close
Nuga Forum

Skeptis Aja

Saya tak ingin berdebat panjang. Hanya skeptis aja.

Skeptis sejak awal gaduhnya pencalonan, kampanye hingga terpilihnya pemimpin negeri setengah federal complang nun di ujong sana di arah mata angin barat.

Federal complang yang isi dalamnya awut-awutan. Yang nampak dari luar gak akur-akur amat. Federal complang dengan stigmanisasi cambuk syariah.

Sikap skeptis itu menjadi harga mati bagi saya. Gak bisa ditawar

Harga mati pula kala saya datang di temu kangen “twedde kamer” yang menggunjingkan tentang keterpilihan seorang mantan “pang sagoe”  sebagai “mualem.”

“Pang sagoe” petak umpet. Yang menurut seorang teman keterpilihannya lewat “kauri blang.” Kenduri ketika panen “peung mirah” mulai menyurut dan negeri itu masih dibalut “gasin.”

Gak ada haha…hihi..huhu..he,,ho…. yang datang dari saya ketika  “duek pakat itu dihelat. “Duek pakat” sembari bergunjing tentang keterpilihan-nya.

Keterpilihan yang anda mungkin sangat tahu peta jalannya.

Saya ingin menjaga jarak dari petak  kepemimpinannya di negeri aso lhok itu agar terhindar dari “pungo” atawa “sawan.”  Saya tak ingin menjadi bagian dari “atjeh moorden” era sekarang.

“Atjeh moorden” yang menganggap semuanya baik-baik saja dan tidak baik-baik.

“Atjeh moorden” itu dulunya dipakai sebagai  istilah belanda untuk menyebut mereka  yang berperang melawan kemungkaran sebagai jihad mengusir kaphe.

Jihad dengan menggunakan sistem gerilya.

Salah satu kebiasaan rakyat negeri itu dalam berperang membuat lawan bengong. Banyak orang yang beraksi sendiri untuk mencari jalan syahid. Jalan syahid “do do idi.”

Gak usah kaphe belanda yang yang dibikin bengong teuntara jakarta pun mereka rajut dalam sulaman kasab.

Anda gak usah saya ajari artian ataupun bla..bla… tentang kosakata skeptis di awal tulisan ini. Cukup lewat anjuran: klik aja google lantas jawabannya langsung ditemukan.

Bagi saya, sejak menjadi reporter di sebuah media, dulunya,  mafhum benar tentang kosakata itu.

Bukan hanya mafhum tapi sudah sampai pada tingkat makrifat.  Sudah jadi bagian dari ikat tulang rusuk.

Kosakata yang menganggap segala sesuatu gak pasti dan harus dicurigai.

Ragu dan curiga atas kebenaran atau nilai suatu ide atau gak mau menerima dengan mudah apa adanya atawa mencurigai segala sesuatu

Bahkan, dulunya, ketika neil amstrong mendarat di bulan saya yang masih remaja pancong gak mudah percaya. “Kok ada  manusia yang mendarat di bulan?

Saya malah menuduh perkabaran itu sebagai “cet langet.”

Muasal “penyakit”  skeptis ini menjadi akut bagi saya karena metodisnya sendiri. Metodis yang secara metodologis: berarti investigasi atau pencarian.

Dalam konteks tulisan ini saya gak percaya dan ragu terhadap keberhasilan sebuah kepemimpinan yang berjualan kangkong. Jualan kangkong gak perlu pakai agenda segala. Gak harus ada roadmap

Saya punya alasan kuat untuk meragukan keberhasilan kepemimpinan model beginian. Tidak hanya ragu tapi gak percaya akan keberhasilannya.

Kalau pun  ada agenda yang jelas dan  bisa di baca sejak awal itu pun harus dipertanyakan bagaimana dengan cetak birunya. Blue print-nya.

Mulanya, sebelum terpilihnya si “pang sagoe” itu saya berharap negeri ini tak lagi “kikir” terhadap pemimpin, Saya mengingin ada gaung yang bisa membuat orang mendongak kesana.

Seperti dulu di era “kuala bungkok” hanya dengan dua rangkuman kata saja: jalan dan air-negeri “ketelatan” di selatan sana bebas rakit. Dan krueng aceh di belah dengan dua muara.

Saya benar-benar berharap, sebelumnya, politisi-politisi lokal belajar tentang bagaimana  berlayar  mencari pemimpin. Bagaimana kemenangan diraih dengan elegan.

Saya tak ingin kemenangan itu digenggam sebagai  kemenangan brutal.

Kemenangan di mana semua yang beradab dan berakal sehat disingkirkan. Kemenangan dengan membangkitkan nafsu yang berkuasa yang paling telanjang.

Kemenangan yang dampaknya kerusakan sosialnya bak bom hidrogen, yang sangat sulit untuk diperbaiki.

Kalau Anda seorang politisi, pasti tahu bahwa inti kekuasaan adalah penaklukan. Dalam demokrasi,  menaklukan pemilih dengan persetujuan.

Caranya, pengaruhi orang,  Bikin orang tertarik dengan bujukan. Jika perlu  gunakan taktik pecah belah. Taktik kongkalingkong. Pergunakan pressure atas nama perjuangan.

