MEULIGO di sebuah dhuha yang muram. Hari itu, pekan pertama Januari, ketika hujan baru saja usai dan bulir air tergelincir di kibas angin lembut di pucuk daun pisang. Di langit kampung miskin itu masih menggelantung arakan awan hitam pertanda hujan belum akan selesai.
Lima belas menit lalu hujan lebat baru saja berlalu, dan menyisakan jalan setapak, yang menghubungkan rumah-rumah penduduk dengan jalan utama berasapal “goreng” yang kini sudah mengelupas, licin, gembur dan berlumpur. Tak ada kecipak suara yang menjalarkan gairah kehidupan di pojok lorong- lorong sempit dengan rumah setengah gubuk yang bertumpuk tak teratur berdasarkan garis keturunan.
Sesekali ada deru suara motor yang datang dan pergi memanjat gundukan jalan “inspeksi” di pematang saluran irigasi, yang hari itu, ya ampun beceknya. Tanggul yang membentang sepanjang garis timur perkampungan itu dan menjadi jalan penghubung antar satu desa dengan desa lainnya di kawasan Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara itu.
Selebihnya, sunyi kembali mengendap. Sunyi yang mendesirkan suara angin sembari menaburkan tempias dari endapan air di dedaunan pohon mangga ketika angin renyai menggelitik rantingnya dan menimbullkan suara kraakkk….kruuukk….
Meuligoe, kampung duafa itu, ketika kami menjenguknya masih terjepit di landas kemiskinan akut. Penduduknya, yang dihitung dari jumlah keluarga, tak pernah melewati angka seratus, khas desa-desa marjinal di Aceh yang terpasung di antara persawahan dan hutan kecil dengan penduduk minim tanpa pernah disentuh pembangunan infrastruktur dasar.
Meuligoe adalah salah satu contoh desa marjinal itu. Terletak di cekungan sebuah telapak bukit yang berjarak 4 kilometer dari kota Kecamatan Muara Batu, Krueng Mane, dan 14 kilometer dari Sawang, kota kecematannya, nun di punggung Bukit Barisan sana yang dulunya menjadi basis kaum pemberontak.
Kehidupan penduduk di Desa Meuligoe terangkai dalam mata pencaharian sebagai petani, peternak, dan pekerja musiman di persawahan. Pendapatan perkapita mereka masuk katagori miskin menengah dan miskin “bawah” yang secara struktural keduanya berada di bawah garis “emdigi.”
Meuligou memang “gampong gasin” sejak ia lahir, remaja dan kini menjadi dewasa, yang seperti seperti dikatakan dengan fasih oleh tetua kampung, Apa Teh, tokoh berpengaruh di sana, sebagai desa piatu yang terlunta-lunta di antara dua jepitan janji berdurasi “kemakmuran” ala Brunei Darussalam jika genggaman “merdeka” telah berbuah.
Setelah “merdeka” pun, kata Apa Teh , hasilnya nah, di sana itu sembari menudingkan jarinya menunjuk jalan tanggul irigasi yang bagaikan belanga bubur, berlobang, dan usai hujan di siang itu mengharuskan terseok-seok untuk melewatinya. Sembari terkekeh, orang tua yang hidup dari sepetak tanah sawah itu, mengatakan, “setengah merdeka saja sudah begini, kalau merdeka penuh menguap ke langit semua janjinya.”
Menetap beranak pinak di “kluster” rumah keluarga besarnya di sudut barat perkampungan, Apa Teh dengan mencibir mengatakan, sudah seminggu ini ia tak bisa beraktifitas karena genangan air hujan di kampung kecil itu tak beranjak surut karena tak punya saluran pembuang. Inilah derita kami berpuluh tahun jika musim penghujan datang. “Sejak tanggul irigasi itu di bangun,” katanya dengan nada sendu sembari menerawang.
Apa Teh memang potret “kelas menengah” yang mapan untuk ukuran Desa Meuligoe, dengan sepetak tanah “umong” dan kebun kelapa di bukit kampung dan bertahan hidup dengan ajaran dicukup-cukupkan. “Kami masih punya beras untuk makan pagi,” katanya nyengir ketika ditanya bagaimana ia menghidupi anak istrinya bertahun-tahun.
Nasib Apa Teh sedikit beruntung dibanding Pa Suh, lelaki pincang yang masih kerabatnya yang menjalani ritualnya sebagai “manula” di kampung miskin itu dengan mengepit kata “takdir” sebagai obat kepasrahan. Sedari tadi lelaki berbadan kecil itu nimbrung dalam dialog kami tersentak ketika menyinggung kehidupan penduduk desa. Lama menjadi menjalani profesi “mafia” jual beli sapi, lelaki tua tempramental itu memotong dialog kami dalam dialek Aceh yang kental. ”Meunyo kamoe, hana meupat beu bengoh.” Kalau kami tak tak punya nasi pagi.”
