“OPERA sabun” yang ditampilkan pengamat tentang kegaduhan di Partai Demokrat, lewat kontestasi mereka di dua jaringan televisi berita, “Metro TV” dan “TV One,” akan segera berakhir bersamaan dengan memuainya perlawanan di lingkungan internal partai berlambang bintang “mercy” itu.
Berakhirnya kontestasi akan ditandai dengan terjungkalnya “ramalan” mereka tentang “pemberontakan” yang diprovokasikan dan menguatnya soliditas di internal Partai Demokrat pasca pengambilalihan kepemimpinan dari Anas Urbaningrum oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
“Ramalan” yang dibungkus para pengamat dengan retorika tinggi dengan kemasan bahasa provokasi, kini, kelihatannya mulai meredup bersamaan dengan datangnya dukungan serempak para kader terhadap keputusan penyelamatan partai oleh Majelis Tinggi.
Menurut seorang pengamat independen, kegaduhan yang disodorkan para “peneliti” yang “menjual” akurasi dan tesis keilmuannya dengan mengedepankan pasal-pasal anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang tidak menyediakan bunyi pengambilalihan pimpinan DPP, makin redup. “Tak ada hantu Anas atau hantu SBY yang menjungkirbalikkan Demokrat. Kita ditipu oleh jualan pengamat yang lakunya hanya di acara-acara talk show dengan perdebatan menegangkan urat leher,” katanya dengan sinis.
Terakhir, katanya, dalam “talk show” TV One dengan program “Lawyer Club,” para pengamat dan politisi petualang tampil dengan ocehan berbau kebencian dengan mengetengahkan pendapatnya secara emosional. “Muak kita menyaksikan mereka yang menamakan dirinya pengamat dengan ocehan sepihak. Mereka melakukan pembenaran diri untuk ditonton sebagai pengukuhan dirinyalah yang paling hebat,” katanya.
Mementahkan pendapat para pengamat itu, para pengurus cabang partai mulai angkat bicara. “Yang ribut sebenarnya hanya orang-orang yang menginginkan Partai Demokrat pecah. Yang dilakukan SBY sebagai majelis tinggi partai adalah penataan dan perbaikan citra partai sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan (terhadap) partai,” ujar Rahmat Sjamsu Alam.
Rahmat Sjamsu Alam, yang akrab disapa Atto ini, memandang keputusan SBY tersebut membuat Partai Demokrat semakin baik. “Justru dengan adanya isu-isu yang menggelinding ini, Partai Demokrat semakin mesra saja, layaknya pasangan pengantin baru,” kata Rahmat.
Sementara itu, Anas Urbaningrum yang didorong-dorong untuk melakukan perlawan terhadap keputusan SBY, Selasa kemarin hanya bercanda di BBM dengan menuliskans dua kata bahasa Jawa “ojo dumeh” di statusnya. Sebelumnya, status Anas di BBM sempat membuat heboh karena bertuliskan “Politik Para Sengkuni”, yang diterjemahkan banyak pihak sebagai sindiran atas peta politik di internal Partai Demokrat saat ini.
Lalu apakah status terbaru Anas soal “ojo dumeh” ini terkait dengan posisinya saat ini dimana sejumlah kewenangannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat diambil alih oleh Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)?
Terkait dengan pesan “ojo dumeh” ini, pakar Pendidikan, Prof Mudjia Rahardjo, dalam situsnya, Selasa, menjelaskan makna dari “ojo dumeh”. Bagi masyarakat Jawa “ojo dumeh” memiliki nilai-nilai luhur yang sampai hari ini masih dipegang. Yang artinya sikap untuk tidak mentang-mentang.
Prof Mudjia menulis sebagai sebuah nilai, ojo dumeh memiliki makna sangat dalam dan masuk dalam ranah yang luas, bisa mengenai kedudukan, kekuasaan, kekayaan, dan status sosial.
Ini merupakan ajaran Jawa ketika orang harus sadar bahwa kehidupan itu berputar. Suatu saat di atas dan saat lain di bawah. Ketika di atas, misalnya, ketika berkuasa dan memiliki akses banyak, jangan mentang-mentang dan berperilaku semena-mena terhadap orang lain atau bawahannya.
Jika ditelaah mendalam, lanjut Prof Mudjia, sebagai sebuah nilai, maka ojo dumeh bisa menyelamatkan manusia di mana pun berada. Tatkala di atas dia bisa menghargai orang lain sehingga, jika suatu saat di bawah, maka masih banyak orang menghargainya. Karena orang akan teringat jasa baiknya, maka dia masih tetap dihormati karena berjasa.
Sementara itu seorang peneliti dari Centre for Strategic and International Studies, Philips J Vermonte, mengatakan mekanisme internal pengurus Demokrat sulit berjalan sehingga memaksa pembina Demokrat ”mengambil alih” partai itu saat terjadi kemelut. Ini bisa menjadi preseden bagi partai lain, yaitu apabila menghadapi situasi konflik internal, bukan lagi pendekatan institusional yang digunakan, melainkan menggantungkan diri pada ”orang kuat” partai. Akibatnya, partai politik terus-menerus gagal melembagakan dirinya.
Akibat lain, publik makin menyadari, politik hari ini lebih tentang perseteruan para elite partai, politik tidak terkoneksi pada kebijakan publik dan berkaitan dengan publik. Terlebih lagi aura korupsi yang dilakukan elite partai, bukan hanya Demokrat, makin terbuka dan terang benderang terlihat oleh publik.
”Demokrat harus segera menuntaskan persoalan internalnya, tidak bermain di wilayah abu-abu antara melepas atau mempertahankan Anas (Urbaningrum). Kalau dipertahankan, mengingat kuatnya Anas di bawah, dia harus diberi kesempatan rekonsolidasi partai,” kata Philips.
Todung Mulya Lubis mengungkapkan, Demokrat belum berkembang jadi partai modern. Figur Yudhoyono sangat dominan, bahkan kini mengambil alih operasional partai. Langkah Yudhoyono dilihatnya berlebihan karena memperlihatkan ketidakpercayaan pada organ partai.
”Sebetulnya SBY tidak harus turun tangan langsung sendiri, tetapi bisa menunjuk perwakilan atau pimpinan lain di partai itu untuk menangani operasional partai. Itu mengurangi perhatian Presiden pada tugas negara. Itu tidak elok dilihat dari fatsun politik,” katanya.