Ricuh menjelang pergantian hari, di malam Senin, hari pertama pekan ini, di sebuah sudut kota Banda Aceh yang bernama penayong tak membuat langkah surut walikota Aminullah.
Ada aksi sorak dari suara gemuruh menuding sang walikota zalim. Ada poster bernada rasis yang diacungkan para pedagang dalam kalimat menantang kebijakan di malam yang rusuh itu.
Kami memang tidak menggunakan kata gusur untuk kebijakan ini. Sebab ia telah ditaklimatkan jauh sebelum hari protes itu berlangsung.
Taklimat berupa pemindahan pasar penayong, yang populer dengan pasar kartini, karena lokasinya di jalan kartini sudah sumpek dan menyesakkan
Taklimat yang sekaligus mengakhiri keberadaan pasar sayur yang dianggap jadi biang dari kekumuhan dan kesemrautan kota.
Ya, pasar penayong memang semraut dan kumuh
Marilah kita mengenangnya dihari-hari panjang sebelumnya ia ditutup. Badan jalan yang dikanibal oleh lapak pedagang sayur menjadikan arus kenderaan saling berhimpitan dan sering menjadi sumpah serapah disertai dakwa dakwi diantara pemakainya yang saling menyalip.
Sebuah pemandangan yang tidak seronok kalau ia ditilik dari nalar yang benar.
Namun begitu, tentu tidak semua orang, terutama pedagang kecil yang telah puluhan tahun hidup mengais rezeki bisa menerima kebijakan pemindahan pasar penayong ke pasar mahirah di ujung jalan syiah kuala di hari hari ini.
Dan tidak semua rencana sang walikota bisa berjalan mulus di hari senin itu. Lihatlah apa yang terjadi di Senin pagi ketika pedagang ikan dengan wajah sangar berakaksi mencampakkan dagangannya ketika puluhan petugas menghardik untuk kepindahan mereka.
Bahkan para pedagang secara liar mengejar para petugas dengan keranjang ikan yanfg lari terbirit birit di pagi yang mendung itu.