-rumah dinas permanen karyawan bea cukai, yang kini menjadi tubir di pecahan ombak laut.
Bangunan “mewah” hotel de l’Europa, menurut sahibul hikayat, ketika itu dikelilingi pepohonan rindang, dan sepintas memang tidak mengesankan.
Mirip “resort” setengah gubuk. Terasnya depannya luas dijejeri pot bunga dari gerabah yang berfungsi sebagai ruang tamu.
Atapnya rendah dari kayu verbek untuk menyerap uap panas tropis dan punggungnya membelakangi muara Krueng Ulee Lheue serta memiliki sebuah restoran untuk “launch” dan “dinner” para tamu dengan pandangan luas ke pantai Lamteh dan gugusan pulau Aceh dengan laut lepasnya.
“Eksotik,” tulis sebuah catatan satu kolom koran harian batavia, Java Bode, bertahun 1893, hasil reportase wartawannya yang mirip inforial atau iklan terselubung.
Dalam catatan lain, mengenai de l’Europa, datang dari kumpulan tulisan perjalanan F.Janfruchte, seorang zending kristen, yang sempat singgah di Ulee Lheue dan menginap di hotel itu, Agustus 1883, dalam perjalanannya ke batavia dari Rotterdam, Belanda.
Dan bercerita tentang hotel “mewah” di Ulee Lheue itu sebagai penginapan paling prestesius yang ia temui di negeri amuk perang, Acheh.
“Di hotel itu saya bertemu dengan banyak perwira pengawas dari batavia, saudagar Cina dan India dari Malaka yang mengincar proyek rekonstruksi milik militer serta amtenaar birokrat nederlands yang ingin menginvestgasi, sekaligus mengaudit penggunaan anggaran perang,” tulisnya.
Hotel itu memiliki kamar terbatas, tapi sangat bersih. Kamar mandi beserta toiletnya hiegeinis berpengharum. Gang yang memisahkan antar kamar sangat lebar menjadikan sirkulasi udara bebas keluar masuk. Tidak pengap.
“Di sana saya bertemu pelayan cina dan perempuan jawa sebagai ‘room women’ berkebaya putih dan sarung batik,” tulis Janfruchte dalam lembaran catatan pribadinya yang dibukukan itu.
Pelayan cina, dengan rambut di kuncir, bercelana hitam komprang, menurut cerita yang didapat oleh sang zending, sengaja direkrut dari Kwangtung, atau Kanton, cina bagian selatan yang juga tanah jajahan Belanda, untuk dikapalkan ke Aceh sebagai koeli dan difungsikan juga sebagai “centeng” karena memiliki keahlian silat kungfu atau putaw.
Sedangkan “room women,” perempuan jawa, diberi tugas ganda sebagai pembantu jurumasak, tak dilarang untuk di”pakai” menghibur tamu.