Saya tergelak. Ia seperti sedang menceritakan sebuah parodi. Parodi tentang Sabang. Tentang pulau Weh.
Parodi bukan dari gerak tapi susunan kata-kata. Tentang nasib Sabang. Yang statusnya naik turun. Naik turun juga di intonasi oral sang teman. Oral yang entah darimana jalinan idenya.
Mungkin, kata batin saya, parodi itu datang dari manipulasi otaknya yang jengkel kenapa Sabang nggak ada maju-majunya.
Saya percaya saja ceritanya. Atau pura-pura percaya agar ceritanya bisa terus mengalir. Agar kejengkelannya bisa blas.
“Sabang itu-maksudnya pulau Weh-adalah negeri yang terlunta-lunta bang,” katanya serius. Terlunta-lunta antara dua kata. Pulau emas dan pulau terusir.
Usai mem”byar”kan kata pulau emas dan pulau terusir itu dia menghela nafas panjang. Menghembuskannya …interfal sejenak.
Ketika ceritanya terhenti di antara helaan nafasnya itu saya mafhum dengan kata emas dan terusir itu. Mafhum dari bacaan.
Bacaan sejarah pulau weh yang dijuluki sebagai pulau emas oleh penjelajah Yunani bernama Ptolomacus. Jauh sebelum kalender masehi,
Maklum juga dengan kata terusir, “weh” Terusir dari induknya. Yang asbabunuzum-nya saya nggak tahu persis akar sejarahnya.
Ia mungkin “ngarang” menghubungkan dua kutub kata: emas dan terusir untuk pulaui Weh. Dan Anda jangan menyalahkan seluruh hasil ngarangnya ini.
Sebab, kebenarannya mungkin ada disana. Kebenaran dari eksistensi Sabang yang weh itu dalam catatan sejarah panjangnya. Sejarah melankolis penuh harapan… maupun setengah harapan. Seperti yang terjadi di hari-hari ini.
Sang teman bukan orang sembarangan. Ia peneliti yang terjun menjadi enterpreuner. Jebolan oxford. Masih satu trah dengani Fachrul Razi Batubara. Jenderal yang pernah menjadi menteri agama di era kedua Jokowi.
Yang cuma setahun menjalaninya dan dikirimkan oleh partai hanura.
Walaupun cuma setahun, Fachrul Razi mencatat sejarah jenderal kedua sebagai menteri agama setelah Alamsyah Ratu Perwiranegara Alamsyah yang asal Lampung itu menyelesaikannya untuk satu periode. Lima tahun
Fachrul Razi yang karir militernya nggak cemerlang amat itu. Wakil panglima tni dan empat belas bulan jadi menteri agama, memang punya jejak keluarga di Sabang. Yang adiknya sendiri Zulkarnaen pernah jadi walikota Banda Aceh.
Cerita Sabang yang weh-terusir-ini, seperti dikatakan sang teman, saat kami ketemu di week end kemarin, dibacanya dari laman facebook saya usai dimuat sebuah media online.
Sebagai sahabat kami memang sering neleponan. Sekali-sekali ketemuan.
“Saya masih tertarik dengan tulisan Anda,” katanya ketika kami ketemu di Cakung. Pertemuan yang ia minta sendiri. Tak jauh dari kantornya. Yang saya datang dijemput oleh sopir pribadinya.
Saat ketemu itulah ia ngoceh mengenai kejengkelannya dengan Sabang yang masih segitu-gitu juga. Malah lebih terdegradasi dibanding ketika dia masih kanak-kanak dan menjelang remaja.
Kanak-kanak dan remaja yang bermain di Pasiran.
Padahal sebagai weh dan emas modal Sabang untuk jadi sesuatu lebih dari cukup. Modal geografis, nama, maupun isiannya.
Untuk itu awal ocehannya yang “meuhambo” saya menyabarkan diri jadi pendengar. Pendengar yang menyimak. Ini memang sudah jadi kebiasaan. Kebiasaan kami orang jurnalis. Untuk banyak bersabar mendengar omongan narasumber.
Yang kemudiannya, ketika ia kepayahan dan out focus, bisa menembakkan pertanyaan bak mitraliur sampai si narasumber “letoy.”
Saya nggak tahu tipikal jurnalis masa kini. Cuma pernah mendengar style-nya berbeda. Menceramahi. Sok tahulah ringkasnya.
Usai ocehannya yang panjang kami mulai tukar pantun lewat kata bersambut. Kata-kata yang dimulai dari sejarah panjang Weh yang Sabang itu.
Tentu gayungnya tidak sampai ke Merauke. Sebab kami nggak mau bicara sabang-merauke. Jaraknya terlalu panjang. Bisa bertele-tele.
Bukaan pertama dari pertukaran kata ini berasal dari trenyuhnya Sabang ketika statusnya sebagai daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di cabut. Istilah lainnya ditutup. Lewat undang-undang.
