close
Nuga Tekno

Khutbah Nomophobia

Kemarin siang saya jum’atan di masjid al azhar. Di grandcity summarecon, bekasi utara. Letaknua bersebelahan dengan sekolah islam al azhar. Dalam satu komplek.

Anda mungkin lebih tahu, al azhar itu, kini. merupakan sekolah islam elitis. Prestise dari sisi uang sekolah, pembelajaran, imfrastruktur  dan lainnya…

Ke-elitisan-nya hampir menyamai sekolah bepeka penabur milik sebuah yayasan kristen yang menjadi tetangganya di lokasi yang sama, tempat saya jum’atan, tapi dipisahkan jalan dua jalur.

Saya sengaja memberi tekanan pada “hampir” menyamai untuk sekolah ini karena masih kalah dari usia kehadiran hingga favouritasnya dengan panabur. Entah mungkin tahun-tahun kedepan.

Saya tahu kehadiran sekolah islam al azhar ditujukan untuk mengimbangi kemajuan sekolah-sekolah milik kristen dan katolik.  Juga tahu sekolah itu milik sebuah yayasan pesantren islam.

Selain itu saya banyak diberitahu al azhar berada di posisi tiga rangking sekolah terbaik di negeri ini

Sekolah islam ini dikelola oleh sebuah yayasan.

Yayasan yang awalnya memperoleh sebidang tanah di kebayoran baru  di awal tahun lima puluhan lantas  membangun sebuah masjid.  Kemudiannya dikenal dengan masjid agung kebayoran.

Dari aktifitas di masjid inilah tumbuh dan berkembang ide untuk mewujudkan sebuah perguruan islam sebagai bagian dari ibadah dan dakwah

Semaraknya kegiatan-kegiatan pembinaan umat dan syiar dari masjid ini tak bisa dilepaskan dari figure buya hamka. Figur yang mendorong empat belas nama untuk bersepakat bikin sekolah.

Empat belas nama yang saya gak sebut satu persatu datang dari latar belakang profesi campur aduk. Pengusaha, pegawai negeri, politisi, pendidik bahkan ada satu nama mahasiswa. Kala itu.

Figur  hamka juga pula yang kemudiannya dicatat sebagai pendorong tumbuh dan berkembangnya sekolah-sekolah islam al-azhar seperti di jumatan saya hari itu.

Di hari jumatan itu saya datang terlambat. Usai azan. Sebelum khutbah. Penyebabnya macet ketika menuju masjid. Akibatnya ruang masjid sudah melimpah. Sehingga saya luber di bawah tangga.

Bukan jumatan, masjid, macet, melimpah dan luber atau pun khutbah itu yang menjadi pangkal hujan tawa saya di tulisan ini.

Begini. Seperti biasa kala masuk masjid saya langsung tahyatul. Tahyat ini setahu saya hukumnya sunat muakad. Muasal sunahnya datang dari sebuah riwayat.

Di sebuah jumat ketika rasul sedang berkhutbah seorang sahabat bernama kaab masuk dan langsung duduk. Rasul melihatnya dari mimbar.

Lantas, menghentikan khutbahnya. Sejenak. Padahal khutbaj itu bagian dari jumatan.Ia lantas menegur kaab untuk menegakkan shalat tahyat.

Saya bukan kaab.Tapi tahyatul masjid sudah menjadi kebiasaan begitu masuk rumah allah itu.

Usai tahyat, karena posisi saya luber di bawah anak tangga, tatapan saya langsung ke trap anak tangga. Ada delapan anak tangga. Semuanya terisi para jamaah yang luber.

Ada anak muda, setengah muda dan setengah tua. Gak ada yang tua-tua amat.

Lantas?  Seperti biasa, saya gusar.

Kegusaran itu datang ketika khutbah sedang berlangsung. Kegusaran melihat grusa-grusa penghuni tangga. Penghuni yang sibuk dengan pencet-pencet dan geletak-gelitik permainan jemari.

Kepala mereka  menunduk dan tatapan tersedot pada layar lima inci ke smartphone. Lalu, salah seorang dari yang gak muda amat: “gubrak!”

