ULEE LHUEUE. Ya, sebuah gampong “heritage” dengan pelabuhan tua yang cerocok lapuknya menusuk laut. Cerocok dengan selangkang besi karatan berkolom menyilang, berlantai papan “tim” yang diatasnya bersusun rel tempat lori melarikan barang hingga ke gudang-gudang berpagar kawat.
Ulee Lhueue memang sebuah kota peninggalan sejarah yang dihari-hari menjelang kematiannya, ketika di pagi bencana di ujung Desember delapan tahun lalu, menjadi tempat “indehoy” para pemancing ikan dalam menyalurkan hobi.
Cerocok tempat tongkang dan sekoci kapal KPM (konneklijke paketvaart matschaapy) bersandar menurunkan barang serta penumpang. Cerocok yang membuat Bram “Atjeh” Titaley, si Ambon Manise, anak “marsose” di asrama Dipo –kini menjadi kawasan Hotel Sultan dan pertokoan sepanjang Jalan Sri Ratu Sfiatuddin,- yang kemudiannya menjadi buaya keroncong dengan penggalan syairnya, “Ulee Lheue di Kutaraja// Boleh tak boleh dibawa saja.”
Bram, seperti pernah dikatakan cucunya Harvey Malaiholo, sebelum berpulang, sering menerbangkan kenangannya ke negeri di pucuk barat nusantara itu. Betapa tidak, si Bram Atjeh, kakeknya penyanyi bintang radio itu, ketika di usia tuanya termehek-mehek merindukan Kutaraja. Bukannya hanya Bram, pemusik lainnya Max Sapulete, “Si Nyong” Ambon itu, pimpinan orkes RRI Jakarta, yang lebih Atjeh dari orang Aceh, menyediakan hari ketika masih mengisi acara di RRI Banda Aceh selalu menyisihkan liburan Minggunya bermain pasir di Pantai Cermin.
Kini, kenangan Ulee Lheue di Kutaraja, sepertinya sudah menguap.. Menguap bersama terjunnya tubir laut. Menguap pula bersamanya, perumahan liar dan kumuh yang berhimpitan ke arah Pantai Cermin bersama kantor “duane,” bea cukai, bangunan termegah di tanah syuhada itu.
Seperti tak bersisa, lenyap pula kampung “wareeh” Aso Nanggroe, Surin, Meuraksa, Cot Leungkeuhuh, Lambong dan Deyah Geulumpang hingga Punge, baik yang bernama Blang Cut maupun Jurong. Tak ketinggalan sudah tamat negeri Blang Oi’ tempat bermukim “entrepreneur” Pasar Atjeh yang terkenal dengan rumah dua lantai berkamar sepuluh sepanjang kisi-kisi jalan desanya berkelok-kelok.
Kini Gampong Wareeh itu dijejeri rumah petak type 36 macam kotak sabun dengan penghuni yang sudah punah dan kalau pun masih ada yang tersisa jumlahnya tak lebih dua ratus orang. Padahal sebelumnya penduduk gampong-gampong tua itu mencapai angka 2.000 jiwa. Gampong-gampong di Meuraxa itu selain padat penduduk juga padat dengan rumah petak berbaur rumah “aso lhok.”
Di Surin, seperti diceritakan Irwan, anak “aso” di kampung itu, ibu, nyak wa, pakwa, cut kak dan “aneuk keumeun”nya berpulang di kuburan massal tanpa sempat ia kafani. Ia sendiri belum mau bermukim di kampung “wareeh” itu, padahal rumah dan jalan-jalannya sudah direhab bak sarang laba-laba. Sudah beraspal “hotmix,” sering mengecoh para petakziah. “Masih ada perasaan getir setiap saya pulang,” ujar Irwan yang mendapat satu rumah petak di sana. Getir dari “gadohnya seumangat.”
Mau tahu bagaimana derita si Mahzar anak Kampung Pie yang tak punya tali gantungan hidup setelah kerabatnya tak tersisa satupun, dan dirinya terlunta-lunta di sudut Goheng setelah diayak humbalang. Ia sering “heng” kalau diajak berselancar mengingat hari kelam itu. “Hana cas lee,” kata remaja, yang ibunya, dulu, guru disebuah sekolah dasar, meringis menahan pedih ulu hatinya. Sorot matanya kosong. Dan di kampungnya banyak penduduk baru dicatatkan kantor desa untuk menebalkan susunan kartu keluarga. “Saya sulit untuk mengingat, sudah banyak ngawurnya,” ucapnya tergelak.
Untuk itu, ketika kami takziah, pekan lalu ke kampung para syuhada itu, tak ada lagi kesibukan para nyak-nyak menjulur dari “rumoh” panggung menjemur asam sunti. Tak ada tebaran aroma “pliek u’ ditampah jemuran matahari menerobos jurong-jurong dengan bau menyengat dan mengingatkan kita tentang gampong aceh yang khas. Sebuah kehilangan dari putusnya rantai budaya ketika anak-anak Ulee Lhueue memakai celana jengki dengan kaos oblong bertuliskan “care, uplink, chf, oxfam” dan “arc.” Kehilangan ketika kami tak menemukan “rumoh aceh” di kampung Aso Nanggroe. Kehilangan alunan nyanyian bermantera do…do idang …do ..do ..idi…….” ketika “po nek” mengayun cucunya digulungan buaian “ija panyang” menjelang dhuha. Dan juga kehilangan roh Cek Man, pawang pukat di kampung “tuha,” Lamteh, yang suaranya menggelegar memimpin koor tarek pukat, “satoooo….duaaa….tegaaaaaa di pantai kampung para “indatu” itu.
Juga ketika kami “mudik” tak ada lagi “keukarah” Cot Lengkeuhuh yang renyah bersama timpan “made in” Lambong nan legit dan aromanya bisa tinggal berhari-hari bersama sendawa. Timpan yang selalu diimpikan Yusuf Hanafiah, guru besar kedokteran di USU Medan ketika menjenguk tanah kelahirannya. Dan ketika kami berjumpa pada suatu hari di sebuah hotel di Jakarta beberapa tahun lalu, mantan Rektor USU itu, berlinang air mata mengenang Lambong sebagai negeri “kuliner.”
Kini kuliner Lambong itu sudah raib bersama anak-anak terbaiknya. Kampung itu kini seperti merana dengan jalan desa yang lengang dan satu dua rumah petak pemberian NGO dan BRR yang tersuruk dicelah-celah tanah rawa “neheun.” Tak ada lagi rantai bersambung kuliner Lambong bertekstur Aceh yang menjadi pesanan “ekspor” hingga ke Negeri Kedah di Malays