close
Nuga Forum

Kartini…..

Entah mengapa harus kartini….

Dan entah mengapa pula hari ibu harus dua puluh satu april  ..

Saya gak tahu dan gak pernah di kasih tahu alasannya.. Alasan yang masuk ke rongga serabut akal saya.

Saya terus mencari jawaban dari pertanyaan itu…. Mencari jawaban kemana-mana. Hingga ke tukang nujum. Bahkan sampai ke rumput yang bergoyang..

Gak pernah ada jawaban yang selesai. Sehingga saya sering nelangsa yang menyebabkan pertanyaan itu beranak pinak…

Mengapa gak si hamijah. Ibu saya. Kenapa gak nenek saya tisah ani yang tahun kelahirannya gak jauh berjarak dengan kelahiran kartini. Juga mengapa gak nenek saya yang lain nursiah

Entahlah…..

Mungkin nenek saya tisah ani dan nursiah bukan istri bupati. Mereka gak mengenyam pendidikan sekolahan. Kedua nenek saya buta aksara. Bahasa prokemnya buta huruf. Tapi gak buta warna

Saya gak tahu apa yang terjadi kalau kedua nenek saya dari garis ayah dan ibu itu buta warna. Buta yang bisa menyesatkan untuk jalan berangkat dan pulang..

Mungkin, mengapa gak ibu saya hamijah yang cukup sampai ke tulis baca secara otodidak. Yang hanya bisa baca kisah “umbik mudo.”

Hanya bisa melantunkan teks syair doda idi doda idi lewat huruf “arab jawi.”

Saya tahu saat nenek saya merajang hidup belum ada sekolah untuk inlander. Bukan seperti kartini yang sekolahan belanda. Menyebabkan ia bisa tulis baca dan bisa saling kirim warkah dengan noni

Noni yang bernama abendanon.

Saya juga tahu ketika kartini bisa tulis baca negeri saya sedang dirajang perang. Perang terhadap khape. Maka segala yang berbau khape haram hukumnya. Itu hukum tegak lurus.

Termasuk sekolah khape. Untuk itu di negeri saya hingga londo si penjajah kaphe itu hengkang hany ada sekolah bernama mulo di koetardja. Mulo yang jenjang sekolah menengah pertama.

Kalau pun ada sekolah khape saya memastikan nenek tisah ani dan nursiah gak kan pernah diizinkan untuk bersekolah.

Bahkan ketika di tahun-tahun ayah saya yang lahir di awal abad lalu ia harus bertarung untuk bisa mendapat jatah bangku di sekolah desa yang bernama his.

Saya banyak membaca literasi dalam bentuk esai tentang kartini. Semuanya amin… kartini “ibu sejati.”

Saya hanya bisa bergumam secara complang tentang “ibu sejati” ini. Gak menyalahkan banyak penulis esai yang menerbangkan imajinasinya tentang seorang kartini.

Padahal mereka hidup dan menghitung jejak langkah kartini dari sejarah yang banyak bolongnya.

Tulisan ini inin saya up bukan untuk untuk menggugat eksistensi kartini. Saya bukan sejarawan. Hanya penulis ecek-ecek yang lahir dari rahim negeri merdeka ketika kartini berlayar.

Saya tahu dan pernah membaca sebuah buku yang isinya menggugat mengapa harus kartini. Seperti pertanyaan saya sejak dulu.

Sang penggugat se orang guru besar sejarah  Ia punya ruang untuk menggugat. Ruang yang ia miliki sebagai kekuasaan seorang sejarawan. Ia mengkritik pengkultusan gelar ibu sejati.

Ia mempertanyaka kenapa kita mengambil alih kartini sebagai lambang emansipasi wanita dari kaphe. Apakah seorang kartini harus dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita negeri ini?

Pertanyaan yang saya gak tahu jawabannya..

Entahlah….

Entah juga dalam gumam panjang saya tentang sebuah tanah merdeka Dimana ia pernah punya seorang perempuan sejati. Bukan ibu sejati.

Perempuan sejati yang menjadi sulthanah johan berdaulat. Sulthanah yang berkibar menguasai luasan donya selatan dengan nama nusantara. Bukan nama nusantara milik jokowi yang bakal punah itu.

Kehebatan perempuan itu sangat luar biasa. Sultanah dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan.

Selain bahasa aceh dan melayu, dia menguasai bahasa arab, persia, spanyol dan urdu. Bukan seperti kartini yang menguasai jawa inggil dan belanda letterljik.

Saya dulu rajin membaca sejarah pemerintahannya. Era-nya ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari nuruddin ar-raniry dan syiah kuala abdur rauf.

Dua nama yang kemudian ditabalkan sebagai perguruan tinggi di aceh.

Sejarah mencatat sang sulthanan dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Ikhtisar epos besar jejak sejarah sulthanah masih bisa dikunjungi di pimto khop taman putro phang

Sekali lagi saya gak ingin membanding kartini dengan tokoh sejarah lainnya. Gak ingin mengecilkan perannya. Walaupun terhadap penokohannya menemukan kenyataan tentang siapa kartini.

Kartini memang dipilih oleh orang belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di negeri ini. Itu sah saja. Sah juga pergaulannya dengan keluarga noni-noni.

