Rawa Tripa, hutan gambut yang dulunya eksotis, menunggu punah akibat pembukaan lahan perkebunan. Telah raib dengung uir-uir, hilang bersama siamang, gajah dan harimau. Jelaga hitam dan bau apak menyapa ketika kami menapaki areal di sudut Nagan Raya.
Darmansyah, penulis kami, mencoba membangkitkan kembali ingatan pada kisah rawa yang menjadi kebanggaan anak asoe lhok sepanjang aliran Krueng Tripa. Tulisan panjang ini dimuat dalam beberapa seri, berkisah tentang rawa dan anak negerinya.
***
Musnahnya Rawa Gambut Tripa adalah sebuah tragedi. Tragedi dari menguapnya peradaban bernama keseimbangan lingkungan yang dikalahkan gepok duit avonturir. Hancurnya peradaban yang membentangkan persahabatan atas nama habitat antara flora dan fauna di satu sisi dengan manusia di sisi lainnya. Persahabatan dari peradaban keseimbangan lingkungan.
Untuk itu, di awal Mei tersebut, ketika media cetak, online dan elektronik sedang gaduh memberitakan tentang telah hancurnya Rawa Gambut Tripa, kami terperanjat dan gugup ketika kenangan panjang tahun-tahun kemelaratan pernah hinggap di tepian memori. Suara gaduh itu bersahutan di hampir semua media prestesius Jakarta sehingga mengundang debat yang menyebabkan pejabat tinggi, termasuk Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, menyempatkan tur ke Nagan Raya. Negeri tempat rawa gambut itu bermukim.
Suara gaduh itu ikut menerjang memory disc kami untuk mencari kembali dan menghidupkan sebuah nama asoe lhok yang telah raib sebagai penyungkit seluruh kenangan tentang Tripa. Berhari-hari kami mengingat dan mencarinya. Muncul harapan untuk menemukannya, tapi juga datang pesimisme ia telah hilang entah ke langit mana. Dan ketika Senin pertama di bulan Mei datang selarik kalimat di kotak masuk telepon selular kami dan mengabarkan, “Nama aslinya Galah Bungkok, tapi kita menamainya Kuala Bungkok. Kini sudah jadi Kampung Pasie Keubeu Dom.” Kami berguman, ”terima kasih.” Inilah gampong lhok (kampung pedalaman) yang kami cari.
Gampong lhok yang kami gumamkan setelah lima belas hari mencari tahu tentang sebuah kampung di Rawa Tripa yang hilang itu. Kampung yang ketika Rawa Tripa sedang disulut api kemarahan oleh berita di puluhan media yang memuat talking news tentang keserakahan pemusnahan rawa gambut terbaik di bumi itu. Talking news yang menendang kesadaran kami untuk menuliskannya secara in depth news lewat teknik investigasi.
Kesadaran atas sentuhan negeri melarat yang pernah menjadi bagian dari hidup kami sebagai anak kasta melata yang kenangannya, masyaallah indahnya. Kenangan tentang derita dan romantisme perjalanan anak-anak bumi ketelatan mencari identitas baru sebagai warga dunia hingga ke Koetaradja. Romatisme hutan rawa di Tripa yang menjadi bab kehidupan kami dan mengukuhkannya sebagai identitas diri anak Pantai Selatan.
Identitas yang puluhan tahun dicabik Galah Bungkok atau Kuala Bungkok dan boleh juga Pasie Keubue Dom, dan mencampakkan mereka ke langit sengsara sebagai anak negeri “kusta” yang dijauhi oleh olok-olok sebagi tukang magis dengan sejumput “elmu” tenung bernama “si jundai” atau pun “doa pakasih.”
Nama itu tidak hanya punca dari penulisan panjang ini, tapi juga angle untuk bisa memberangkatkan sebuah tulisan berbasis outline yang melingkupi seluruh aspeknya. Sebab cerita Rawa Tripa bukan sekadar gambut nomor satu, hutan tegakan atau pun “rumah” siamang, uwak-uwak atau monyet dan harimau sumatera, tapi juga mantera sebuah negeri.
Begitu pentingkah nama Kuala Bungkok? Jawabannya, ya! Nama itulah yang bisa menjadi deskripsi untuk membuka tabir sengkarut sengketa Rawa Tripa, yang kini sudah dimakan gergasi perkebunan, lebih dari 50.000 hektarnya, dan hanya menyisakan 11.504 hektar lebih untuk “rumah” tinggal para penunggu hutan.
Rawa yang memuntahkan kembali ingatan kami tentang mawas, siamang, rimau, gajah maupun Kuala Bungkok dan Rantau Kepala Gajah. Kenangan tentang suara uir-uir di jalan yang membelah rawa sunyi itu serta kisah harimau yang tidur di kolong bis “kope” PMTOH dan PMABS. Cerita gajah yang melintas dan menyebabkan bis “kope” berpenumpang penuh harus berhenti sebagai ritual penghormatan bagi si “tuan rumah.”
