Friksi keberadaan Qanun Wali Nanggroe, untuk tidak mengatakannya sebagai bara konflik, akan tetap “abadi” sepanjang tidak mengakomodir substansi rumusan dalam kesepakatan tafsir untuk menampung tuntutan kesetaraan dalam pluralitas etnis, kultur, bahasa dan mendemokratisasikan pasal-pasal krusialnya untuk menipiskan kecurigaan tentang adanya tirani mayoritas dalam kelembagaannya
Qanun Wali Nanggroe, yang telah mengisi polemik selama tiga periode masa bakti DPR Aceh, makin absurd setelah dua pekan lalu disahkan oleh kesepakatan mayoritas dewan. Absurditasnya sangat menonjol dalam pasal pengangkatan wali yang tidak mengindahkan kemajemukan di negeri ini.
Pasal pengangkatan seorang wali di”hujat” oleh banyak pihak sebagai “ademokratis,” karena dituliskan dengan bunyi keharusan berbahasa Aceh yang fasih dan baik sehingga ia dianggap mengenyampingkan peran etnis minoritas dan makin menguatkan kecenderungan hegemoni etnis mayoritas.
Kita tidak berprasangka buruk terhadap substansi peran kelembagaannya sepanjang ia berada dalam alur yang dinamis untuk mendorong kualitas kesejahteraan. Peran ini secara spesifik dapat dibenarkan oleh “teks book” ilmu politik bila tidak mengalpakan prasyarat kesetaraan, keterbukaan dalam kemajemukan.
Memang, secara hirarki kelembagaan institusi wali tidak memiliki kewenangan operasional pemerintahan praksis yang secara signifikansi membuatnya menjadi lembaga “superbody.” Walau pun perannya telah diperluas dari hanya lembaga adat yang bersifat seremonial ke posisi penasihat dan pengawasan dan didorong memiliki peran memberi usulan dan kebijakan di sektor ekonomi, kehutanan, perempuan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Peran ini, yang diatur dalam pasal-pasalnya secara spesifik, telah mengalami kemajuan dibanding i draft dan qanun wali terdahulu. Posisinya, dalam qanun yang baru disahkan, menjelma sebagai “tukang hardik” yang akan meluruskan jalannya kebijakan dua lembaga “otonom,” gubernur dan DPR Aceh di “negara bagian” yang mirip federal ini.
Terlepas dari peran kelembagaananya dalam struktur Pemerintahan Aceh, secara personal institusi, yang mengalami peningkatan posisi lebih ke “atas” lewat pembahasannya finalnya di jilid ketiga itu, sebagai sebuah aturan ia tetap mengendapkan kelemahan dengan tidak menyediakan solusi konflik atas friksi dalam operasionalnya nanti.
Kami melihat hadirnya kelembagaan wali yang disahkan lewat qanun itu sangat politis bukan kebutuhan. Sebagai produk yang sangat politis banyak pihak yang pesimis ia mampu melintasi zaman jika ia tidak mengadopsi unsur demokratisasi yang menempatkan pluralitas sebagai asas utama.
Qanun ini lebih mengedepankan kepentingan pragmatis. Kebutuhan yang diakomodir untuk representasi simbolik dan slogan “perjuangan” tanpa melihat unsur reduksitas yang kelak akan mengikis efektifitasnya dari manfaat jangka panjangnya.
Sebagai produk yang diakomodir dari buah memorandum of understanding Helsinki, yang kemudiannya dimasukkan dalam pasal Undang Undang Pemerintah Aceh, Wali Nanggroe sudah mencapai finalisasi dalam teks. Walau pun secara peran dan hirarki struktural ia baru saja tuntas.
Wali Nanggroe, sebenarnya adalah sebuah fakta sejarah di zamannya. Representasi keberadaannya kala itu sesuai dengan kebutuhan. Ia tidak memerlukan pembahasan dengan pijakan keterbukaan maupun demokratisasi.
Tapi untuk menghadirkannya dalam zaman yang orientasinya mengalami perubahan yang sangat cepat dibutuhkan perdebatan lewat kajian akademis dengan melibatkan semua etnis di lapisan masyarakat kesatuan wilayah agar ia menjadi milik semua orang di negeri ini.
Untuk menjadikannya sebagai milik semua maka makna kehadirannya jangan dipaksakan lewat pembenaran sepihak. Ia harus mendapatkan kritik yang kemudian direspon guna dimaknai kehadirannya sebagaiinsitusi yang memiliki “nilai” emosional.
Nilai yang membentangkan benang merah antara slogan dengan eksistensinya. Benag merah yang oleh banyak pengamat melihatnya secara kelembagaan dan personal yang prestise. Bukan lembaga yang tergerus oleh kualitas demokrasi dan moderenisasi, terutama dalam mengisi kepemimpinannya dikaitkan dengan ketidak akseptabiltas dan kapabelitasannya
Kita tidak meng”ansich”kan secara total akan lahirnya personal tokoh yang memiliki akseptabel dan kapabel di masa datang. Namun, di masyarakat yang makin moderen dengan ciri demokrasi yang sangat “powerfull” akan terjadi fragmentasi penilaian yang mengedepankan relatifitas.
