close
Nuga Sehat

Kurang Tidur Tingkatkan Resiko Alzheimer

Kurang tidur akan meningkatkan risiko Alzheimer?

Jawabannya,  iya.

Seperti ditulis laman situs “futurity,” kurang tidur bisa meningkatkan risiko alzheimer.

Hal tersebut disebabkan otak yang memproduksi lebih banyak protein amyloid beta saat kita kurang tidur.

Protein ini dikaitkan dengan alzheimer.

Kadar protein yang meningkat berpotensi memicu serangkaian perubahan pada otak yang bisa diakhiri dengan demensia.

“Penelitian ini adalah demonstrasi paling jelas pada manusia bahwa gangguan tidur menyebabkan peningkatan risiko penyakit Alsheimer melalui mekanisme amyloid beta,” kata Randall Bateman, penulis senior penelitian ini.

“Penelitian tersebut menunjukkan bahwa hal itu disebabkan oleh overproduksi amyloid beta selama kurang tidur,” sambung profesor neurologi di Washington University, St. Louis tersebut.

Hal senada juga diungkapkan oleh David Holtzman, seorang profesor neurologi, dan Yo-El Ju, asisten profesor neurologi. Mereka menyebut bahwa tidak tidur dengan baik meningkatkan kadar protein otak seperti amyloid beta yang dikaitkan dengan alzheimer.

Sayangnya, mereka juga mengakui bahwa belum diketahui mengapa terjadi peningkatan protein amyloid beta pada otak yang lelah.

Untuk penelitian ini sendiri, Bateman dan koleganya merekrut delapan orang berusia tiga puluh hingga enam puluh tahun tanpa masalah tidur maupun kognitif.

Para peneliti kemudian menugaskan peserta secara acak pada salah satu dari tiga skenario.

Skenario pertama adalah tidur malam normal tanpa alat bantu tidur.

Skenario kedua, begadang semalaman. Sedangkan, skenario ketiga, tidur dengan bantuan obat sodium oxybate.

Sebagai informasi, sodium oxybate digunakan untuk meningkatkan tidur gelombang lambat (fase tidur mendalam dan tidak bermimpi), yang dibutuhkan orang agar ketika bangun merasa segar kembali.

Setiap skenario tersebut, dilakukan selama tiga puluh enam jam pemantauan yang dimulai dari pagi hari hingga berlanjut pada sore hari berikutnya. Peneliti kemudian mengambil sampel cairan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang setiap dua jam.

Hal tersebut dilakukan untuk memantau perubahan tingkat amyloid beta yang terjadi seiring waktu dan kelelahan.

Setelah masing-masing mendapat skenario pertama, para peserta kembali lagi untuk melakukan skenario kedua pada empat sampai enam bulan berikutnya. Sedangkan skenario ketiga hanya dilakukan oleh empat peserta saja.

Ini dilakukan oleh para peneliti untuk memperlajari mendeteksi perubahan tingkat amyloid beta pada orang yang sama ketika mendapatkan kondisi yang berbeda.

Hasilnya, tingkat amyloid beta pada orang yang kurang tidur lebih tinggi dua puluh lima hingga tiga puluh  persen daripada orang yang tidur malam tanpa gangguan.

Setelah begadang, tingkat amyloid beta peserta setara dengan orang yang secara genetik mengembangkan alzheimer di usia muda.

Namun para peneliti menggaris bawahi bahwa ini tidak terjadi begitu saja dalam satu malam, melainkan jika Anda terus menerus begadang.

“Saya tidak ingin ada yang berpikir bahwa mereka akan terkena penyakit alzheimer karena mereka begadang selama menjadi mahasiswa,” ungkap brendan Lucey, asisten profesor neurologi yang terlibat dalam penelitian ini.

“Suatu malam mungkin tidak akan berpengaruh pada keseluruhan risiko Alzheimer Anda. Kami benar-benar lebih peduli dengan orang yang memiliki masalah tidur kronis,” sambungnya.

Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Annals of Neurology ini menyebut bahwa ketika tingkat amyloid beta tetap tinggi, protein lebih cenderung untuk mulai menghasilkan plak.

Plak semacam ini merusak neuron terdekat dan bisa memicu perubahan orak yang destruktif

Plak inilah yang menandai kerusakan otak pada penderita Alzheimer.

“Memahami bagaimana kurang tidur berkaitan dengan konsentrasi amyloid beta di otak akan membantu mengarahkan penelitian ke terapi terapeutik,” kata Lucey.

“Informasi ini dapat membantu kita mengetahui bagaimana mengurangi pengendapan amyloid beta dari waktu ke waktu pada orang-orang yang tidurnya terganggu secara kronis,” imbuhnya.

Selain itu, kurang tidur juga  akan memperlambat kerja beberapa sel otak.

Sebuah riset yang dipublikasikan di Nature Medicine  mengungkapnya.

Penelitian itu mengungkap, kurang tidur menyebabkan melemah dan lembatanya letupan elektrik dalam komunikasi sel saraf.

“Temuan ini membantu menjelaskan mengapa kurang tidur mengganggu berbagai fungsi mental,” ujar Dr. Itzhak Fried, profesor bedah saraf dari Universitas California, Los Angeles.

Dampak kekurangan tidur dapat dilihat saat merespon situasi seperti ketika ada seseorang yang melompat di depan mobil saat Anda tengah mengendarainya.

“Jika Anda kurang tidur, sel otak akan bereaksi dengan cara yang berbeda dari keadaan normal,” imbuh Fried seperti dikutip NPR.

Untuk mengungkap hal tersebut, Fried dan rekannya melakukan penelitian yang tidak biasa, mengamati otak orang yang tengah menjalani terapi epilepsi.

Sebagai bagian dari terapi, dokter menaruh detektor pada otak. Tujuannya, mengetahui lokasi otak tempat dimulainya kejang.

Didukung dengan fakta bahwa pasien eipilepsi sering dibuat terjaga sehingga kejangnya bisa diamati, para dokter mendapatkan kesempatan baik untuk mengamati sel otak selama berhari-hari.

Atas persetujuan pasien, dokter melakukan eksperimen. Mereka diminta melihat gambar wajah, tempat, dan hewan. Lalu aktivitas otaknya diamati.

Ada empat pasien terjaga semalaman sebelum mereka melihat banyak gambar.

Pada kelompok ini, Fried mengatakan sel saraf merespons lebih lambat. Tanggapannya berkurang dan waktunya lebih lama.

“Perubahan ini mengganggu kemampuan sel untuk berkomunikasi,” ujar Fried.

“Tim juga menemukan bukti bahwa kurang tidur memengaruhi beberapa area otak tertentu lebih banyak daripada yang lainnya. Seolah-olah daerah otak tertentu sedang tidur, sementara yang lain tetap terjaga atau bangun,” sambungnya.

Penelitian ini menambah bukti pentingnya menghindari mengemudi saat keadaan mengantuk.

Fried mengungkapkan temuannya juga mendukung upaya untuk membatasi jam kerja yang dilakukan oleh dokter. Sebab, dirinya juga menghabiskan waktu yang sangat lama sebagai dokter bedah saraf.

“Saya mencoba menerapkan pelajaran yang saya teliti untuk diri saya sendiri,” katanya.