Cabut mencabut undang-undang ini biasa. Kalau nggak mana ada kerja wakil Anda di gedung besar sana. Inikan prakteknya orang terpilih.
Pencabutan status Sabang ini ditabalkan lewat undang-undang nomor sepuluh tahun seribu sembilan ratus delapan puluh lima. Sebuah undang-undang yang isiannya berbau sentimen. Saya yang nggak mau menyebutnya rasial.
Alasannya karena maraknya penyeludupan.
Padahal Anda dan saya, atau siapapun, tahu mana ada penyeludupan di sebuah pelabuhan bebas dan perdagangan bebas yang barang masuknya saja tak dikenakan bea. Dari mana pun datang dan asalnya.
Penyeludupan itu kan terjadi di daerah pabean.
Sedangkan Sabang itu mirip seperti Hongkong. Kawasan perdagangan bebas sebelum dan sesudah diserahkan Inggris ke Cina. Seperti juga Singapura sebelum dimerdekakan Lee Kuan Yu, Bebas.
Saya sendiri dulunya pernah menggugat alasan penutupan itu dalam sebuah laporan di sebuah media mingguan. Editor ekonomi dan bisnisnya sempat ditegur menteri perdagangan.
Alasannya, tulisan itu mengaitkan dengan Batam yang akan dijadikan kawasan industri dan perdagangan untuk menyaingi Singapura dengan nama otorita.
Saya tahu road map Batam waktu itu ada pengganjalnya. Yaitu Sabang. Nggak mungkin ada dua kawasan bebas untuk dijadikan penghadang Singapura. Dan Sabang harus dikorbankan.
Anda kan tahu Batam itu proyeknya BJ Habibie. Siapa yang bisa menghadang Habibie yang bintang terang di era itu
Saya menulis kala itu bahwa Sabang adalah satu kawasan yang berada dalam wilayah hukum negara yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan maupun kutipan lainnya.
Padahal mereka juga tahu yang diperdagangkan di Sabang itu cuma piring pecah belah, rokoh merek dunhill atau tiga lima ataupun sarung pelakat india yang ditenteng oleh jengek nanboru dari Medan.
Jengek untuk sebutan “jenggo” ekonomi.
Nasib Sabang memang begitu. Antara beruntung dan apes.
Keberuntungan awal dari pembukaan terusan suez yang mengubah peta jalur perdagangan dari selat sunda ke jalan ringkas Selat Malaka.
Makanya, kala itu, voc langsung melirik pulau weh sebagai hub. Ketika voc bubar dan belanda mendirikan nederlandsche handel maatschappij untuk membeli rempah-rempah Sabang dijadikan sebagai kolen station.
Kolen station sebagai penampung rempah-rempah.
Ringkasnya, kolen station Sabang berkembang mencapai puncaknya. Ada stasion batubara, docking kapal dan pelayanan paripurna untuk perdagangan.
Untuk kemudiannya di ujung abad kesembilan belas Sabang dibuka sebagai pelabuhan bebas atau dikenal dengan vrij haven perdagangan umum plus pelabuhan transit hasil pertanian. Terutama dari deli.
Sehingga Sabang kesohor sebagai kawasan lalu lintas perdagangan dan pelayaran dunia.
Yang oleh Ernst Heldring dalam bukunya “oost azie en indie” menulis Sabang sebagai pelabuhan internasional dan mengusulkan pengembangannya.
Sebelum perang dunia kedua pelabuhan Sabang adalah pelabuhan yang sangat penting dibandingkan Singapura.
Usai perang Sabang masih tetap jadi koloni Belanda walaupun Indonesia sudah merdeka
Sejarah ini terus berlanjut dan bisa sangat panjang sebagai kolom usai Sabang menjadi bagian dari republik. Menjadi pusat pertahanan angkatan laut, Yang assetnya disalin tanpa ada audit investigasi.
Menjadi pelabuhan bebas dan perdagangan bebas kembali ditahun enam puluh lima dan lanjut ke status kotaparaja atau kota madya.
Yang untuk kemudian terjadi friksi panjang kewenangannya dengan administrator pengendali Pelabuhan bebas.
Yang menyebabkan sang walikota, waktu itu, Yusuf Walad, jadi pesakitan yang dicopot jabatannya karena ngotot untuk menempatkan Sabang di bawah kendalinya.
Kewenangan yang tumpeng tindih karena aturan pelaksanannya tak pernah dibenderangkan. Tumpang tindih kewenangan karena ada dua undang-undang yang menyertai perjalanannya.
Selain itu Sabang pernah menjadi primadona pembicaraan ketika kerja sama ekonomi regional indonesia-malaysia dan thailand. Yang dikenal dengan i-em-te ge-te. Growth triangle. Pengembangan ekonomi di kawasan asia selatan.