Penilaian terhadap rekam jejak ketokohan dan kepemimpinan yang teruji dan mampu menjawab semua persoalan secara yang muncul dengan mengepankan “local wisdom” yang sarat dengan keseimbangan kepentingan. Bukan tokoh yang menciderai nilai kultural lokal yang dipenuhi dengan simbol-simbol.
Ke depan, tentu tidak akan terjadi lagi kesepakatan absulot, seperti yang disepakati dalam qanun yang baru disahkan tentang pengangkatan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe. Ke depan juga akan terjadi fragmentasi kekuatan politik bersamaan dengan munculnya faksi-faksi baru di lingkungan kekuatan “pejuang.” Kekuatan yang kemungkinan akan mengadopsi kepentingan jangka pendek sehingga akan terjadi pergantian pola dan “style” kepemimpinan. Fragmentasi kekuatan politik ini tidak akan bisa terbantahkan karena tuntutan moderenisasi dan keterbukaan akan berkembang dengan cepat bersamaan dengan makin rasionalnya generasi mendatang dalam mengaktualisasikan jati dirinya akibat perkembangan pendidikan dan proses akulturasi budaya yang didesakkan oleh migrasi penduduk yang sangat cepat.
Dari telaah temporer ini kami ingin mempertanyakan, apakah peran kelembagaan wali ini akan bisa bertahan dalam dekade mendatang? Jawabannya bisa politis dan “a”politis. Bisa basa basi dan bisa serius. Yang penting dari posisi mana kita berangkat untuk menterjemahkan kebutuhan, fungsi dan eksistensinya.
Yang pasti pula, dimasa depan akan ada penyesuaian peran dan personal kelembagaannya tanpa kita ingin mengatakan, kondisi mendatang adalah fase krusial untuk meng”estafet”kan dogma “perjuangan” di kalangan generasi yang lebih “moderen,” terbuka dan lebih individual.
Qanun Wali Nanggroe jilid tiga ini secara rasional harus diakui masih menyisakan ruang perdebatan, terutama substansinya. Kita tidak melihat ada sentuhan akademis yang berdurasi tinggi dalam penataan bunyi pasal-pasalnya sehingga bisa memperluas ruang tafsir yang rawan dipelintir untuk kepentingan kelompok, golongan mau pun di manipulir sebagai pembenaran.
Kita memang tidak melihat perjalanan draft qanun ini di ruang publik. Sama dengan penglihatan kita ketika para akademisi dan masyarakat terpelajar alpa, untuk mengatakan alpa, dalam urun rembuk. Ada pesimistis dan perasaan tidak moderen ketika kami membawa menyodorkan tema wali ini dalam diskusi warung kopi yang longgar di komunitas anak-anak muda terpelajar.
Apalagi secara spesifik munculnya pembenaran sepihak, tidak lewat sebuah diskursus, tentang perbedaan tafsir ketika muncul penolakan dari kelompok yang menyatakan dirinya minoritas.
Bagi kita perbedaan ini harus diakomodir secara cerdik dan tidak dimanipulatif. Harud dibuka ruang sosialisasi yang menempatkan kesetaraan argumentatif antara pihak penerima dan pihak menolak.
Cara ini, kalau ia diberangkatkan dengan kearifan lokal, tentu akan mempersempit ruang anarkisitas dan kasak kusuk yang kalau tidak dikelola secara baik akan menjungkirbalikkan rasa nyaman, seperi selama ini mulai hadir di lingkungan masyarakat.
Anarkisitas yang biasanya dimulai dari pembenaran sepihak yang mengedankan prestise kelompok secara “a”rasional dan egoisitas tinggi untuk kemudiannya memuarakan konflik horisontal akibat kesalahan kita mengabaikan “manejemen konflik.”
Kita sudah “muak” dengan konflik berbau kekerasan yang tidak pernah menguntungkan siapa pun dan kelompok mana pun. Kita telah menemukan solusi konflik dan lebih mengedepan “safety,” walau pun masih setengah hati di negeri ini. “Safety” yang belum memposisikan dirinya dalam akurasi tinggi di semua aspek kehidupan semua strata sosial.
Untuk itu, bagi kita, persoalan qanun wali yang mencuatkan perdebatan substansinya di ruang publik jangan memberikan ruang bagi penumpang “gelap.” Ia harus di respon untuk mencari titik balik bagi meluruskan persoalan kerancuan penafsirannya secara bijak. Memang, harus diakui, sebagus apa pun teks aturan dirumuskan, yang pasti ia akan memunculkan penafsiran berbeda.
Perbedaan penafsiran inilah yang harus kita akomodasir, kalau pun masih diperlukan pengakajian ulang substansinya. Pengkajian atas pasal-pasan yang rawan dimanupulir untuk keragaman kepentingan. Keragaman dari isu lama tentang ketidakseimbangan pembangunan di antara tiga poros geografis dan demografis Aceh, utara-timur, barat-selatan dan tengah-tenggara. Poros yang sering memunculkan egoisme sektoral secara berlebihan dan dimuarakan lewat tuntutan pembelahan diri dari provinsi induk. []