close
Nuga Forum

Harap Harapan

Di dua hari terakhir awal ramadhan ini ia sering  menelepon saya. Bisa dua kali dalam satu hari. Menanyakan kabar macam-macam. Yang selalu saya jawab: baik… dan … baik..,,.

Bukan baik-baik..

Dan ketika saya balik bertanya apa ada masalah, ia menjawab: ada…beberapa…

Saya menangkap: suaranya cemas. Lantas saya katakan apakah dia cemas…

“Apa, ya… sepertinya nggak,” katanya.

Saya tahu ada kecemasan yang ia bungkus dalam desis suaranya yang melemah di ujung kalimat-kalimat pendek. Seperti keluhan gumam eee..eee..

Ya seperti penyiar radio arafuru atau ekspo tujuh puluh dulunya. Penyiar yang sibuk dengan ee..ee..ee..karena kehilangan narasi bicara.

Saya bertemu terakhir dengannya tahun lalu. Ketika saya pulang kampung “menurun tanahkan” cucu kedua.

Turun tanah bagi seorang bayi adalah tradisi di kampung saya. Tradisi dalam untaian dendang syair “do da ida..”

Turun tanah beda dengan hakikah yang sunatullah. Yang ditentukn jangka waktunya. Dengan sembelihan kibas atau kambing. Turun tanah itu hanya sebuah tradisi.

Tradisi ini bermakna tinggi. Maknanya datang dari kerelaan seorang “poma” atau ibu melepaskan anaknya untuk menjalani pilihan hidupnya kelak jika dewasa.

Bahkan disertai dendang kerelaan untuk pergi berperang. Berperang melawan kaphee.

Itu dulu. Untuk masa kini tentu  perang dalam tanda dua petik.

Dalam pertemuan tahun lalu itu saya menggunakan kesempatan untuk kangen-kangenan. Ngopi bareng ke ulee kareng atau singgah ke warung-warung jajanan kesukaan saya dan dia.

Karena waktu luang banyak dan sudah lama tidak bertemu saya dan dia bisa melanjutkan  ngobrol-ngobrol hingga larut malam sembari mengecap mi “yah cut” di peunayong.

Saya senang dengan jalinan pertemanan dengannya. Senng juga dengan postur dan “baby face” yang menyertai penampakan wajahnya.

Perawakannya sendiri gempal dan parasnya kukuh. Ia dikenal pemberani dan pintar bicara. Bahasanya agitatif dan lugas.

Saya sering bererus terang menyatakan kagum padanya. Ia dekat dengan banyak orang. Mudah bergaul  Ia bukan sekadar orang yang suka protes.

Hidupnya penuh warna. Bisa akomodatif dan bisa juga berontak  Ia tak tahan melihat taktik yang berbelit-belit.

Baginya taktik itu sudah saatnya disudahi. Bukan dengan mengangguk. Tidak juga dengan perlawanan sporadis.  Dulunya ia punya hitung-hitungan nekat.

Karena ia mengawali jalan progresif. Ia dikenal cerdik di lingkungan pergaulan  Punya kiblat perjuangan. Keyakinanya  teguh. Walau pun diterjang badai.

Badai yang namanya bisa  macam-macam. Mulai dari konflik gerakan hingga luluh lantak tsunami serta stigmanisasi entah apalah.

Ia seorang optimis. Sering bicara tentang harapan. Beda dengan saya: Skeptis. Apapun kalau itu diproyekkan sebagai “haba’ saya selalu menganggapnya “cet langet.”

Saya gak percaya ngomong-ngomong tanpa agenda. Tanpa roadmoap. Gak percaya juga dengan kajian akademis hanya dalam bentuk paper. Itu semua saya katagorikan sebagai proposal.

Yang bisa saya percaya adalah bila semua itu didukung oleh fakta

Fakta itu sakral dan segenap usaha dikerahkan untuk memperoleh dokumen tertulis itu sebelum ia menyampaikan temuannya kepada audiens. Dokumen tertulis adalah fakta tertinggi.

Tapi, ketika saya ngalor ngidul di siang awal ramadhan itu, ia berguman dan kemudiannya terdengar dua kosa kata “sirna harapan.

Saya gak jelas amat menangkap kata sirna itu. Kalau kata harapan jelas sekali…Dan saya seperti mendengarnya sebagai sinar harapan.

Sinar harapan yang dulunya sebuah koran sore milik kawan-kawan Kristen. Sinar harapan yang melahirkan banyak wartawan hebat. Aristides katoppo, saban siagian, panda nababan dan lainnya.

