* Bagian Kedua (terakhir)
SETELAH satu dekade vakum sebagai “free port” setengah hati, Sabang kembali menjadi bancakan para politisi untuk mengerek jualan popularitasnya hingga menghasilkan status “free port” jilid tiga di permulaan tahun 2000.
“Vrij haven” jilid tiga yang mengganti mainan Sabang dari rokok Dunhill dan sarung palekat, menjadi impor mobil bekas eks Singapura yang dijatah kuotanya oleh departemen perdagangan untuk masuk kedaratan dengan status kepabeanan yang sangat diskriminatif.
Mobil “buangan” Singapura yang dijadikan ajang sogokan pejabat daratan lewat “nota dinas” dengan membagikan jatah kuota dan diharuskan mencantumkan huruf NA dan AQ di ujung platnya begitu berseliweran di kota-kota di Aceh .
Mainan ini hingga kini masih menyisakan ratusan mobil rongsok jenis “matic” di celah-celah kebun kelapa di Sabang karena kuotanya sudah ludes.
“Tukak” Sabang tidak hanya membuat koreng di infrastruktur dan kebijakan pelabuhan bebas dan perdagangan bebasnya, tapi ia juga menjalar menjadi penyakit akut di lingkungan otoritas birokrasi berupa tumpah tindihnya kewenangan antara walikota dengan pengelola “free port.”
Tumpah tindihnya sistem dan prosedur administrasi pemerintahan tentang siapa di antara para pemegang otoritas yang berwenang mengeksekusi berbagai keputusan, termasuk tata ruang, yang sering diplesetkan sebagai “tujuh kalinya zuhur dalam sehari.”
Plesetan untuk mengatakan tidak adanya keputusan final disatu tangan terhadap satu persoalan yang sama.
“Tukak” tumpang tindihnya otoritas ini, di masa kejayaan KP4BS, pernah mengantarkan Walikota Drs. M.Yusuf Walad MBA, ke penjara setelah kedua institusi, Pemda Sabang dan KP4BS, terlibat dakwa-dakwi memperebutkan siapa yang paling berhak menobatkan diri sebagai “raja kecil” di pulau itu.
Friksi otoritas ini pernah diam sebentar ketika UU Nomor: 3 dan 4 tahun 1970 menemui ajalnya semasa Gubernur Hadi Thayeb, 1985, dan Sabang hanya diberi status KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) sehingga fungsi walikota kembali menjadi pemegang otoritas tunggal sebagaimana diamanatkan UU nomor:10 tahun 1965 tentang status pembentukan kotapraja itu.
Kondisi adem ini tak berlangsung lama. Kasus friksi ala KP4BS berulang kembali usai geng Aceh di DPR, Saiful Ahmad, T.M.Nurlis dan Imam Suja “ce-es” berhasil melahirkan UU Nomor: 37 tahun 2000, semasa Presiden Gus Dur.
Undang-undang yang mengantarkan terbentuknya sebuah badan baru, BPKS (Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang).
Badan yang struktur kepengurusannya mengadopsi KP4BS dengan menggeser otoritas tertingginya, setingkat menteri, di Jakarta, dengan nama Dewan Kawasan Sabang (DKS) ke personil berformat lokal
Yang menyebabkan Saiful Ahmad, salah satu tokoh yang melahirkan undang-undang itu, untuk kemudiannya dipercaya mengelola “free port,” terjungkalkan karena dosa “toelagh” akibat ketidak jelasan kewenangan disertai ambisi kekuasaan di antara “user.”
Ironis
Untuk itu perlulah dicamkan, sejak awal, Sabang bukan hanya “hill” dengan jualan “vrij haven,” free port, kollen station ataupun pelabuhan bebasnya yang tak pernah laku sebagai jualan birokrasi di barat nusantara itu.
Tapi, ia, sebenarnya, adalah pesona seluruh bukit dari gumam keindahan sepanjang lekuk bibir pantainya. Bibir pantai dari garis melengkung teluknya yang bak kuali yang menarikan gelegak gerakan “saman” dengan ombak menderu
Mengibaskan riak ombak kecil yang melenggokkan “cengkok” nyanyian “beungong jeumpa” ketika angin laut mengibas permukaan airnya di awal pagi.
Ombak kecil dari angin Weh yang diapungkan oleh teriknya matahari Andaman dan uap laut Phuket hingga bertemu di pulau batu Rondo
Yang kemudian menerbangkan awan air ke langit Iboih dan bergumam di bukit Sabang untuk menyiramkan sebersit hujan pirang yang datang dan pergi tanpa bisa di “forecast” secara akurat.
Atjeh Moorden
Sabang memang sebuah pesona yang melintas zaman. Tak pelak, ia juga adalah sebuah “zamrud,” ketika “van de Vaar,” bekas controleur Belanda, dalam bukunya “Surat-surat dari Sumatera,”
Si Holand itu tetirah ke sana di permulaan abad lalu, dan menuliskan catatan keindahan gugusan pulau-pulaunya dengan sangat sentimentil. “Teluknya, bukit-bukitnya dan pantainya bagaikan gambar naturalis,” tulis Vaar.