Kepalanya menubruk sepotong tiang besi yang ditanam di samping tangga. Dalam keadaan setengah mengantuk dengan henpon terlepas dari genggamannya.

Batok kepalanya, sepertinya, terasa linu, terutama bagian samping telinganya. Saya melihatnya ia mengusap-ngusap bagian ini. Teman duduk saya di luberan itu sontak tertawa. Setengah terbahak.

“Modar,” gumam saya. Ia seperti babi yang  menunduk. Si teman terdengar mengumpat. Saya meliriknya: wajahnya girang.

Pengalaman konyol.

Tapi saya bersyukur telah menyadarkan  diri sendiri.

Tentang apa?

Tentang tren orang-orang masa kini yang senang merunduk. Kedua tangannya memegang sebuah perangkat sebesar tempe dan tatapannya tertancap di layar itu.

Analogi “babi” tadi ,umgkin tepat. Lalu, saya mau menyebut orang-orang tersebut – termasuk saya dan mungkin Anda – sebagai babi-babi tekhnologi.

Saya pikir Anda yang sedang membaca tulisan ini juga setuju.

Coba saja lihat orang-orang di sekeliling, entah di mal, trotoar, di halte bus, di dalam bus, di balik jendela mobil, orang-orang sibuk dengan ponsel pintar mereka.

Bahkan, hampir tiap hari, dalam perjalanan dari rumah di residence summarecon, saya menjumpai orang-orang yang mengendarai mobil, motor nekat dengan  satu tangannya memegangi ponselnya.

Saya kadang penasaran seberapa penting pesan di dalam ponselnya itu sehingga ia berani mempertaruhkan nyawanya – bahkan mengorbankan nyawa pengendara lain.

Dari sini, kesimpulannya jelas, ponsel pintar belum tentu membuat penggunanya makin pintar.  Edan memang.

Palingan, kalau menabrak trotoar atau bus yang lagi ngetem atau kecemplung selokan, baru tahu rasa orang itu. Mampus!

Pemandangan ini belum saya temukan sepuluh atau lima belas tahun silam. Orang-orang melangkah dengan normal, melihat jalan, dan mengamati lingkungan sekitar.

Bahkan, kalau berpapasan orang saling melempar pandang atau secuil senyuman meski tidak kenal.

Tetapi, sekarang, tak jarang, orang-orang yang sudah saling kenal tidak saling menyapa saat berpapasan karena perhatiannya terserap ke layar ponselnya.

Lucunya – ini menurut riset kecil-kecilan saya – meski orang-orang itu tidak melihat jalan, tetapi orang itu tahu kapan belok, kapan menghindari sesuatu sambil cengar-cengir sendiri.

Sementara itu, di dunia industri telekomunikasi, pasar negeri ini tak henti-hentinya dibanjiri oleh aneka ponsel dari yang mahal sampai yang murah.

Pokoknya ponsel pintar, yang artinya membuat orang pintar. Apakah itu yang bernama aplikasi twitteran, kini x, fesbukan, nge-path, whatsappan, dan sejenisnya.

Tren ini mengingatkan saya pada salah satu literasi dengan nama blindness

Literer yang  diadaptasi dalam sebuah film dengan judul sama. Saya membaca kisahnya tentang  epidemi yang mendadak menyerang sebuah kota. Tiba-tiba penduduknya buta.

Semuanya penghuninya buta. Sopir angkot, dokter, anak-anak sekolahan hingga pelacur dan pencuri. Lantas tragedi kemanusiaan datang.

Sebuah kekuasaan bernama negara akhirnya mengkarantina seluruh isi kota dan mengirim segerombolan tentara sebagai penjaganya.

Inilah kisah tentang masyarakat yang sakit.

Pertanyaan, apa hubungannya dengan “serudukan di tiang tangga masjid tadi?

Euforia internet, ponsel pintar, dengan segala tetek-bengeknya itu di satu sisi merupakan merupakan fenomena yang patut disyukuri.

Konektivitas yang diusung telah menghubungkan orang-orang dari segala kalangan, lintas gender, lintas suku, lintas negara, lintas benua, dan lintas segala perbedaan.

