Selama sepuluh tahun terakhir saya sulit menemukan jejaknya di pemberitaan. Bahkan di media sangat prestise yang ia besarkan dan kemudian beranak pinak juga gak muncul seputar aktifitasnya.
Berlainan dengan teman “seperguruan” sekaligus teman seperjalanan dalam kehidupan karir dan profesinya yang tetap eksis menggaruk serta menjadi berita sana sini.
Sang teman yang dipanggil dengan nama pop gm – maaf bukan bakmi gm – hingga kini masih sering menghiasi halaman berita media mainstream. Masih terlibat dengan berbagai aksi. Entah hari ini…
Saya baru tahu tahun lalu kondisi si teman gm itu dalam kondisi “down”
Ternyata itu sudah berlangsung sembilan tahun. Dan tahun ini genap sepuluh tahun. Sejak itu ia hilang dari kecamuk hingar bingar negeri ini.
Hingar bingar yang mengkeroposkan fondasi tujuan negeri ini didirikan. Hingar bingar yang dulu selalu ia tegakkan benangnya ketika basah. Anda tahu bagaimana sulitnya menegakkan benang basah.
Kala itu benang basah yang ia tegakkan datang dari sebuah rejim otoriter. Rejim yang sempat memberangus media ia dirikan. Memberangus lewat izin terbit dan izin usaha penerbitan.
Untuk seterusnya dalam tulisan ini saya menyapa si yang hilang dari hingar bingar itu si “down”
Yang nama utuhnya fikri jufri. Sering di sapa dengan intial fj.
Si “down” yang saya tulis ini adalah seorang jurnalis. Juranalis klas pasak bumi. Jurnalis dengan keyakinan teguh dan tidak mudah digoyang. Terutama untuk menjaga kemurnian dan kebebasan pers.
Ia sangat gigih dan tidak pernah mau kompromi sedikit pun,
Saya pernah menjadi timnya di lima puluh tahun lalu. Menjadi tim “sol sepatu.” Tim lapangan. Tim yang bikin haus tapak sepatu. Sebutan untuk jurnalis investigasi.
Tim yang kala itu ingin menegakkan benang basah di kasus pertamina. Jauh sebelum ribut-ribut kasus bahan bakar minyak oplosan yang ramai belakangan ini,
Yang kala itu pertamina juga terlilit skandal utang menggunung. Bukan hanya melilit. Tapi sudah terjerat.
Adalah si “down” yang berhasil mengungkap skandal itu.
Padahal pertaminan di era itu adalah raksasa yang bak zombie. Bahkan sang direktur utama sempat menyandang julukan “the second most powerful man “ negeri ini.
Hari itu saya ingat betul. Di sebuah hari di ujung november. Si “down” mem”brief” kami usai mendapat kabar dirut dan lima direktur pertamina diberhentikan.
Usai brief kami bergerak. Si “down” mengeluarkan jurus lobbies. Langsung ke sumber. Insting jurnalis menjadi senjata utama.
Ia bergerak sendiri sembari mengawal sekaligus mengendalikan tim lewat komando keesokan harinya.
Usai skandal hutang itu bocor tim langsung mengorek informasi soal skandal di pertamina itu. Setelah berhasil mendapatkan apa yang perlukan, si “down” beranjak ke narasumber utamanya.
Ia dicatatkan sebagai wartawan yang mampu meyakinkan dirut pertamina untuk wawancara eksklusif di tengah kontroversi besar perusahaan negara itu
Ngalor ngidul dirut pertamina yang bernama ibnu sutowo itu beserta tindihan utang perusahan yang ia pimpin menjadi cover story yang meriuhkan perbincangan di seluruh negeri.
Sebelumnya ibnu sutowo dikenal tidak mudah ditemui. Dia berterus-terang mengaku tidak suka berbicara kepada jurnalis. Meski begitu, si “down” pantang menyerah dan terus melaju.
Ngalor ngidul itu sendiri berlangsung selama dua jam penuh
Dalam ngalor ngidul itu sang dirut mengakui telah salah kalkulasi. Akibat mengandalkan komitmen dana pinjaman jangka panjang untuk membiayai proyek-proyek mercusuar.
Kepada si “down” ibnu sutowo bilang uang dari timur tengah itu ternyata fatamorgana
Skandal itu menyebabkan ibnu sutowo terjungkal dari jabatannya.
Sebagai tim liputan, saya tahu laporan utama skandal utang itu merupakan tonggak investigasi di era awal majalah yang berjargon”enak di baca dan perlu” itu
Sebelumnya ia juga menjadi satu-satunya wartawan yang berhasil membuat om liem- liem soei liong- alias sudono salim, mau bicara kepada pers
Sebelum dan sesudahnya ia tak pernah lagi muncul di media. Liem, konglomerat terbesar saat itu dan dikenal sangat dekat dengan soeharto
Tempo, yang menampilkan wajah close up om liem sebagai sampul, segera diburu oleh banyak orang yang penasaran tentang orang terkaya yang bertahun-tahun menjadi bahan gosip politik dan ekonomi itu.
Saya tahu keluwesan pergaulan sekaligus ia berada di tempat yang tepat di saat yang tepat.
Sebut saja link-nya ke tim ekonomi orde baru. Tim ekonomi yang merupakan kakak kelasnya yang kemudian jadi arsitek utama pemulihan ekonomi
Maka ia mendapat semacam privilese akses untuk menembus para menteri penting itu dengan relatif mudah,
Kadang ia juga harus menyiasati para pengawal atau supir menteri-menteri — ini suatu kecerdikan dan prestasi yang terpuji di dunia jurnalistik.
