Media paling terkenal di Inggris, “daily mail,” hari ini, Selasa, 24 Januari 2017, membuat kejutan dalam penulisan terbarunya di rubrik “lifestyle” dengan mengungkapkan bahwa kecanduan media sosial terbukti sudah terprogram di gen.
Para ilmuwan dari King’s College London membandingkan kebiasaan berinternet sekitar empat ribuan kembar identik dengan sekitar empat ribuan lainnya kembar bukan identik.
Para peneliti itu menemukan gen yang bertanggung jawab atas empat puluh persen waktu yang dihabiskan untuk berselancar di dunia maya.
Para ahli mengklaim hal ini menunjukkan media bukan hanya entitas eksternal yang menjerat konsumen “tak berdaya”.
Orang-orang tertentu secara alami memang rentan kecanduan media sosial.
“Komponen kunci korelasi gen-lingkungan adalah pilihan,” kata Profesor Robert Plomin, peneliti senior dari IoPPN di King’s College London.
“Orang-orang seperti itu bukan hanya penerima pasif terhadap lingkungannya, tetapi secara aktif memilih pengalaman dan pemilihan-pemilihan ini terkorelasi dengan kecenderungan genetik,” tambahnya.
Penelitian ini merupakan yang pertama menemukan hubungan solid antara kebiasaan media sosial dan gen yang berdasar data delapan ribuan kembar usia enam belas tahun dari Twins Early Development Study di Inggris.
Mereka secara sengaja membandingkan kembar identik dan non identik
Dengan begitu, peneliti mampu mengestimasi kontribusi relatif gen dan lingkungan terhadap perbedaan individual dalam keterlibatan di media daring.
Keterlibatan itu meliputi games untuk hiburan dan pendidikan. Juga waktu yang dihabiskan di chat room, aneka platform pesan instan dan Facebook.
Banyaknya waktu yang dihabiskan di semua media dapat dikaitkan dengan heritabilitas atau tingkat di mana perbedaan antar anak dapat dihubungkan dengan faktor-faktor genetik keturunan daripada efek lingkungan.
Untuk jejaring sosial, mereka menemukan gen menyumbang 24 persen waktu yang dihabiskan online.
Heritabilitas pun bertanggung jawab untu waktu yang dihabiskan di media hiburan,
Di luar itu, faktor-faktor lingkungan unik bertanggung jawab hampir dua pertiga perbedaan di antara orang-orang pada penggunaan media daring.
Faktor-faktor ini meliputi berbagai akses ke sumber media dalam keluarga seperti satu anak memiliki ponsel sendiri atau orang tua memonitor penggunaan jejaring sosial lebih ketat untuk satu anak dibandingkan yang lain.
Tim peneliti ini dipimpin Ziada Ayorech.
Mereka menyimpulkan penemuan-penemuan ini menantang pemikiran yang sudah ada saat ini bahwa kita secara pasif terpapar media.
Ternyata penemuan ini mendukung pandangan bahwa kita membentuk media daring kita sendiri menggunakan kecenderungan genetik mereka sendiri yang unik.
Ziada Ayorech mengatakan,”Penemuan kami berlawanan dengan teori efek media populer yang secara tipikal memandang media sebagai entitas eksternal yang memiliki efek baik atau buruk pada konsumen yang tak berdaya.”
“Menemukan perbedaan DNA secara bermakna mempengaruhi bagaimana orang-orang berinteraksi dengan media membuat konsumen duduk di kursi pengemudi, memilih dan mengatur paparan media sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri,” katanya.
Hasil penelitian ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaa mengenai media pribadi dan sejauh mana media sosial “filter bubbles” hanya memaparkan kita pada informasi yang mendukung sudut pandang kita sendiri dan melindungi kita dari argumen berlawanan.
Namun, Plomin menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan individu masih akan memegang peran integral.
Ya, komunikasi di era teknologi mobile dan internet seperti sekarang memang enak dan mudah.
Walau begitu, segala kemudahan itu bisa berubah menjadi bencana jika kita sampai kecanduan.
Bukan hanya untuk mengintip kehidupan orang lain, media sosial juga kini menjadi rujukan gaya hidup terkini, membuang keluh kesah, hingga menjadi panggung pandangan politik seseorang.
Tak heran jika media sosial kini makin sulit ditinggalkan. Kita takut ketinggalan kabar jika 5 menit saja tak membuka media sosial, kita gelisah jika berada jauh dari gadget.
Pengaruh dari kecanduan itu bukan hanya membuat konsentrasi berkurang, tapi kita juga lupa untuk benar-benar hadir seutuhnya pada apa pun yang sedang dilakukan.
Ketahui apakah kegemaran Anda melihat media sosial sudah masuk dalam taraf kecanduan?
Nah ini cirri-cirinya.
Hampir semua orang yang kecanduan media sosial akan memulai rutinitas mereka dengan mengecek lini masa untuk mengetahui kabar terbaru di Facebook, Twitter, atau Instagramnya, yang mungkin terlewatkan saat mereka tidur.
Sering menunda-nunda pekerjaan adalah kelemahan terbesar para pecandu media sosial.
Puluhan menit waktu kita habiskan untuk mengamati polah tingkah kucing yang berjoget, terpesona dengan foto koleksi lipstik terbaru, atau melihat-lihat foto liburan mantan pacar.
Sebenarnya tak masalah apa yang kita lihat, tapi jangan sampai hal lain sampai dikorbankan.
Merasa ada yang kurang jika tidak memberi tahu lokasi keberadaan kita?
Bila dilakukan sesekali saat sedang liburan atau acara penting lain mungkin tak akan masalah.
Namun, tentu berlebihan jika setiap tempat yang Anda kunjungi saat ke luar rumah perlu diumumkan di media sosial.
Orang yang kecanduan media sosial selalu merasa ada tekanan untuk menghasilkan foto yang sempurna untuk ditampilkan di media sosialnya. Proses menghasilkan foto terbaik itu sering kali menjengkelkan orang di sekitar Anda.
Teman-teman Anda tahu bahwa setiap saat Anda selalu online. Karena itu jika mereka ingin mengontak Anda biasanya mereka akan meninggalkan pesan di lini masa akun media sosial Anda karena responnya lebih cepat.
Pernahkah Anda sedang menonton serial favorit di televisi lalu satu jam kemudian ternyata Anda malah terhanyut membaca topik seru di twitter? Siapa pun yang kecanduan media sosial sadar bahwa sesuatu yang Anda sukai pun tak bisa mengalahkan godaan media sosial.
Bagi para pecandu media sosial, tanda suka (likes) berarti besar bagi mereka. Makin banyak tanda suka diperoleh, mereka makin merasa diterima. Semakin banyak pula tanda suka yang diharapkan akan diberikan orang lain.
Masalah bisa datang dan pergi, namun bagi generasi yang kecanduan media sosial, tak ada masalah yang lebih menggelisahkan mereka dari pada ketiadaan sambungan internet atau wifi.