Ia juga mencatatkan tentang “vrij haven” yang memaksa kapal api singgah mengisi air yang dialirkan dari perut danau lembah vulkanik, Aneuk Laot.
Ia juga mencatat tentang tatahan bukit dengan jalan menanjak yang menghubungkan “enclave” perkampungan opsir dan amtenaar birokrasi di atas dengan kegiatan pelabuhan dan pertokoan cina di bawah.
Hingga sampai ke Pasiran, hunian komunitas marginal, “koeli” pelabuhan. Koeli yang mendorong lori dari gudang hingga ke ujung dermaga.
Vaar secara khusus menuliskan tentang oleh-oleh malaria dari cuaca ekstrim yang dibawa pulang pekerja musiman dan sebuah rumah sakit gila ( jiwa ) yang dibanguan otoritas Sabang Maatschaappij, kini menjadi rumah sakit dr Lilipory , milik angkatan laut yang meng”impor” orang pasungan dari daratan.
Rumah sakit gila yang dibenarkan secara klinis oleh governor di Kutaradja dengan mengatakan, “alamnya memang cocok untuk penyembuhan penyakit jiwa.’ Vaar menulis dengan sentimental alas an ini sebagai pembodohan.
Vaar memang tidak menyebut rumah sakit gila sebagaimana orang daratan Aceh memperolok-olok kawasan itu sebagai tempat perawatan “ureung pungo.” Orang gila yang dipungut atas perintah gubernur kepada para “controleur” dari Singkil hingga ke Tamiang, ataupun didatangkan dari Gayo Lues maupun Tanah Alas.
Pasien udik ini disembuhkan dengan gratis untuk mengikis trauma “atjeh moorden” bagi pejabat Belanda yang ditugaskan ke pelosok Aceh.
Tentu Sabang vrij haven bukan hanya rumah sakit gila atau keindahan pesona alamnya, ketika itu. Sabang vrij haven adalah, benar-benar bandar “free port” tempat mengunggah barang impor atau ekspor ke palka-palka kapal api milik konijklike paketvaart maatschaappij atau KPM yang datang dari Roterdaam atau Batavia.
Mau tahu bagaimana Sabang “tempo lalu” sebagai “free port?” Pelototilah gelantungan foto di ruang “reception” penginapan Sabang Hill.
Ia bisa menjadi saksi dari secuil sejarah panjang yang pernah menghampiri “vrij haven” Sabang. “Vrij haven” foto tua di dinding penginapan itu yang menjawab sebuah realita bagaimana Sabang menjadi bandar di pucuk barat Nederland Indies.
Bandar dengan teluk bak “belangong gulee” kala itu, masih dilabuhi empat lima kapal api, berbahan bakar batubara, dengan asap hitam mengepul dari cerobongnya. Dermaga yang kokoh disangga beton tebal diselangkangnya.
Juga ada gudang-gudang yang tertata rapi dipenuhi kuli memunggah barang dagangan. Jangan lewatkan foto kota diatas dengan rumah model Roterdaam bergaya “art deco” campuran et-spanyola.
Dan ada sebaris toko di pasar bawah bergaya “hokian” khas Kwangtung bertiang besar, jendela susun sirih kecil di lotengnya dan kaki lima yang lapang dengan usaha konveksi milik toke berdialek “hongfu.”
Jangan pernah lupa dengan pantai Pasiran yang masih perawan tempat “docking” kapal antar pulau yang dibengkelkan.
Itulah Sabang, kota heterogen, dengan para administrator pendatang yang berbaur dengan klerek anak negeri dan “koeli” Jawa beranak turunan dengan nama Poniman ataupun Mas Bejo.
Sabang “kota” plural dengan majemuknya baur keturunan suku, yang mengidentikkan penghuninya sebagai anak “Weh,” adalah potret komunitas kesetaraan hidup.
Kesetaraan yang mengharamkan cekcok hegemonitas tentang klaim anak “asal.” Anak “Weh” yang menurunkan status “koeli” ke anak cucunya, sebagai di ceritakan dengan sangat arif oleh Junaedi, anak Sabang yang kini jadi Direktur PDAM Banda Aceh.
Anak “koeli” yang tidak pernah mengejar cita-cita menjadi “amtenar” di “matschaappij,” dan bangga dengan kultur gado-gado yang acuh terhadap tanah asal ayahnya.
Kenapa otoritas Sabang harus repot menjual proposal “cet langet” dan membuat usulan anggaran berbiaya ratusan milyar serta sibuk berproyek ria melahirkan banyak satker dan meneken mou dengan uang jajan atas nama biaya perjalanan hingga ke Dublin di Iralndia yang mencapai angka bermilyar atau beratus juta.
Padahal, Sabang adalah “belangong gulee” dengan karang atol yang membentuk coral tuf marina bertaman laut terindah seputar “donya.” Kenapa tidak menjadikannya sebagai jualan? Pasti laku!!
Catatan : Pernah Dipublikasikan