Jangan dibantah bahwa dari pergaulannya dengan noni-noni ini kartini memiliki privelese. Ia berhasil menyalin berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.

Setelah enam tahun kartini berpulang di usia dua puluh lima tahun terbitlah kumpulan surat-suratnyai berjudul “door duisternis tot lich.”

Bersamaan dengan itu juga  terbit kumpulan suratnya yang lain dalam bahasa inggris “letters of a Javanese princess.”

Selang hitungan tahun muncul terjemahan kumpulan surat-surat itu dalam bahasa indonesia dengan judul “habis gelap terbitlah terang: boeah pikiran.”

Saya kembali mempertanyakan tentang judul kumpulan surat-surat ini. Jika kartini masih hidup hari ini apakah ia akan mampu memberi judul terhadap kumpulan surat-suratnya seperti itu?

Sekali lagi entahlah…

Entah juga seperti ditulis sejarawan yang menelusuri jejak kartini dari penelitian menyimpulkan  “orang-orang indonesia di luar lingkungan terbatas kartini sendiri tidak mengenalnya.”

“Mungkin,” tulisnya. Mereka gak akan mengenal kartini bilamana orang-orang belanda gak menampilkannya lewat tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.

Karena itulah, si sejarawan menyimpulkan “kita mengambil alih kartini sebagai lambang emansipasi wanita dari orang-orang belanda.”

“Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Saya setuju agar informasi tentang wanita-wanita negeri ini  yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang.

Maaf … saya gak berada di alur tulisan untuk meruntuhkan mitos kartini. Gak ada kepentingannya. Toh kartini sudah beberapa dekade melewati  sebuah narasi panjang sebagai “ibu sejati.”

Saya juga gak ingin mempertentangkan apakah kartini lebih mulia dalam berbagai hal  dengan wanita-wanita lain. Atau pun  lebih berjasa. Itu terlalu naif…..

Kita harus berbangga dengan kartini dan wanita-wanita lain tanpa menegilkan sumbangsih mereka.

Memang banyak kisah-kisah lain. Sebut saja cut nyak dien. Kisahnya malah sudah diangkat ke layar lebar lewat pameran christine hakim yang fenomenal itu. Masih ada tengku fakinah.

Saya bangga saja kalua nama-nama itu  disebut. Cut mutia, pocut baren, meurah intan atau pun cut po fatimah.

Untuk itu saya selalu mengenyahkan klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri ini  pada masa kartini hidup.  Saya selalu ingin menggugurkan pernyataan itu.

Di aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era cut nyak dien negeri kami sudah memiliki malahayati.

Jadi, ada baiknya anak bangsa ini  berpikir lebih jernih: Mengapa harus kartini?

Mengapa bukan ….? Mengapa bukan …?  Mengapa abendanon memilih kartini?

Dan mengapa kemudian bangsa ini juga mengikuti kebijakan itu?

Apakah karena cut nyak dien  tidak pernah mau tunduk kepada kaphe? . Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan da atas negeri ini.

Memang perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya.

Yang berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik.

Ya … yang berubah adalah perlakuan…

Memang kartini ingin mengubah perlakuan itu. Semuanya tercermin dalam surat-suratnya. Bukan cuma  isinya, melainkan juga gayanya.

Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintai.

Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru.

Beberapa tahun setelah ia menuliskan surat-suratnya yang kemudian termashur itu – cerminan rasa gelisah dan protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat kolonial yang timpang

Dalam hidupnya yang pendek  sebagai isteri kedua seorang bupati,  yang betapapun terpelajar dan penuh kasih sayang kepadanya, tetap bagian yang jinak dari tata yang tertib.

Saya tahu kenapa kisah kartini jadi penting. Bukan karena heroismenya melainkan karena kegagalannya

Dialah perempuan yang mencoba menunggang gelombang – khas suara generasi muda — tapi terjebak dalam palung ke-tua-an.

Dalam masyarakatnya, panutan adalah ingatan. Yang membentuk adalah pengulangan khasanah yang disusun generasi tua.  Tradisi menentukan hampir segalanya.

Pandangan bahwa “tua itu baik” itu bahkan berlanjut sampai hari ini. Dalam nyanyian nasional yang memujanya

Citranya ini hari tak lagi sebagai bagian dari sebuah pergerakan progresif, melainkan sebagai pengayom struktur yang konservatif.

Tak mengherankan ketika hari ini, hari kartini, cucu saya harus dibalut pakaian adat, bukan berpakaian pilot atau atlit angkat besi.

Sebelum ia berangkat ke sekolah  saya berpesan kenanglah  kartini dengan baik. Kenanglah  tragedinya.

Ini pagi, saya melihat banyak kartini yang berangkat kerja, naik ojek dengan motor yang guncang, terpekur di sadel plastik yang gelap, mungkin mengingat ujung mimpi, mungkin mimpi.

Ini pagi, saya melihat banyak kartini yang turun di pengkol gang yang patah, sebuah lorong dengan  aspal kusam, dan menyanyikan lagu dangdut  dengan sejumlah angan-angan fantasi.

Dan pagi ini juga banyak kartini-kartini datang ketempat kerja dipanti pijat…..

Ahh… saya sudahi saja……

Tags : slide