Usai pelabuhan bebas dan perdagangan bebas bangkrut Sabang diincar lagi kala Gus Dur jadi presiden. Dilahirkan undang-undang baru. Posisi Sabang dipulihkan. Nggak pulih amat. Hanya berdenyut.
Denyut dari masuknya barang-barang impor. Macam-macamlah. Termasuk mobil bekas eks Singapura. Yang banyak digeletakkan di lahan kebun kelapa dan menjadi rongsokan. Keropos.
Usai denyut ini Sabang mati suri lagi karena aceh ditetapkan sebagai daerah operasi militer. Dom
“Entahlah Sabang,” keluh kami hampir serentak mengingat operasi militer itu.
Keluhan nasib Sabang. Nasib persaingannya keluar dan ke dalam. Hingga kini. Baik karena berhasil atau dianggap gagal.
Lantas saya bertanya. “Apakah sabang simalakama?”
“Nggak bang,” potong sang teman. Yang melanjutkan,” yang simalakama itu kan manusianya.”
Manusia yang tak punya ide. Padahal ide itu kan muasalnya kreatifitas.
Kreatifitas untuk tidak tergantung dengan aturan. Perlu ada gerak setelah kata siiiaaapp…Gerak untuk bikin lebih dari satu ide. Ide cemerlang akan membuat hasil yang terang
“Saya pernah meneruskan ide membangun Sabang dengan gaya entrepreuner,” katanya. Ide yang bagus. Dan sesuai dengan kebutuhan Sabang.
Tapi…. “Hanya seperti cet langet,” ujarnya seperti nada putus asa. Mengapung.
Padahal kalau digebrak ide pembangunan itu tidak akan menyebabkan pemborosan sumber daya alam atau depletion of natural resources, tidak polusi dan meningkatkan useable resources atau pun repleaceable resources.
Saya jadi nanar dengan istilahnya ini.
Namun ia terus lanjut mengatakan, Sabang atau weh memilikinya. Lebih dari cukup. Punya nama dan punya resorses. Untuk membenamkan Singapura maupun Penang dengan ide ini.
Punya cot bau, punya pasiran dan punya iboh. Gratis. Tak perlu seperti membangun pulau banyak yang mangkrak memorandum of understanding di tangan murban energi.
“Anda kan sohib dengan Reza,” katanya. “Tanyakan dengan dia. Ia tahu semuanya isian perut Sabang itu.”
Saya hanya menatap. Saya memang sohib dengan Reza yang Pahlevi itu. Yang salah seorang pejabat di Kemenparkraf pimpinan Sandiago Uno. Reza yangmenggenggam banyak event.
Saya ingin duduk ngopi lagi dengannya. Tapi tiap kali saya call ia membalas. “Di Banjarmasin bang. Di Bromo. Di Gorontalo..,” itu jawabannya.
Kalau saya call lagi entah di lokasi mana keberadaannya. Paling ia jawab lewat whatsapp,”nanti kita ketemu ya bang.”
Padahal saya hanya ingin cari tahu bagaimana nasib mou pulau banyak dan kelanjutan sabang usai ia jadi orang di jakarta.
“Sabang yang dulu punya rumah sakit gila holland maatschapaij. Kenapa sekarang nggak bangun rumah sakit semacam mayo clinic. Pasti orang akan ke Sabang. Nggak lagi ke mounth Elizabeth di kota Singa.”
Kalau ada rumah sakit sekelas mayo pasien pasti cepat sembuh karena Sabang penuh dengan keindahan. Pantai, laut, danau dan pebukitan. Bukan hutan beton.
Wuih… idenya. Yang saya candai, “mayo clinic udah duluan disambar Bali.” Yang langsung dijawabnya,”kan masih mounth elizabeth.”
Lantas, investornya? tanya saya.
Pembangunan Sabang tak perlu investor di awalnya. Cukup tuangkan apebede sebagai gulanya untuk memancing semut besar dan semut kecil datang.
Saya pun nelangsa ide yang diletupkannya. Nelangsa kalau sepuluh persen saja duit otonomi khusus dituangkan ke belangong iboih masakannya pasti kuah lemak dollar.
Nelangsa juga kok Sabang masih ada dua institusi yang jalan terpisah. Saling berebut kewenangan dan lahan media untuk mengibaskan informasi yang sama dengan gaya beda.
Sengkarut ..lagi. Sengkarut juga dengan izin bersyariat seperti cerita teman lain yang sudah siap dengan investasi resort.
Ketika ide bergaya “parodi” ini saya tularkan ke seorang teman langsung dijawabnya, “perlu kajian” Saya bingung. Kajian apa.
Nah… saya tambah bingung dengan ujung komentarnya: jangan lupa, fokus
Pendapatnya ini setelah saya “jual” ke banyak rakan tak dapat dukungan.
Maka saya tutup saja tulisan ini.
Silakan mau ditendang ke mana bola Sabang ini.