Bahkan, internet bisa menghubungkan orang-orang yang selama ini “hilang.”

Di sisi lain, konektivitas itu justru menghasilkan diskonektivitas – keterputusan – baru di era sekarang.

Diskonektivitas ini bisa jadi memiliki dampak jauh lebih parah di era sekarang ketimbang diskonektivitas di era sebelum internet tiba.

Kenapa?

Pasalnya, konektivitas semu saat ini lebih sering memutuskan hubungan-hubungan yang utama dalam masyarakat modern.

Konektivitas saat ini di sisi lain menghadirkan alienasi – keterasingan – dalam hidup manusia-manusia modern. Keterasingan makmun di masjid dengan khutbah jumatan.

Apa buktinya? Tidak jarang, misalnya, kehadiran ponsel pintar telah mengubah suasana khusuk menjadi terpecah

Mereka lebih senang mempelototi perilaku dari tokoh-tokoh virtual dari aplikasi games di tabletnya ketimbang sosok si pengkhutbah.

Kehadiran ponsel pintar juga telah membuat orang melupakan tahajud di larut malam ata  menyingkirkan bacaan-bacaan pengantar tidur.

Gadget-gadget ini juga telah mengubah kebiasaan hidup harian orang-orang masa kini.

Olokan yang mengatakan gadget telah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat memang ada benarnya.

Orang juga dibuat lebih gelisah karena ponselnya ketinggalan ketimbang barang lain. Ada istilah baru untuk menggambarkan hal itu, yakni “nomophobia

Terminologi yang merepresentasikan perasaan panik dan gelisah dalam diri orang lantaran terpisah dengan ponsel pintarnya.

Nomophobia merupakan gejala klinis akibat adiksi ponsel pintar.

Di sisi lain, muncul  adagium makan tidak makan yang penting terhubung.

Pada titik ekstrem, terminology ini menjadi ironis bila konektivitas yang dicari justru memberikan diskonektivitas bagi pencarinya.

Orang-orang justru “buta” dan “terputus” dengan orang-orang dan lingkungan sekitarnya. Distraksi dan ketidakfokusan menjadi “penyakit” orang-orang saat ini.

Perhatiannya terpecah-pecah. Belum lagi, kebiasaan menelan informasi patah-patah di layar ponsel membuat orang-orang ini juga tidak tahan dengan kedalaman  — entah kedalaman informasi maupun kedalaman berpikir.

Yang dikunyah serba permukaan dan superfisial.

Apakah ponsel ini salah?

Sama sekali tidak. Ponsel pintar dan teknologi tidak salah.

Kita sangat berterimakasih pada para inovator teknologi yang mampu mengembuskan angin perubahan bagi kehidupan masyarakat modern.

Ini jauh lebih baik dibanding masa-masa sebelum teknologi berkembang seperti sekarang.

Yang salah adalah manusianya yang akhirnya justru tidak ketularan pintar ketika menggunakan aneka perangkat pintar tersebut.

Yang ada sebaliknya, ketergantungan – dalam sisi lain memuja – yang akhirnya membuat kita terasing dengan lingkungan. Termasuk dengan tuhan. Bahkan dengan diri kita sendiri.

Indikasinya jelas.

Misalnya, sibuk di media sosial tidak serta merta orang itu menjadi sosial. Bahkan, tak jarang, orang yang paling cerewet di media sosial menjadi orang yang justru paling kesepian.

Solusinya?

Solusi ada pada diri kita sendiri. Kita perlu mengambil jarak dengan teknologi. Kita mengembalikan kesadaran kita bahwa teknologi itu merupakan sarana mengejar tujuan dan bukan tujuan itu sendiri.

Bagi kita yang tenggelam dalam tsunami informasi dan justru sering membuat hidup kita kelimpungan dan tanpa arah, kita perlu melakukan diet informasi.

Kita perlu juga belajar mengambil jarak dengan ponsel pintar agar tidak lupa dengan dunia sekitar.

Dunia  yang lebih indah dan berwarna daripada dunia yang berada di dalam layar ponsel kita yang tak jarang memedihkan mata. Juga gak memedihkan hati

Tags : slide