Apakah Anda akan terbuai oleh khayalan romantis ketika merasakan cinta pada pandangan pertama?
Sudah yakinkah Anda bahwa itu memang cinta?
Hubungan yang didasarkan oleh cinta pada pandangan pertama memang menjadi cerita yang populer sejak ratusan tahun lalu.
Bukan hanya dalam film, novel, atau lagu, di kehidupan nyata tak sedikit orang yang mengklaim pernah merasakan getaran cinta ini.
Namun, apakah benar yang dirasakan itu memang cinta? Ternyata sains tidak mendukungnya.
Para ilmuwan bahkan sangsi dengan apa yang oleh orang disebut sebagai “cinta” pada pandangan pertama sebenarnya adalah sesuatu yang mewakili emosi kompleks yang mirip dengan cinta.
Bahkan bisa jadi itu sebenarnya hanya ketertarikan fisik belaka.
Siapapun dari kita pasti pernah merasa debar-debar nyes yang membuat adrenalin berpacu dan isi perut diaduk-aduk tidak keruan.
Pandang pertama yang memberi sejuta kesan dan kenangan. Otak terasa meleleh dan tubuh serasa tak bertulang.
Bila sang subyek mau melempar pandang sekali saja, hati seakan dilontar ke awang-awang.
Apalagi jika berhasil berkenalan dan mengajak kencan. Dijamin busana terkeren dan minyak wangi akan menemani kencan pertama itu.
Tidak diragukan lagi, dalam kencan pertama itu kita akan berusaha tampil dengan sesempurna mungkin.
Semua tutur kata dijaga. Semua tindak-tanduk ditata. Jaga imej, begitu istilahnya sekarang. Karena kita tahu, peluang kita di hari-hari mendatang akan ditentukan oleh penilaian pertama ini.
Menyitir satu tagline iklan terkenal: “Kesan pertama begitu menggoda.” Maka kita berusaha membuat kesan pertama ini sedahsyat mungkin.
Nah. Justru di sini jebakan paling berbahaya terpentang di bawah kaki kita tanpa kita sadari. Kita membuat penilaian terperinci di awal perkenalan dan mendasarkan semua ekspektasi kita pada penilaian pertama itu.
Menurut John van Epp, Ph.D dari Love Thinks, LLC., justru di sinilah kekeliruan fatal terjadi. Kekeliruan itu menyangkut apa yang disebut van Epp sebagai “pola”.
Tiap orang memiliki pola perilaku dalam menjalani sebuah relasi intim. Pola ini dibentuk dalam masa pertumbuhan kita, masa kanak-kanak kita.
Pola ini ada yang muncul dalam jangka singkat. Namun banyak di antaranya baru muncul dalam jangka panjang, atau dalam kondisi kritis.
Menjadi keliru jika kita mendasarkan penilaian pada pandang pertama atau pada kencan pertama–justru karena banyak pola yang belum muncul dan belum dapat dinilai.
Misalnya: bagaimana seseorang mengatasi masalah, atau bagaimana menghadapi penolakan, atau bagaimana menilai peluang yang terbuka di depan mata.
Apakah dia akan sombong ketika mendapat penghargaan atau kemenangan?
Apakah dia akan rendah diri ketika merasa dilecehkan orang? Sejauh mana dia bersedia berkorban?
Apakah dia memberi dengan sukarela atau banyak hitung-hitungan?
Semua ini adalah pola yang tidak dapat ditakar dari penilaian pertama.
Dari pengalaman, aku juga tahu bahwa penilaian pertama ini seringkali keliru justru karena kedua pihak tampil untuk memberi kesan sebaik-baiknya.
Dan, seringkali kita tidak tampil sebagai diri sendiri, namun sebagaimana yang menurut kita akan menghasilkan nilai tertinggi.
Barangkali kita tidak mengenakan topeng, tapi jelas kita memoles penampilan dan performance kita sedemikian rupa; menegaskan aspek terbaik dari diri kita dan menyembunyikan “sampah-sampah”-nya.
Sementara itu, karena sedang hot-hot-nya, sebagian besar dari kita memang hanya akan melihat hal-hal baik dari orang yang kita suka. Istilahnya, kentut pun akan harum baunya.
Klop sudah. Kita sendiri mencari hal-hal yang baik dan menyenangkan karena kita sedang jatuh cinta. Sementara pasangan kita berusaha tampil sebaik mungkin untuk mendapatkan penilaian tertinggi.
Tentu tidak! Hanya saja, kita musti tetap mawas diri. Kita harus menikmati buaian rasa dan mencecap manisnya jatuh cinta pada pandangan pertama.
Tapi kita musti tetap sadar bahwa penilaian pertama kita barangkali keliru.
Bahkan, jikalaupun penilaian pertama itu benar, masih banyak yang harus digali dan dikenali dari pasangan kita sebelum kita memutuskan untuk mengikat hati lebih dalam dengan dia.
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa jatuh cinta akan mengaktifkan area otak tertentu. Lokasi tersebut berbeda-beda tergantung pada tipe cinta yang dirasakan, seperti emosional, ibu kepada anaknya, atau cinta yang menggebu-gebu.
Rasa cinta yang dalam dan penuh hasrat akan mengaktifkan area yang sama di otak seperti halnya kecanduan zat kimia.
Sementara cinta jangka panjang akan memicu respon di area otak yang terkait dengan kelekatan dan “hadiah”.
Studi teranyar mengenai cinta pada pandangan pertama yang melibatkan empat ratus responden menyimpulkan bahwa apa yang kita anggap sebagai cinta pada pandangan pertama seseungguhnya hanya ketertarikan fisik yang kuat.
Dari hasil studi ini kita bisa lebih berhati-hati sebelum menerima cinta seseorang. Jangan mudah terpukau oleh angan-angan keindahan emosi cinta.
Merasa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan seseorang bukan jaminan kita akan cocok menjalin hubungan dengannya. Anda berdua perlu saling mengenal lebih dalam sebelum membangun hubungan asmara yang serius.