Laman situs “metro.co.uk,” hari ini, Selasa, 11 April, menurunkan laporan sebuah hasil studi yang memprihatinkan yang dipublikasikan dalam Journal of Sex.
Laporan itu terkait dengan banyaknya pria yang ingin memberi wanita orgasme untuk meningkatkan ego mereka sendiri.
Para peneliti menemukan hasil tersebut setelah melakukan survei terhadap delapan ratusan pria dengan usia rata-rata dua puluh lima tahun mengenai sikap mereka terhadap seks dan peran jender.
Bagi pria, terutama mereka yang merasa stres mengenai peran mereka dalam keluarga, orgasme wanita ternyata menjadi validasi kejantanan.
Diwawancarai oleh PsyPost, para peneliti mengatakan, pria yang berhubungan seks dengan wanita tentu memegang andil dalam orgasme wanita tersebut.
“Namun, kadang kala tujuan pria membuat wanita orgasme bukan untuk kebahagiaan wanita tersebut, melainkan untuk merasa lebih baik mengenai maskulinitas mereka sendiri,” ucap mereka.
Menurut mereka, pola pikir ini membuat banyak wanita pura-pura orgasme demi menjaga perasaan pasangan.
“Sayangnya, hal ini juga bisa berarti bahwa pria tidak mau menerima respons dari wanita dalam meningkatkan kemampuan seksual mereka.
Sebab, respons tersebut dapat membuat mereka semakin tidak kompeten atau kurang maskulin,” kata para peneliti.
Perlu pula diketahui, tanda orgasme secara fisik ialah kontraksi otot sekitar kelamin dan bahkan seluruh tubuh.
Secara psikis tentu terasa nikmat dan senang ketika mencapai orgasme.
Dengan adanya tanda ini, mestinya Anda dengan mudah dapat mengetahui apakah istri Anda sedang merasakan orgasme atau tidak.
Apalagi kalau masih menerima rangsangan seperti sebelumnya, perempuan dapat mencapai orgasme lagi, bahkan beberapa kali.
Setelah mencapai orgasme, tentu perasaan terangsang hilang.
Kalau pada saat ini hubungan seksual dilakukan sementara istri tidak terangsang, maka yang muncul adalah rasa geli atau tidak nyaman. Mungkin inilah yang dialami oleh istri Anda.
Yang pasti ketika orgasme, perempuan merasakan nikmat dan senang, bukan merasakan geli
Lantas kenapa lelaki memalsukan orgasme?
Menurut studi di Harvard, pria sering melakukan fake orgasm atau orgasme palsu.
Menurut ahli urologi dr. Abraham Morgentaler dalam buku barunya ‘Why Men Fake it: The Totally Unexpected Truth’, banyak pria mengakui mereka pernah berpura-pura mencapai klimaks.
Tapi, apa yang menyebabkan pria melakukannya?
“Alasan mereka melakukannya mungkin menjadi yang paling mengejutkan. Sekali pria menjalin sebuah hubungan, mereka tampaknya lebih peduli pada pasangannya dari dirinya sendiri,” ujar Morgentaler.
“Untuk setiap satu pria yang berperilaku buruk, saya bisa menjamin, sepuluh pria lainnya berperilaku penuh dedikasi dan pemikiran serta melakukan yang terbaik untuk menjadi pria dan pasangan yang baik,” papar profesor urologi Harvard University ini.
Morgentaler menambahkan, ini mungkin hampir tidak dapat dipercaya, tapi melakukan orgasme palsu bukanlah hal yang mustahil bagi kaum adam, meski bagaimana mereka melakukannya masih belum jelas.
Sebuah studi baru dari University of Kansas menemukan, 70 persen wanita dan 30 persen pria pernah melakukan orgasme palsu.
Dalam studi ini, kedua jenis kelamin ini memberikan alasan yang sama untuk berpura-pura, yaitu karena pasangan terlihat hampir mencapai klimaks.
Hal ini membuat mereka tertekan untuk segera mencapai klimaks juga.
Studi ini melaporkan, adanya keinginan untuk memberikan pasangannya orgasme yang dahsyat terkadang justru memicu wanita maupun pria untuk melakukan orgasme palsu supaya harapan tersebut dapat tercapai.
Morgentaler mengatakan, alasan lainnya untuk melakukan orgasme palsu adalah perubahan cepat akan identitas gender dalam masyarakat.
Perubahan ini membuat banyak pria mengalami krisis percaya diri akan maskulinitas mereka.
Ia pernah mendapatkan pasien berusia dua puluh tujuh tahun yang tidak dapat merasakan atau menggerakan apapun dengan pinggangnya.
Morgentaler pun mengobati pria tersebut sehingga ia dapat melakukan seks kembali. Hasilnya luar biasa, ia merasa menjadi pria sejati.
Namun sebenarnya, pria ini masih belum dapat merasakan kenikmatan seksual apapun.
Morgentaler menjelaskan, pasiennya merasa lebih baik bukan karena ia mendapatkan kenikmatan dari seks, melainkan karena ia dapat memuaskan istrinya.
“Sekitar enam puluh tahun yang lalu, seks merupakan kewajiban wanita namun kurang dinikmati oleh mereka. Namun sekarang wanita juga membutuhkan kenikmatan dari seks,” tutur Morgentaler.
Ia menggambarkan, pria yang menderita disfungsi ereksi sering berpikir bahwa mereka tidak akan pernah mendapat pasangan.
Mereka mengatakan, “wanita mana yang mau dengan pria yang tidak dapat memuaskan mereka?”