Saya gak tahu siapa dan bagaimana harus menegakkan benang basah itu dilingkar jurnalistik sekarang. Ketika semua orang harus merunduk bak benang basah untuk sebuah kosakata: kepentingan
Husss…..
Saya tahu kondisi si “down” dari forward seorang teman. Teman sesama jurnalis di tempat si “down” dulunya menjadi tokoh setengah dewa.
Dewa di sebuah media mainstream dengan puja puji perannya.
Si teman mengirim foto selfie-nya dengan si “down.”
Penampakannya seperti orang nanar. Pandangannya menerawang. Lantas saya bla..bla.. dengan si teman yang mengakhiri karirnya sebagai managing editor di bawah kepemimpinansi si“down.”
“Kesehatannya terus menurun. Sudah lama ia tidak ingat lagi nama-nama siapa pun,” tutur si teman.
Dan kemarin pagi si “down” meninggal.
Lantas, banjir bandang tulisan obituari menyertai kepergiannya di hari itu. Hingga saat saya menulis ini banjir bandang itu belum surut. Padahal banjir besar di Bekasi saja sudah mongering.
Judul pengantar obituari ia berpulang itu bak semak belukar. Terutama di media online. Kusut….
Isinya? Anda pun sudah tahu. Hang hing heng….
Saya mengenal si “down” secara utuh. Luar dalam. Di lima puluh satu tahun lalu. Di lantai dua sebuah kantor bergoyang.
Kantor bergoyang bangunan tua. Berdinding dan lantai papan. Bangunan dua lantai. Di sebuah kawasan yang tapaknya berbentuk segi tiga.
Kantor bergoyang itu lantai bawahnya dijadikan kantor pemasaran sekaligus kegitatan bisnis.
Banyak orang mengenang kawasan itu sebagai segi tiga senin.
Dan kantor itu ada di segi tiga jalan senin raya delapan puluh tiga jakarta pusat. Area itu di akhir tahun sembilan puluhan dirombak menjadi mal dan pertokoan modern.
Ketika peremajaan kawasan itu kantor si “down” pindah ke senin proyek di lantai empat. Yang letaknya bersisian dengan kantar yang bergoyang itu.
Saat kenal pertama itu saya sudah berstatus “pembantu tetap.” Status keren walaupun berada di strata bawah. Status hingar bingar. Status yang mengingatkan banyak teman dari mana saya memulai karir.
Status hingar bingar terjadi ketika nama saya tercetak di kolom susunan redaksi. Dalam status itu, yang kemudian naik menjadi koresponden, saya sering ketemuan dengan si “down.”
Ketemuan lewat program pengentasan kemiskinan jurnalistik yang mewabah kala itu. Wabah kemiskinan dari lima w+ satu h yang menjadi mantera bila seorang ingin jadi penulis.
Penyakit yang sekarang wabah penyebaran ampunnnn…..
Selama pengentasan kemiskinan itu saya mendapatkan jawaban apa itu jurnalisme. Dari mejanya di senin proyek. Bahkan dapat doa tolak balak karena sejak itu ia mewarnai perjalanan jurnalistik saya.
Saya merasa sangat diwarnai olehnya. Oleh tokoh-tokoh lainnya di bawah keredaksiannya.
Keredaksian di sebuah ruangannya besar. Ruangan yang tidak ada sekat yang memisahkan antara wartawan dan redaktur. Siapa pun bisa melihat siapa pun.
Selama berada di ruang besar itu saya bisa melihat roh nya: tinggi, besar, kulitnya putih, rambutnya keriting.
Bicara plang pling. Sesekali berbahasa inlander dan dilain kalinya ngomong cas cis cus bahasa inggris. Sambil tertawa-tawa.
Terus terang kami yang junior di ruang besar itu sering memperhatikan dari jauh dengan rasa minder. Minder sekali. Wartawan kecil di starata
Saya sendiri pernah di sentak karena lead dalam sebuah tulisan ekbis tidak menarik. Ia minta saya mengganti “lead” itu.
Anda tahu tahu di media tempat kiprahnya si down itu sebuah lead tidak hanya menarik tapi penting. Untuk mikir penting aja mumet. Apalagi dipasak dengan menarik.
Tingkat kesulitannya tahu sendirilah. Dibutuhkan pikiran sekuat mungkin.
Di era itu sampah kertas ketikan satu alinea lead selalu mengisi keranjang sampah. Maklum ajalah di masa itu belum ada namanya computer, laptop apalah yang isa dipencet-pencet.
Sebagus-bagus tingkat makrifat seorang jurnalis kala itu gak akan bisa creng dengan sekali tembak bikin lead penting dan menarik. Saya sendiri punya kebiasaan empat kali ganti lead.
Bahkan, sampai ini hari. Ketika tulisan ini saya buat. Tapi…. ada tapinya…. Gak butuh lagi keranjang sampah dan kertas a empat…
Menulis “lead” untuk majalah mingguan jauh lebih sulit daripada menulis lead untuk surat kabar.
Tapi, kelak, saat dipercaya jadi sesuatu di sebuah koran lokal saya mencoba menularkan para wartawan menulis “lead” yang baik meskipun untuk koran.
Si “down” adalah guru saya di bidang penulisan “lead”. Selebihnya saya mengenalnya sebagai wartawan yang hebat.
Ia wartawan ekonomi yang luar biasa. Lobi-lobi-nya dengan kalangan atas sangat luas. Dengan para menteri ekonomi dan keuangan. Juga dengan para pengusaha besar.
Ya…. dua puluh lima maret nanti ia akan merayakan ulang tahunnya ke delapan puluh sembilan.
Saya hanya bisa mengenang sembari terdiam mengendalikan mata saya yang menghangat.
Selamat jalan al jufri. Selamat jalan guru … fikri jufri……