“Minum terlalu banyak air bisa berakibat fatal,” kata Dr.Aaron Baggish, wakil direktur medis ajang Boston Marathon.
Menurutnya, kelebihan konsumsi air minum disebut juga dengan intoksikasi air.
Kondisi ini terjadi saat seseorang minum terlalu banyak air sehingga kadar garam dalam darah menjadi encer.
“Saat konsentrasi sodium atau garam dalam darah rendah, air bisa bocor dari darah ke jaringan lain. Kondisi ini dikenal dengan hiponatremia,” kata Dr.Aaron Baggish
Otak merupakan organ yang paling terpengaruh oleh hiponatremia. Ketika air bocor dari darah dan masuk ke sel-sel otak, maka otak akan membengkak.
Biasanya, gejalanya ringan, misalnya linglung, sakit kepala, dan mual. Tapi, jika tidak ditangani maka bisa menyebabkan kejang.
Pada kasus yang terburuk, pembengkakan otak menjadi tidak terkontrol sehingga menyebabkan kondisi fatal yang disebut herniasi batang otak.
“Otak adalah jaringan lembut yang mengisi tempurung kepala.”
“Saat otak membengkak, maka hanya ada satu jalan keluar, yaitu di bagian bawah tengkorak yang terdapat lubang untuk menghubungkan otak dengan sumsum tulang belakang,” kata Dr.William Roberts, mantan presiden American College of Sport Medicine.
Kejadian fatal akibat kelebihan air minum memang jarang terjadi. Biasanya ditemui pada para atlet lari jarak jauh.
“Pelari yang lambat punya banyak waktu untuk minum air. Jika Anda berlari selama 6 jam dan berhenti untuk minum banyak air di tempat perhentian minum, Anda bisa beresiko mengalaminya,” kata Roberts.
Walau begitu, menurut Roberts pelari marathon yang meninggal kebanyakan karena serangan jantung atau serangan panas.
Untuk mencegah hiponatremia, disarankan untuk mengonsumsi garam atau minum minuman olahraga yang mengandung elektrolit.
Di luar ajang olahraga, kita disarankan untuk mengonsumsi cairan sekitar 2 liter sehari. Harus diingat pula bahwa “cairan” tidak harus berupa air minum, tapi juga buah-buahan atau sup sayuran.
Fakta lain yang dikemukakan para ahli itu adalah, dehidrasi dan keringat tidak menjadi sebab terjadinya kram.
Peneliti menstimulasi kram di jempol kaki sukarelawan yang terhidrasi dengan baik berulang kali menggunakan listrik kecil.
Kemudian si sukarelawan berganti-ganti olahraga dan duduk di ruang panas selama berjam-jam hingga mereka berkeringat dan dehidrasi.
Jika dehidrasi membuat kita rentan terkena kram, menurut teori periset, lebih sedikit syok kecil seharusnya diperlukan untuk menghasilkan kejang kecil.
Faktanya, dibutuhkan banyak kejutan listrik untuk menghasilkan kram. Dehidrasi tidak meningkatkan kerentanan sukarelawan terkena kram.
Namun, belakangan ada bukti yang berkembang yang mengatakan kram selama olahraga merupakan hasil ujung-ujung saraf yang terlalu bersemangat, mungkin akibat kelelahan.
Beberapa studi pada atlet triatlon dan ultramaraton menemukan mereka yang mengalami kram selama pertandingan cenderung memaksakan diri di awal, membuat kecepatan lari lebih cepat daripada kecepatan latihan yang kemudian menyebabkan kelelahan.
Mereka juga sering memiliki riwayat kram, sekali terjadi kram otot, kemungkinan kram itu berulang.
Untungnya, pengobatan kram sederhana saja.
“Regangkan otot yang terkena,” kata Kevin Miller, ahli olahraga dari Central Michigan University di Mount Pleasant yang juga meneliti pada studi tiga tahun itu.
Peregangan tampaknya cepat menenangkan koneksi sistem saraf yang salah tembak di otot tersebut.
Beberapa atlet mengataka,n dengan menelan jus acar dapat meringankan kram. Namun Dr. Miller mengatakan, peregangan mengatasi kram lebih cepat.
Untuk pencegahan, ia menyarankan membuat catatan harian kram.
Catat segala sesuatu yang yang Anda lakukan, termasuk berapa lama dan keras berlatih, seberapa baik kualitas tidur, apa yang dipakai dan sebagainya.
Perhatikan pola, dan jika mungkin ubahlah itu.
Pertimbangkan berkonsultasi dengan fisioterapis atau pelatih atletik mengenai kelemahan di otot yang terkena kram.
Latihan penguatan otot juga mungkin membantu mengurangi kelelahan dan meningkatkan resistensi terhadap kram di masa-masa mendatang.