Catatan: Tulisan ini saya tujukan untuk abang..teman…rekan kerja… dan entah apalagi kata yang pas untuk seorang Hasyim Kaliane Sing… Hasyim KS…penulis..wartawan… seniman.. dan…. yang hidup di aras sana..
Rumah kecil itu dibelokan sebelum tanjakan mendatar Di lintasan jalan Banda Aceh-Tapaktuan. Yang selalu membuat saya tergagap ketika melewatinya.
Rumah yang persisnya di kilometer empat belas dari arah Tapaktuan.
Di situ saya selalu menghentikan laju kendaraan.
Menepi….
Setiap melintas
Sejenak…..
Sembari mengurai memori yang berpilin…
Bisa pagi, siang, sore dan ditengah malam yang pekat sekali pun.
Di situ saya memuaskan dahaga menatapnya. Menatap rumah berdinding papan. Di kerendahan jalan raya menuju tempat pemandian Tuwi Lhok.
Rumah itu berdampingan dengan tiga rumah lainnya. Di gampong Lhok Pawoh. Kecamatan Sawang. Desa yang subhanallah indahnya. Desa yang selalu menjadi inspirasi puisi dan cerita pendek pemilik rumah itu.
Baris rumah itu sendiri bersambung ke kawasan wisata Ie Dingin. Yang pantainya berpasir putih memanjang dengan lekuk laut dan tanjung di ujung barat dan timurnya.
Saya tahu ia dilahirkan di rumah itu dan juga baru tahu, kemudiannya, dia berpulang disitu. Berpulang dikerentaan hari tuanya, Digerogoti penyakit lambung, liver dan entah apa lagi yang ia sembunyikan ketika memutuskan untuk pulang.
Pulang dikesepiannya usai berkelana entah kemana. Berkelana dengan kisah sedih, gembira yang bercampur aduk dengan derita.
Berkelana sebagai seorang yang hanya menggenggam ijazah sekolah menengah pertama usai gagal sebagai siswa sekolah peternakan. Usai juga menjadi seorang tukang dobi sebagai warisan pekerjaan ayahnya.
Tukang dobi yang ia jalani dengan menyisihkan waktunya untuk menulis di banyak media. di usia belianya.
Tukang dobi si penulis puisi dan cerita pendek. Yang banyak sentimentilnya. Ia juga menulis apa saja yang mengantarkannya sebagai wartawan lokal tanpa kartu pers dan sering dibawa pejabat keliling kabupaten.
Otak saya terkatup setiap menatap rumah papan itu. Membuat denyut jantung saya selalu berdegup. Berlari bersama bulir-bulir memori yang meleleh membasahi tatahan kolom “apit awe” yang menjadi miliknya bertahun-tahun.
Apit awe yang menjadi ikonik dan kemudian menghilang di sebuah media lokal prestise. “Apit Awe” yang ia tulis setiap hari terbit media itu dari perenungan sepinya. Perenungan dari perjalanannya yang panjang. Panjang …sekali.
Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. Dan berpuluh tahun.
Yang kemudian ia buraikan menjadi kolom miliknya. Milik Hasyim Kaliane Sing. Hasyim KS.
Hasyim yang kerempeng. Berambut kriting. Berwajah tirus sentimentil. Berkulit hitam khas ras Tamil karena ayahnya memang seorang Tamil. Hasyim KS yang rumahnya dibelokan jalan menuju pendakian itu.
Saya tersedak ketika gerimis kecil mengalir dipelupuk mata. Ada ayakan gempa di bibir saya bersama sedan senggukan,
Usai melepaskan dahaga menatap rumah kecil dikerindangan pepohonan itu. saya menginjak pedal gas dengan mendesahkan kalimat.
“Damailah selalu wahai Bang Hasyim. Dikau telah memberi lebih dari yang saya butuhkan,” bisik bathin saya
Bisik bathin tentang apa yang pernah ia berikan untuk saya. Dan entah untuk siapa lainnya. Semuanya. Semuanya …. Melebihi apa yang saya dan mereka inginkan.
Hasyim KS memang pesona tipikal penulis. Sentimentil. Dan itu dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya,.
Perjalanan hidup keluarga besarnya yang sangat-sangat sederhana. Sesederhana ketika ia dilahirkan sebagai anak sulung dari rahim Saniah delapan puluh dua tahun lalu di gampong Lhok Pawoh
Yang kala usia pertengahan belasan tahun mulai mencoba menulis dl Majalah anak-anak ‘Teruna” dan “Kunang-kunang” pimpinan Haksan Wirasutisna, diterbitkan oleh Balai Pustaka Jakarta.
Setelah mwnginjak usia remaja ia terseret jadi wartawan. Wartawan lepas di Harian “Indonesia Raya” Yang kemudian berlanjut ke media lokal swadaya dan berjuang. Yang kemudian menjadi wartawan analisa terbitan medan.
Karir kewartawanannya pungkas di sebuah harian lokal prestise sebagai redaktur budaya.
Karir kewartawanannya ini beriringan jalan dengan aktifitasnya sebagai sastrawan yang mencapai puncaknya ketika bersama lk ara dan taufik ismail menerbitkan antologi aceh dan nusantara dengan mengambil nama “seulawah”
Puisinya terdapat pula dalam antoloji “nafas tanah rencong”, “banda aceh”, “sosok”, “lagu kelu” Jejak kesenimannya terpahat dalam rekaman teman-temannya dibuku “serdadu tua nguyen polan.”
