JAKARTA lumpuh. Puncaknya, hari Jumat. Ketika air menebar di hampir seluruh pelosok, menggenangi istana hingga ke gubuk-gubuk reot di Kalibata, membanjiri Thamrin sampai ke Sudirman dan meneggelamkan Kampung Melayu serta menghentikan semua aktifitas penduduknya dari Menteng hingga Kelapa Gading, Kapuk dan menyandera warga, tak peduli kaya atau miskin.
Bah itu tidak peduli dengan si kaya, si miskin, si pejabat dan buruh harian maupun pengangguran. Semuanya disamaratakan dengan tingkat deritanya yang dipilah oleh status sosialnya. Derita dari yang tidak mempedulikan mereka yang biasanya menunggang mobil sekelas panthom, ferari atau pun mereka yang hanya punya sepeda reot. Semuanya sama di depan banjir.
Jakarta panik, ketika kemacetan berkilometer dan kenderaan beringsut berjam-jam untuk mencapai lokasi yang sejengkal. Ketika gerobak pengangkut barang dan pengangkut sampah naik pamor semuanya tercenung. Hari itu, Jumat, mereka yang dengan kesombongannya hanya mengenal plaza dan mall sebagai tempat belanja baru tahu uang bukan segalanya. Mereka terlempar ke zaman “baheula” dan mengakui eksistensi “kuda makan besi”lah yang kebal dengan bencana.
Jakarta memang terkepung, lumpuh, panik dan tergenang. Sebuah hari yang mencabut keangkuhan nya sebagai “megapolitan.” Mencabut program “talk show” di televisi dan menghentikan perdebatan yang direntang sepanjang hari, dari subuh hingga tengah malam tentang pembenaran diri sendiri.
Jakarta kembali ke fitrahnya tentang sebuah kota atau sebuah negeri dimana bencana tidak bisa dibeli untuk tidak datang. Hari itu semuanya menjadi “ingat.” Semuanya tahu tentang ketidakberdayaan. Tapi jangan tanya besok ketika semuanya berlalu dan mereka menemukan dirinya sebagai “superior” kembali tanpa meninggalkan jejak “eling” yang hari kemarin dimamahnya dengan kecut dan menjadi kerdil karena otaknya mengerucut.
Jakarta memang godaan. Tapi juga memuakkan. Ketika ia disapu air semua anak negeri diseretnya dengan pesona berita “breking news.” Semua orang seperti dipaksa menonton entertainmen dengan retorika gemuruh. Retorika yang dipaksakan secara emosional ketika hanya dalam hitungan angka belasan orang yang meninggal. Mereka mengemas bencana itu dengan balutan dramatis. Membesar-besarkan dengan mengundang simpati dalam bahasa yang dikorup dengan memakai kata sifat dan kata kerja aktif.
Kata kerja yang bergerak dengan aktif ketepian otak dengan sentimentil yang dipermainkan oleh tekanan nada suara tinggi rendah. Nada suara yang dipindah-pindahkan antar reporter di lokasi berbeda. Lokasi yang “background”nya di cari untuk menunjukkan kejadian itu memang hebat. Penipu.
Jakata yang kita tonton dihari-hari kini sepertinya segala-galanya bagi negeri ini. Segala-galanya ketika air hanya datang dengan lembut menggenangi kotanya. Air genangan yang merambat pelan dan masih bisa menjadi tempat permainan bersilancar orasi seperti yang kami tonton dari sebuah jaringan teve di sebuah sore tentang seorang tokoh bersorban yang sedang di wawancarai dan seolah-olah dialah “malaikat” penolong dengan tekanan suara di permainkan secara ria.
Jakarta banjir dan anak-anak bergembira menghibur diri. Dan genangan yang terekam digambar ada bule yang menikmatinya dengan tiduran di atas ban dalam mobil yang digelembungkan.
