Saya baru tahu bagaimana sulitnya mengurai benang kusut untuk kemudian menegakkan benang basah di dunia kedokteran.
Tahunya tadi malam usai isya. Dari wawancara milik rosi silalahi di jaringan televisi “kompas.”
Wawancara yang tersendat-sendat disertai nada sentimentil dari uap kemarahan yang dibungkus dengan tatapan kosong. Seperti sebuah wawancara imajiner yang hang hing hong…
Rosi sebagai pewawancara jauh dari gaya batak. Ia seperti n-jowo. Sangat santun dalam mengulik tanya. Gak provokatif seperti memotong jawab atau menghardik. Kesannya lurus-lurus saja.
Padahal wawancara semacam ini adalah panggung. Bisa dijadikan sebagai panggung sandiwara dengan memasukk unsur teaterikal
Lantas saya melayang: kenapa gak najwa sihab saja. Najwa lebih elegant dalam mengaduk-ngaduk tanya. Bisa mencibir jika jawaban si narasumber complang…Bisa juga menyepelekan ego lawannya
Entah….
Yang diwawancarai rosi tokoh sentral dari benang kusut dalam menegakkan benang basah itu.menteri kesehatan. Namanya budi gunadi sadikin. Disapa be-ge-es….Yang egonya gak ketulungan besarnya..
Tentang ego besar sang menteri bukan kata saya. Tapi kata dokter-dokter. Mungkin dokter yang tergabung dalan ikatan dokter indonesia. Ikatan dokter profesi.
Sang menteri yang pakar nuklir dan keuangan dalam wawancara itu kelihatan kelelahan. Bahkan, seusai wawancara ketika sorot kamera belum dipadamkan ia nelangsa di frame lhong shoot
Terlihat menyandarkan punggung di sofa dan merebahkan kepala untuk berbicara dalam tangkapan kamera ketika lampu studio mulai meredup.
Tentang kelelahan ini ia beralasan kecapekan mempersiapkan kedatangan bill gate. Pemilik microsoft. Yang dua hari lalu berkunjung dan bertemu dengan presiden.
Lepas dari alasan itu saya kasihan melihatnya.
Sebagai seorang jurnalis, saya melihat di kejauhan secara sama-samar adanya “pertarungan” ego yang belum selesai antara sang menteri dan para dokter yang terungkap selama wawancara berlangsung.
Ego ini terang benderang kala sang menteri berkutat di materi undang-undang dalam setiap pertanyaan nakal dari rosi. Ia seperti menyepelekan etik kedokteran. Kode etik.
Ia lupa bahwa pekerjaan dokter itu profesi. Setahu saya lagi orang yang berprofesi adalah orang yang sangat independen.
Orang yang berprofesi adalah orang yang dalam jiwanya dibentuk sikap otonom: mau melakukan atau tidak mau melakukan. Itulah yang membentur setiap jawaban sang menteri yang tak berkesudahan
Secara internal meteri kesehatan harus berurusan dengan jenis manusia seperti itu. Mereka adalah konsumen –konsumen internal. Harus dipuaskan juga.
Kadang saya pun sulit membedakan mana jiwa otonom, independen, dan arogan. Sepertinya tiga hal itu menyatu dalam sebuah jiwa profesi.
Profesi lebih taat pada kode etik dibanding ke undang-undang. Menteri lebih taat pada undang-undang–tidak terikat pada kode etik.
Jika melanggar kode etika, tetapi harus dilakukan karena sesuai undang-undang, bisakah tetap dilakukan…?
Katanya bisa… sudah pernah dibahas dan ditemukan solusinya… jika ada kasus terpidana harus dihukum mati dengan disuntik, siapa yang melakukan…?
Dokter biasa ga mau karena melanggar kode etik… maka, yang melakukan adalah dokter yang sekaligus polisi atau tentara….
Ketaatan dokter pada kode etik sudah melekat sebagai tanda dia berprofesi. Sampai hari ini menteri kesehatan masih punya agenda besar bagaimana memperlakukan konsumen internalnya.
Terakhir muncul tantangan dari kolegium. Konflik tidak kunjung reda. Kini logo salah satu spesialis dokter ditambahi pita hitam. Viral dengan luasnya.
Konflik harus berakhir. Rasanya harus ada jalan tengah. Saya tahu menkes orang yang sangat pintar, pandai, dan cerdas.
Rasanya itu baru cukup untuk modal menjadi seorang menteri biasa. Untuk menteri kesehatan masih harus ditambah satu lagi: ia harus hebat!
Be-ge-es bisa jadi orang hebat –kalau ia bisa menundukkan dokter tapi juga tunduk pada prinsip-prinsip profesi dokter
Tahun lalu ego sang menteri menang. Ia bikin sejarah. Itu terjadi di awal bulan mei. Pendidikan dokter spesialis gratis. Bahkan mahasiswanya dibayar. Seperti di negara maju.