Pa Su memang tipikal keluarga sangat miskin di Meuligoe. Tak punya petak sawah “blang,” ia dan istrinya sejak duapuluh tahun lalu mengandalkan hidup dari kerja buruh tani di sawah-sawah penduduk dengan sistem bagi hasil.
Dulu ia masih punya sawah tapi ketika “amok” negeri berkepanjangan ia meng“gala”kanya ke seorang rentenir yang kemudian menyerah ketika mencicilnya hingga utangnya beranak pinak dan hartanya itu berpindah tangan.. “Malah ia katakan saya masih punya utang dari bunganya. Entahlah”
Kini Pa Suh terdaftar sebagai penerima beras miskin, yang terkadang ditebusnya dengan uang pinjaman untuk kemudian dijual kembali hingga ada selisih “keuntungan” yang ia gunakan pembeli kebutuhan lain. Nasib Pa Suh tambah pahit setelah istrinya sakit-sakitan. “Lon meupom na JKA, tapi ongkos untuk bolak balik ke rumah sakit di Lhokseumawe saya tak punya,” ujarnya dalam bahasa Aceh dan Indonesia campur aduk.
Belit kemiskinan di Desa Meuligoe memang sangat kencang. Ramli, salah seorang anak desa itu yang bekerja di Dispenda Aceh Utara di Lhok Sukon, yang hari itu mudik dan bertemu di mulut jalan “raya” Sawang-Krueng Mane, membisikkan tentang kemelaratana penghuninya. “Kalau hanya bertahan di sini saya juga seperti mereka. Jadi buruh tani,” katanya.
Ramli tanpa sungkan menceritakan tentang eksodus penghuni negeri miskin itu. “Kini yangt tersisa di kampung ini hanya orang tua dan mereka-meraka yang bertahan dengan nikmat kemiskinan. Yang lainnya sudah hengkang. Tapi tetap memegang katepe desa seperti saya untuk membantu jumlah penduduk bila ada kaitannya dengan bantuan desa,” katanya terbahak.
Pa Suh, ungkap Ramli, lelaki yang sebelumnya berbincang dengan kami, tiga dari empat anaknya kini sudah di Jakarta dengan profesi kerja serabutan. “Abis pendidikannya tak tamat SMP. Paling jadi agen ganja atau jual obat kuat,” ujar dengan nada canda.
Meuligoe adalah gambaran desa di Aceh Utara atau Aceh secara keseluruhannya yang membenarkan bagaimana kemiskinan menjadi sebuah realitias. Kemiskinan yang tidak hanya dibaca di data dan di “update” oleh BPS (Badan Pusat Statistik) setiap bulan, kuartal, semester untuk kemudian direkapitulasi menjadi angka tahunan dengan kisaran 19 persen jauh melampaui angka nasional 11 persen.
Kemiskinan yang hitungannya mengacu pada indek kedalaman dan keparahan kemiskinan yang diakhir tahun lalu disimpulkan makin menyempit di tingkat pendapatan dan pengeluaran. Tapi indakasinya tetap miskin, padahal negeri dibanjiri oleh “lemak” duit anggaran atas nama dana otonomi khusus, dana pembagian migas, dan dana perimbangan daerah yang melimpah, tapi dimakan bagaikan kenduri “moulud” untuk bancakan “toelagh” pembayar “belasting” atas nama “romantisme” pasca perang secara berjamaah oleh birokrat dan ulee balang baru yang mempergunakan privelese atas nama pejuang.
Romantisme kucuran anggaran selama enam tahun terakhir, yang menurut data dari Mata dan Peccap mencapai angka Rp 100 trilyun, tapi dibelanjakan untuk membeli kemewahan hidup atasnama proyek yang tak kaitannya untuk mengusirkan keterisoliran Desa Meuligoe atau mengeluarkan Apa Teh maupun Pa Suh dari “sandera” kemiskinan berlabel “struktural.”
Tentu tidak hanya Meuligoe, Apa Teh, Pa Suh yang dibalut kemiskinan dan dimarjinalkan secara hirarkis oleh hitungan pendapatan perkapita. Ribuan desa lainnya di Aceh, yang jumlahnya hampir enam ribu itu masih merangkak dengan persoalan kebutuhan dasar.miskin18012013