Perjuangan yang sudah lapuk dimakan rayap hantu be-lau. Kemenangan dengan mempergunakan tipu muslihat. “Tipu aceh.”

Saya tahu dan anda juga tahu bahwa setelah pertarungan untuk merebut kekuasaan selesai Anda akan memerintah. Anda akan menjadi pemimpin untuk semua rakyat yang memilih atau tidak memilih

Apa jadinya di saat kampanye, di antara mereka tidak hanya membelah tetapi juga membakar semua tenun sosial yang ada?

Hukumnya adalah seperti masuk ke toko keramik. Anda pecahkan, Anda bayar, dan Anda miliki keramik yang sudah jadi kepingan itu.

Anda tentu tidak bisa dikatakan memiliki keramik ketika keramik itu hancur lebur karena di bulldozer.

Itulah.

Saya ingin memberikan perspektif yang sedikit berbeda tentang pemilihan gubernur ini. Yang hasilnya semua kita sudah tahu. Tahu juga siapa yang naik sebagai “pang nanggro.”

Saya tidak terlalu peduli hasilnya. Saya tidak pernah mendukung salah satu calon.

Namun yang sangat membuat saya kecewa adalah kebrutalannya, khususnya saat kampanye. Secara lebih khusus lagi, dengan kadar rasisme yang dipakai.

Rasisme yang tidak saja overdosis tapi sudah meracuni anak nanggroe ini.

Dalam kampanye, kita lihat bagaimana sentimen anti-non pejuang  dieksploitasi habis-habisan. Secara bergantian kita lihat publik diingat-ingatkan tentang perjuangan dan pejuang.

Saya tahu, langkah politik ini banyak diperhatikan dengan seksama oleh sesama aneuk aso lhok. Saya sendiri mengikutinya.

Begitu banyak harapan yang ditumpahkan. Saya bisa merasakan perasaan mereka yang tertekan ketika teriakan menyengat dan slogan-slogan berbau anyir memenuhi jalanan.

Saya bisa mengerti ada perasaan terteror bagi mereka  yang bersebarangan. Saya ikut dalam duka mereka ketika pendukung lawan berpesta kemenangan.

Saya juga mengerti kefrustasian mereka ketika berbeda pilihan sengaja diperlebar sepanjang kampanye.

Namun disisi yang lain, saya juga melihat ada kebanggaan di kalangan masyarakat. Paling tidak ada lawan tanding guna menghindari kotak kosong.

Dari sini semua kita bisa belajar bahwa siapa pun tak bisa dicegah menduduki jabatan publik. Tentu dengan mendapatkan suplai murah lewat kolusi dengan mereka yang pegang kekuasaan.

Memang tak ada bedil yang ber-trat..trat… Dalam keadaan ini, tidak terlalu heran kita bila elitism arus bawah dikorbankan.

Mungkin Anda akan bertanya-tanya mengapa setelah sembilan belas tahun era damai dan  tidak ada kerusuhan negara bagian complang belum juga dihampiri solek kemakmuran,

Kebetulan?

Tentu tidak. Ini semua terjadi karena secara struktural mindset kita belum berubah. Akses ke suplai solek tidak lagi diaumkan oleh bedil. Sudah berganti dengan alokasi umum.

Saya tahu para “pang-pang” itu sudah bergeser menjadi politisi-politisi lokal yang selalu butuh dana itu. Lebih rancak mereka pun bisa ikut berpolitik.

Lantas apa yang bisa dikita simpulkan dari semua ini?

Bagi saya pemilihan gubernur di aceh. tidak sekedar tentang siapa yang menang. Tapi pemilihan ini merupakan ujian terhadap persepsi bahwa mereka yang pejuanglah yang pantas mengisinyai.

Saran saya kepada golongan yang selama ini mengaku pribumi dalam artian pemilik bendera merah janganlah memakai sentimen “kepribumian”nya untuk mencapai kekuasaan politik

Berhentilah ‘mencla-mencle,’ Adalah kerugian besar jika kita menyia-nyiakan bakat dan kemampuan mereka menjadi pelayan publik. Berhentilah mempertanyakan loyalitas mereka.

Prasangka seperti itu tidak saja keblinger namun juga tidak dilandasi kenyataan.

Dan ketika seorang kawan menulis pesan kepada saya, yang saya kira amat penting saya bagikan disini.

“Bukan masalah kalah atau menang. Kita tidak masalah kalau si polan. Tapi, cara menangnya itu yang bermasalah. Apa artinya kemenangan dengan total destruction seperti itu?”

Saya sangat gelisah akan hal itu.

Jika seorang pemimpin berkuasa lewat ekploitasi sentimen, maka ketika berkuasa ada kemungkinan besar dia akan menutupi ketidakmampuannya memerintah dengan cara yang sama.

Untuk pemimpin yang demikian, saya kira dia harus berhenti berbicara dengan gaya premanisme.

Mau dia obral sehebat apapun, semuanya akan menguap. Akan habis disapu angin.

Tags : slide