Saya sendiri menjadi sohibnya sepanjang karir jurnalistik. Yang pernah menyelip di “rumah” sandiwara “gelanggang labu” yang beringsut menjarah dari satu “gampong” ke gampong lain .
Lewat pesona hiburan rakyat yang sangat “meugampong.”
Hasyim sendiri tak pernah terpisahkan dari Lhok Pawoh. Gampong itu adalah inspirasinya yang tak pernah mongering dari kehidupan karya sastranya.
Bacalah puisi sentimentalnya bergaya “sonata” tentang Lhok Pawoh yang ia tulis di awal tahun tujuhpuluhan.
Baca juga pusi-puisinya yang dibukukan bersama dua sobatnya yang lain, Darwin Baharuddin dan Basri Emka yang membuat kita “jatuh hati” karena kesederhanaan tema dan penggal penggalian imajinasinya.
Jangan pernah mengabai Hasyim KS dalam peta pusi anak “nanggroe.”
Puisi kepedihan tentang harga diri, harga negeri dan eksistensi kultural “aneuk jamee,” yang ditelantarkan oleh hegemoni dan megalomania para petaruh yang menamakan dirinya sebagai anak “aso lhok.”
Tidak hanya menyentuh, puisi Hasyim pasca Lhok Pawoh, juga membuat kita ternganga bagaimana ia menjalin kata, merangkai suasana dan menghunjamkan negerinya, yang bernama Lhok Pawoh itu
Negeri. nun di “tepian” samudera, yang ditelantarkan dari kejuahan hingar bingarnya percekcokan dan benturan kultural yang menjadi ciri zamannya.
Lhok Lhok, adalah orisinilitas yang kukuh berpijak pada akar kultur “jamee” tanpa pernah melakukan adaptasi lewat proses akulturasi yang mewah.
Lhok Pawoh ketika saya mengulang-ulang kunjungan masih seperti dulu juga. Masih ketika Hasyim KS memetik “buah” dari karya-karya inspiratifnya tentang sebuah negeri yang tercampak di selangkang “bumi” selatan sana.
Masih ada cemara laut yang bertumbuh kembali usai makan gergasi tsunami. Masih ada pilinan akar serabut pohon kelapa yang terkena abrasi laut.
Dan masih memanjang pantainya hingga ke melengkung ke Twi Lhok dan menyambung hinggga ke Ie’ Dingin yang butiran pasirnya menendang tamparan cahaya matahari lewat kilauannya cemerlangnya.
Hingga hari ini pun Lhok Pawoh masih sebuah “landskap” heterogen dengan dermaga kecil disertai sampan nelayan yang tergelitik oleh gelombang kecil.
Ada suara gaduh dari celoteh campur baur “jamee” dan “acheh” yang aromanya sangat khas “gampong” nelayan. Ada centang prenang dari dari ketidaksabaran para “muge” untuk mendapat barang dagangannya.
Lhok Pawoh, adalah sebuah desa nelayan, di Kecamatan Sawang, di pinggiran jalan lintas Tapaktuan-Banda Aceh. berjarak 16 kilometer dari Tapaktuan, kota kabupaten Aceh Selatan.
Saya berguman. Dan selalu berguman mengirim pesan ke “arash” untuk Hasyim KS. Taklimat gumam seperti dulu, ketika kami masih satu kantor, di ruang redaksi sebuah koran lokal
Bwebincang sebelum ia memulai kerja menulis “apit awe,” dan menyeleksi naskah budaya di hari Sabtu untuk mengisi edisi Minggu.
Lhok Pawoh, bagi saya memang tak terpisahkan dengan Hasyim KS. Lelaki peranakan India Tamil itu Yang sepanjang hidupnya yang “miskin” secara materi memiliki kekayaan pesona sebagai otodidak kesenimanan.
Bacalah cerpen-cerpen dan puisi tujuhpuluhannya yang menyentuh dan bercerita tentang realitas masa itu yang penuh “warna” pencarian jati diri.
Dan jangan lupa pula membaca rangkaian puisinya yang memaki kemapanan ketika ia menerima gaji sebagai “buruh” jurnalistik yang membuatnya ditelikung rutinitas keharusan “ngantor.”
Lhok Pawoh memang menerbangkan saya ke Hasyim KS. Dan ketika seorang nelayan tua menyapa saya di pinggiran dermaga. Saya tersentak dan Lhok Pawoh bukan hanya Hasyim.
Lhok Pawoh juga adalah perpaduan dari tepian samudera ketika matahari menyeruak dari kerimbunan daun kelapa, ia makin genit.
Ketika disebuah pagi, tahun lalu, saya datang, Lhok Pawoh memang penuh kegenitan ketika menjadi pasar para “muge eungkot.”
Lhok Pawoh di sepenggal pinggiran samudera itu memang telah berubah menjadi “pasar” yang menjauh dari melankolisnya angin laut, derai hujan gerimis dan desir cemara yang mengiris angin laut beruap asin.
Dan ketika sayamenyelinap dari kerimbunan cemara, dan melepaskan diri dari kegaduhan di penggalan tempat pendaratan ikan berbau anyir itu, saya menemukan pukat kecil sedang menyisihkan ikan dijalanya
Sembari berbisik di sebuah gundukan bukit kecil, dan menyapu seluruh tepian samudera keluar desis.
”Syim, saya datang menjenguk Lhok Pawoh untuk sebuah janji kita dulu ketika bareng berangkat ke Koetaradja sebagai ‘aneuk jamee’ yang terlunta-lunta.”