Pendidikan dokter spesialis tidak lagi dilakukan di fakultas kedokteran. Pendidikan itu dilakukan di rumah sakit. Ada sambutan gegap gempita Saat itu waktu injury time jabatan kepresidenan
Saya tahu sejak dulu perubahan di bidang pendidikan dokter spesialis itu sulit diubah. Padahal begitu penting. Penting untuk perbaikan mutu kesehatan itu sendiri.
Debat publiknya masalah pendidikan dokter spesialis ini sudah berbilang tahun. Berbilang menteri datang dan pergi. Semuanya meninggalkan ego yang terbengkalai
Kali ini pelontar ego itu menteri kesehatan yang bukan dokter, Bukan seperti menteri kesehatan favorit saya dulu. G a siwabessy. Siwabessy yang humble. Menyenangkan banyak orang.
Pembaharuan pendidikan dokter spesialis ini sudah sangat lama. Membentuk kelompok pro-kontra.
Lantas muncul kolegium yang merupakan kumpulan ahli dari disiplin ilmu kesehatan yang mengampu cabang disiplin ilmu tersebut dan menjalankan tugas serta fungsi secara independen dan menjadi alat kelengkapan konsil.
Sehingga kedudukan kolegium tidak dapat dimakmai berada dan/atau bertanggungjawab secara struktural di bawah konsil
Dan kolegium ini menjadi tantangan baru bagi menteri.
Sebagai jurnalis yang dulu pernah berkutat di rubrik orke-olahraga-kesehatan- saya sudah lama menunggu saatnya diputuskan.
Dengan dicabutnya pendidikan dokter spesialis dari fakultas kedokteran berarti kemenangan ada pada be-ge-es.
Ia menang dalam menundukan ego para dokter, sementara ego para dokter ingin tetap mewujudkan keinginan kelompok mereka.
Apakah langkah sang menteri itu sudah benar?
Dari banyak dokter saya menenteng jawaban yang gak bulat.Bisa jadi kebenarannya hanya sedikit. Bisa juga separuh benar.
Seharusnya, meski tidak sepenuhnya benar, kedua pihak perlu melakukan refleksi. Bagaimana cara terbaik agar kebutuhan masyarakat menjadi patokan yang utama.
Seperti yang dilakukan menteri kesehatan dengan membangun lima rumah sakit vertikal. Sudah jadi. Semuanya kelas triliun rupiah.
Lantas datang pertanyaan sempatkah menteri membangun ”isi” dan sistemnya? Di lima rumah sakit itu sekaligus? Membangun ”isi” sejak dari nol? Berapa lama?
Sebagai ahli keuangan ia tahu: kalau rumah sakit itu tidak segera ”produktif” maka ratio investasi dengan out produksinya buruk. Negara ini terlalu banyak investasi dengan hasil yang buruk.
Kalau sampai satu tahun lagi produktivitas rumah sakit triliun itu belum baik citra sang menteri akan jatuh.
Ia akan dapat peneguhan bahwa bukan dokter tidak tahu bagaimana membangun rumah sakit. Apalagi kalau alat-alat canggih di dalamnya jarang dipakai.
Semua itu pekerjaan besar yang tidak kelihatan di mata: harus membangun manusia, membangun sistem, membangun team work, membangun budaya manajemen. Terakhir: membangun kepercayaan.
Sebagai orang keuangan menteri tahu tentang marketing yang sudah berubah. ”Konsumen adalah raja” hanya bisa dicapai bila konsumen internal juga puas atas perlakuan leader.
Banyak leader berambisi memuaskan konsumen di luar sana seraya melupakan bahwa internal adalah konsumen juga.
Sulitnya, konsumen internal seorang menkes sangatlah khusus. Bukan seperti umumnya karyawan bank atau pabrik. Konsumen internal menkes lebih banyak dokter dan tenaga medis.
Tidak mudah ”menundukkan” jenis konsumen seperti dokter. Dokter adalah profesi. Bukan pekerjaan biasa.
Sebagai awam saya juga ikut lelalh mengikuti wawancara. Sub tema yang beranak pinak. Seperti beranak pinaknya sub spesialis di pendidikan kedokteran yang memunculnya kolegium-kolegiuman.
Pernyataan sang menteri bagi orang seperti saya sulit untuk diternakkan di kepala. Saya yang dulunya banyak menyalin remah dunia kesehatan ikut terbawa hang hing heng keluh kesah sang menteri
Tapi apa boleh buat. Apa saja bisa dilakukan. Walaupun sudah tidak ada lagi kesalahpahaman.