Tentang …. Harapan itu menjadi jelas setelah ia lanjut mengeluhkan: “itulah yang terjadi pada pemerintahan sekarang.”

O..ya.. Sepekan sebelumnya. saya baru saja bicara dengan seorang kawan yang menjadi relawan calon yang menang pada pemilihan presiden kemarin. Saya tanya ke dia, “Bro, dapet komisaris dimana?”

Dia tersenyum masam. “Sialan, ternyata ga kayak dulu. Sekarang udah gak jamannya relawan jadi komisaris. Yang dapat tentara sama polisi semua.”

Kawan saya itu, sirna harapannya. Sama seperti teman ngobrol saya di awal tulisan ini.

Padahal saya tahu si teman yang relawan sirna harapan itu  termasuk yang sangat gigih berjuang agar pasangan aneh yang sekarang berkuasa ini terpilih.

Aneh?

Mungkin. Karena masih perlu diskusikan agar aktualitasnya terjaga.

Tentang sirna harapan teman pertama saya di atas berasal dari kegelisahan adanya kebijakan baru.  Beberapa hari lalu.

Akan ada kebijakan baru di perangkat pemerintahan desa

Pemerintah mengumumkan akan membentuk koperasi merah putih di semua desa. Rencananya, koperasi ini akan merupakan usaha “serba usaha.”

Artinya, koperasi ini akan jual bibit, pupuk, pestisida dan semua saprodi pertanian. Dia juga akan punya usaha retail. Juga akan beli gabah petani.

Pokoknya serba usaha. Termasuk persewaan traktor? Persewaan mesin combine untuk panen? Iya, pokoknya apa saja yang menghasilkan uang.

Yang menarik adalah modal koperasi desa merah putih ini lima milyar. Itu akan diambil dari dana desa yang besarnya satu milyar per tahun.

Kekurangannya?

Nanti bank-bank di himbara akan menalangi modal awalnya. Alias, diberi pinjaman!

Lalu, bagaimana dengan badan usaha milik desa? Ha, mbuh. Mungkin nantinya akan dihapus, semuanya di bawah kopdes merput.

Bukankah itu berarti bahwa dana desa tidak akan ada lagi? Mestinya kan begitu. Itulah yang bikin ia cemas.

Kecemasan akan dosa yang ia buat menjelang pilpres dulu. Ia menggerakkan teman-teman kepala desa untuk mendukung dan mendukung…..

Kumpul.. datang dan perjuangkan macam-macam..

Lantas ada amandemen undang-undang desa. Masa jabatan kepala desa menjadi delapan  tahun dan bisa diipilih dua kali periode.

Kala itu ada pesta ria karena akan bisa berkuasa lebih lama. Sekarang harapan itu sirna. Kalaupun berkuasa lebih lama tapi tanpa duit. satu milyar per tahun untuk desa. Itu bukan duit kecil.

Ya… masih banyak cerita yang bisa dipungut tentang harapan yang sirna di rejim ini.  Pendidikan gratis, kuliah gratis, transporasi gratis, makan siang gratis … Sirna harapan?

Bahkan para aparat sipil negara yang kemarin penuh harapan akan pergantian pemerintahan yang berkesinambungan ikut terimbas.

Anggaran dipotong. Mereka harus bekerja dengan fasilitas yang berkurang jauh dari sebelumnya.

Ada kabar gak enak di lingkar ini. Saya mendengar orang-orang yang ikut tes  dan lolos ternyata tidak jadi mulai bekerja bulan ini. Ditunda pada oktober. Mungkin tahun depan.

Padahal banyak dari mereka yang sudah terlanjur berhenti bekerja di kantor lama dan bersiap pindah ke tempat penugasan baru.

Para kontraktor dan suplier sudha membuat persiapan tahunan. Mereka sudah memproyeksikan kebutuhan dan bahkan sudah mulai melakukan pemesanan.

Bahkan banyak dari mereka yang sudah ambil kredit untuk modal produksi.

Apa yang terjadi? Efisiensi anggaran membuat semuanya berantakan. Kredit tidak bisa dikembalikan begitu saja tanpa bunga dan denda. Padahal pemasukan tidak ada.

Di jaman ini, Anda hanya akan untung kalau Anda adalah tentara dan polisi. Pemerintah Anda sibuk mencarikan Anda posisi.

Sudah bertumpuk harapan yang sirna.

Saya gak tahu apa masih ada harapan hai kawan?

Tags : slide