Ada ribuan kisah yang bersumbu dari Kuala Bungkok dan Rantau Kepala Gajah. Kisah-kisah klasik yang bertumpuk dan sulit memisahkannya dari kaba, dongeng, legenda maupun hikayat dan cerita nyata. Dan coba tanyakan, kalau tidak percaya, kepada Pak Aboebakar Oesman, pensiunan pegawai Dinas Pertanian Provinsi Aceh, yang pernah menulis kisah asyik-maksyuknya Rawa Tripa.
Rawa yang mengingatkan kami tentang jalan sepanjang 41 kilometer yang menyengsarakan, sekaligus melengketkan romantisme yang tak pernah menguap bersama sensasi mendebarkan yang juga mendegupkan detak jantung kami ketika ia menjalar di kenangan.
Rawa yang membuat kami mengeja cerita magis tentang mawas, harimau, gajah, Kuala Bungkok dan Rantau Kepala Gajah. Tak percaya? Tanyakan kepada anak-anak yang remaja di era tahun enampuluhan, tentang mantera magis itu. Akan ada kisah getir tapi romantis yang hinggap, berpilin dalam penyakit homesick yang riuh bersama cerita bersambung tentang negeri di donya antah-berantah itu.
Sebut saja satu nama, Basri Emka. Pensiunan birokrat di lingkungan Pemprov Aceh ini, ketika kami bertemu, mengingat dan mencocokkan ilmu yang sudah berkalang tahun untuk kemudian tersambung menjadi kisah klasik berbau dongeng, tentang mawas betina yang menculik seorang lelaki kampung di Rantau Kepala Gajah. Sebuah jalan lurus yang senyap, menakutkan dan diembel-embeli “berpenghuni” yang memerlukan waktu satu hari untuk mengingat namanya.
Basri, yang awalnya seorang penyair dan penulis, adalah satu dari sedikit sisa laskar remaja di tahun enampuluhan, yang mengayuh sepeda ke Koetaradja untuk meneguhkan status kemahasiswaannya usai SMA di Tapaktuan.
Tanyakanlah kepadanya bagaimana ia melewati Kuala Bungkok, pangkal jalan hutan Rawa Tripa, di tengah hari bulan Juni tahun 1968. Ada suara lengkingan uir-uir yang bersiul dengan nada tinggi rendah, gemeretak patahan kayu lapuk yang mengerucutkan jantung sebagai pertanda beruang madu atau pun gajah dan harimau melintas. Coba suruh dia menirukan erangan truk station wagon merek Dodge yang merangkak di bubur lumpur jalanan dengan seutas sling di hidungnya yang diputar oleh katrol usai disangkutkan di batang semantok.
Jangan lupa mengingatkannya ketika meneguk kopi susu Cap Nona yang airnya diambil dari genangan payau dengan sensasi taste antara asin, manis dan lagang serta dijerangkan bersama cerek supak di rangkang berpalanta kayu dan dihargai dengan gemericik rupiah lusuh di celah dompet mengelupas.
Ingatkan lagi kepadanya tentang nasi berlauk ikan kerling yang disantapnya setengah porsi di sebuah pondok terbuka di ujung Kuala Tadu, yang dibelinya di sebuah pagi di Alue Bili, tempat persinggahan malam kedua, yang pasti ia katakan, enaknya menyelinap diubun-ubunnya hingga sekarang.
Kini, ketika kami takziah di hari kelabu usai hutan rawa itu dibakar, tak ada lagi areal yang dulu menjadi magnet perjalanan. Tak ada lagi siamang atau monyet bergelantungan di dahan pohon meuranti dan meudang jeumpa. Tak ada juga hutan yang memisahkan antar perkampungan hutan penyangga yang menyuguhkan eksotiknya sebuah perjalanan.
Dan di hari kami melewatinya, eksotisme itu telah pergi. Sudah tutup buku. Jangan pernah bertanya tentang sensasai hutan perawan dan kampung-kampung berumah panggung yang doyong, reot dan rapuh dengan atap rumbia. Dari Kuala Tadu hingga ke Keude Lamie, kini telah bertaut menjadi perkampungan memanjang.
Walaupun jalan itu telah menjadi jalan kelas dua, seliweran mobil dan motor tak pernah berhenti memekikkan dan jerit yang seolah-olah mengabarkan kepada dunia bahwa rawa gambut yang pernah memeluk negeri itu telah pergi ke aras dan meninggalkan hikayat untuk dijadikan kabar di lapak-lapak rumah perkampungan hingga donya akhe.
Hikayat Tripa, yang dulunya penuh cerita tentang peradaban luhur atas nama local wisdom, persahabatan sejati antar makhluk untuk mengusung jargon hutan kesejahteraan. Jargon yang telah dikubur atas nama keserakahan dipelukan sawit berlabel Crude Palm Oil (CPO). []