Direktur Utama PLN Nur Pamudji bersalam komando dengan Dahlan Iskan dalam “blog” Menteri BUMN itu, yang sekaligus menjelaskan tentang status Dirut PLN yang ingin mundur itu
Nur Pamudji, Direktur Utama PLN, yang juga penerima “Hatta Award,” penghargaan anti koropsi, memiliki alasan kuat mundur dari direksi perusahaan milik negara itu karena tidak ingin direpotkan dengan gangguan pekerjaannya yang harus bolak balik ke kejaksaan untuk menjelaskan tentang kasus proyek pengadaan “flame” turbin 12 pembangkit listrik di Belawan, Sumatera Utara.
Nur Pamudji meyakini pengadaan “flame” itu sudah benar dan di laksanakan lewat tender. Tapi kejaksaan menilai ada nilai kerugian negara sebesar Rp 25 miliar terhadap pengadaan “flame” itu, sehingga Pamudji kecewa dan tak mampu melindungi anak buahnya dari kasus hokum walau pun mereka telah melakukan pekerjaan dengan benar.
Kejaksaan Agung menilai telah terjadi penggelembungan nilai proyek karena melebihi harga perkiraan sendiri dari PLN. Nur Pamudji sendiri telah beberapa kali mendatangi Kejaksaan Agung sebagai saksi untuk kasus dugaan korupsi proyek pengadaan flame turbin pada 12 Pembangkit Listrik Gas Sektor Pembangkit Belawan tahun anggaran 2007-2009, atau jauh sebelum ia menjadi Dirut PLN.
Untuk kasus ini dan kasus lainnya, Nur Pamudji mengakui mengajukan permohonan mundur dari jabatannya.
“Orang bener kok dituduh bersalah. PLN perlu dipimpin oleh orang yang bisa melindungi karyawannya,” kata juru bicara PLN, Bambang Dwiyanto.
Dalam pesan pendek kepada wartawan, Nur mengatakan ikhlas menyerahkan jabatannya kepada direktur baru yang lebih mampu melindungi pegawai yang sudah bekerja dengan jujur.
Inilah kasus yang membelit PLN dan menyebabkan Pamidji gerah, galau dan tak mampu melindungi anak buahnya.
Proyek pertama adalah pengadaan Flame Tube Gas Turbin (GT)-12 di Kitsbu Sektor Belawan pada tahun anggaran 2007.
Korupsi diduga terjadi pada ketidaksesuaian spesifikasi kontrak dalam pengadaan peralatan GT12 yang dikerjakan CV Sri Makmur. Pengadaan yang tak sesuai ini diperkirakan mengakibatkan negara merugi Rp 23,94 miliar.
Dalam kasus ini, kejaksaan menetapkan 5 pejabat PLN Kitsbu sebagai tersangka. Mereka adalah General Manager PT PLN KITSBU Albert Pangaribuan, Manager Perencana Edward Silitonga, Manager Bidang Produksi Fahmi Rizal Lubis, Ketua Panitia Pengadaan Robert Manyuzar, dan Ketua Panitia Pemeriksa Mutu Barang Ferdinan Ritonga.
Kasus kedua adalah proyek pemeliharaan life time extension Gas Turbine 2.2 yang dimenangi perusahaan asal Iran, Mapna Co. Kontrak LTE GT 2.2 semula dimenangi Mapna Co, yang mengajukan penawaran Rp 421 miliar.
Namun, karena dalam proses pengerjaan terjadi gangguan kompresor pada GT 2.1, Mapna diberi tambahan pekerjaan dengan nilai Rp 123 miliar. Dalam amendemen kontrak, Mapna mendapat total nilai kontrak Rp 544 miliar.
Kejaksaan Agung menilai telah terjadi penggelembungan nilai proyek karena melebihi harga perkiraan sendiri dari PLN, yang mematok perkiraan awal nilai proyek Rp 527,7 miliar. Menurut Kejaksaan Agung, dalam proyek ini, negara dirugikan Rp 25 miliar.