Itulah Jakarta dengan tontonan yang mengeksploitir bencana dengan menjadikannya berita dan sajian berita entertanmen. Berita yang membesar-besar bagaimana orang-orang diperkampungan miskin di ungsikan, pembagian mi instan di ekspose, mantan pejabat dan pejabat di wawancarai dengan celana digulung, tenda didirikan dan orang tua digotong untuk dipertontonkan.
Tontonlah program berita entertainmen yang kini berkecambah dalam jam tayang dihampir semua jaringan televisi yang menempatkan banjir sebagai “angle”nya. Ikuti dengan cermat bagaimana mereka mengemas pesona sosialita dan artis yang dikuras habis untuk dicantelkan dengan berit banjira. Berita tentang “derita” mereka menjalani banjir, berita kepindahan mereka ke hotel bahkan berita yang merambat kisah kasih di tengah banjir. Kurang ajar.
Simak pula berita tentang mereka yang tak bisa berbelanja di mall atau berita mereka hanya makan mi instan. Bahkan di kuras pula tentang kondisi anak, istri, suami yang terjebak banjir dengan retorika seolah-olah sangat hebat perjuangannya.
Jangan lupa mengikuti berita pejabat yang sibuk cas cis cus mencari ketenaran dan mengumbar janji program akan…. akan… Memuakkan kalau kkita masih sopan untuk mengatakan menjijikkan.
Saksikan juga bagaimana kita ditipu oleh aktifitas pembagian bantuan oleh “chief excecutife officier” perusahaan yang membagi bantuan. Siapa yang tidak tahu itu iklan terselubung. Iklan yang dikemas atas nama kemanusiaan untuk kepentingan promosi pruduk mereka. Kalau ingin bantu kenapa harus dipancar luaskan. Bantu saja dan senyap. Selesai. Hanya Tuhan yang tahu.
Apakah berita yang sama dengan Jakarta akan dikemas bila bencana menimpa di udik Geumpang dan Tangse yang disapu bah dan mengantarkan puluhan orang ke aras bisa mendapat durasi yang sama dengan Jakarta yang banjir pasang. Apakah galodo di Sumbar yang menyeret batu ukuran raksasa menggilas pemukiman penduduk dan menghancurkan perkampungan bisa mendapat waktu tayang berjam-jam dengan jadwal “breaking news” berhari-hari. Kita hanya menggeleng dan menghela nafas ke dalam kerongkongan dan mengatakan,”kekurangajaran” apa yang terjadi dengan diskrimasi negeri ini.
Kita memang sedang didiskriminasikan oleh Jakarta yang mempertontonkan derita sejumputnya. Kita memang sedang dikurangajari oleh media ketika mereka hanya tahu Jakarta dan merupakan derita yang sama di pojok negeri ini. Derita dari Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan lainnya. Mereka terus mencecar kita dengan profil Jokowi seolah-olah ia “hercules,” manusia setengah dewa, yang bisa menyelesaikan urusan negeri.
Jakarta memang pusar negeri. Tapi bukan tubuh seutuhnya. Kenapa harus Jakarta yang menjadi sumbu berita ketika ia tergenang. Kenapa Jakarta yang harus digelontorkan uang untuk mengatasi masalahnya dari anggaran yang kita bayar bersama. Itu tidak adil.
Banyak pertanyaan yang tidak pernah mendapat jawaban ketika kita tahu itu tidak selaras dengan kondisi sebenarnya. Kita tahu mereka tidak pinter-pinter amat dan mengelak menjawab dengan menukar arah pembicaraan. Kita tahu kita dibodohi, tapi kita tak mau bergerak untuk pindah dan memematikan tombolnya.
Kita ternyata juga bodoh. Sebodoh kita dibodohin oleh jalannya cerita “Tukang Bubur Naik Haji” yang berputar-putar dengan menyederhanakan masalah yang tak masuk akal. Kita tahu kita dibodohin oleh orang bodoh. Tapi kita ingin dibodohi lagi.