close

Tulisan itu sudah berusia lima puluh tiga tahun. Tepatnya bertanggal lima februari seribu sembilan ratus tujuh puluh dua…

Kemarin saya menguliknya. Ternyata masih relevan dengan kondisi negeri nayarana hari ini

Masih up date dengan sikon hari-hari  ketika musuh negara nomor satu bernama setan.

Tulisan itu sudah melewati perjalanan waktu yang panjang. Lebih dari lima dasawarsa. Tapi masih segar karena ia ringan. Tak membawa beban terhadap pesan yang disampaikannya.

Si penulis bukan orang sinting seperti saya. Yang seperempat sintingnya karena trah atjeh moorden…

Si penulis membagi jariah tulisannya kesemua orang tentang pemahaman dan pemikiran lewat bahasa yang lucu tapi bermutu.

Saya memang sudah tahu sejak dulu untuk menyampaikan sebuah pemahaman seharusnya menggunakan bahasa yang  segar dan ringan. Jangan memakai bahasa basi, lusuh, dan filosofis.

Judulnya tulisannya sangat menggelitik: musuh  republik nomor dua

Saya tersentak ada musuh lain dari setan tetapi berada di posisi kedua.

Dalam tulisan satu setengah folio itu ia langsung menghembat tentang musuh nomor dua itu. Seperti yang ia tulis: mereka adalah politisi.

Orang-orang partai politik.

Ia tidak berkelakar dengan pernyataan ini. Walau pun secara tensi penulisannya ia menurunkan tingkatnya. Dari tuduhan ke usulan. “Ini hanya sebuah usulan,” tulisnya.

Yang lantas tulisan itu bersambung: “ini hanya kelakar segar.”

Lantas lanjut dengan pertanyaan tentang siapa dan dimana keberadaan para politisi itu sebagai musuh?

Mereka ada dimana-mana dan gak ada dimana-mana.

Kemudiannya ia ulang lagi  tentang musuh nomor dua ini. Mereka nyaris jadi musuh   nomor dua sesudah setan. Mereka semacam ayam trondol yang rontok bulu-bulunja.

Kala itu si penulis seperti sedang meramal bahwa musuh nomor dua  akan terus ada dan bergentayangan menyabot dengan berbagai akal bulus di sebuah masa yang panjang.

Saya cuma tergelak tentang ramalan itu.

Terbukti!

Saya gak perlu menjawabnya  tentang pembuktiannya.. terserah saja…

Beda dengan musuh nomor satu yang setan itu. Setan yang gak perlu diperbincangkan. Sangkut sengkarutnya sudah lengkap dan  jelas di bahas oleh tafsir.

Baca saja tafsir qurais sihab … plass…

Ya memang sudah begitu ashbab-nya.

Sudah takdirnya. Untuk itu gak perlu dibahas.

Sedang musuh nomor dua tadi, politisi atawa partai politik, bagi saya telah menjadi  musuh kolektip. Musuh bersama  Juga musuh individual banyak orang sampai di hari saya menulis ini.

Musuh itu statutanya,  resmi maupun swasta. Orde lama maupun orde baru. Tak ada pengecualiannya dengan  orde reformasi.

Musuh nomor dua ini juga menjadi musuh duniawi dan uchrowi.

Sekali lagi maaf….  ini bukan ungkapan sinting tapi ingin memberi parspektif pemikiran lucu bermutu lewat bahasa yang segar, bersih dan ringan.

Bukankah perintah untuk menggunakan bahasa secara baik dan benar perlu diberlakukan?

Bukankah bahasa segar itu mengingatkan anda dan saya tentang buah. Atau pun bahasa bersih mengingatkan cucian baju. Sedangkan bahasa ringan mengingatkan kerupuk.

Sampai paragraph ini anggap saja tulisan saya sebagai obrolan sesama teman di sebuah dangau di tengah sawah yang ditemani kopi tubruk dan penganan goreng pisang. Jangan di anggap serius….

Obrolan yang gak usah di dengar oleh tokek sekali pun. Obrolan  diterbangkan  angin ke barat dan ke timur. Syukur kalau ia bisa sampai ke gedung beratap batok kura-kura. Untuk kemudian menguap.

Tentang politisi sendiri anggap saja mereka sebagai pemain sandiwara. Terlepas dari mana mereka berasal. Dari profesi apa saja.

Jangan persoalkan pandangannya. Apakah radikal ataupun akomodatif…terserah saja….

Semua mereka tentu akan menyuarakan koor ingin negara diatur, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaja.

Mereka juga akan berceloteh tentang stabilitas. Tentang kim. Koalisi indonesia maju. Tentang kabinet yang gembrot tapi gemuk dan gempal. Tentang apa saja yang kalau di tendang langsung gol

Di waktu yang lain  secara bersamaan  mereka bisa jengkel pada kaum muda yang sering mengecam dan protes  menerawang masa depan…

Kaum muda yang dari atas podium dituding dengan mulut di guman lewat satu kata:..ndas…mu..

Ndasnya dibisikkan dan mu-nya digumam..

Kemarin ketika kata ndas-mu ini saya bisikkan ke seorang teman ia terkesiap. Ia, dulunya, seorang politisi. Saya bertanya kepadanya, apa sih kerjaan politisi itu.

Ia mengibaskan telapak tangannya. Saya tahu diri gak mau mengulang tanya. Tapi, sebelumnya ia cuap tentang indonesia dua ribu empat puluh lima. Indonesia dua puluh tahun.

Indonesia makmur kartarajasa. Gemah ripah loh jinawi…..

Indonesia membangun. Akan mempunyai kemajuan. Yang saya selingi : tetapi kita masih akan merupakan bangsa jang miskin.

Saya memang murung mendengar khutbahnya itu dan gregetan terhadap omongan-ramalannya.

Saya tidak meremehkan penguasa baru. Malah setuju ia kencang membangun lewat podium. Membangun yang mirip metafora di puisi!

Maaf saya tak berniat gagah-gagahan dengan tulisan ini semua. Bagi saya, siapapun mereka berhak menjadi apapun Mereka sudah menjalani tugas.

Lantas  apa lagi?

Maaf juga kalau saya  mengajari orang tertawa…atau kecewa..

Tulisan ini adalah  bagian sentral dalam percakapan dengan diri sendiri. Agaknya itu yang mengikatkan saya.

Tags : slide