Dua hari lalu saya mendapat dua kiriman artikel lewat whatsapp. Satu di share dari media online Al Jazzera. Satu lainnya dari Washington Post. Dua-duanya memberi judul John Doe v Exxonmobil. Tambahannya ada kata human rights.
Artikelnya panjang. Bikin mumet ketika membacanya. Apalagi sang artikel dalam bahasa Inggris.
Yang menariknya, baik yang di Al Jazzera maupun Washington Post mencantumkan kata Acheh. Acheh yang bukan seperti tulisannya De Atjehers karya Dr. Snouck Hurgronje yang monumental itu
Walaupun mumet saya terjerumus mengeja sang artikel. Tentu saja dengan tertatih-tatih. Saya memang tak lancar bercas..cis.. Inggris. Tapi kalau sekadar membaca masih bisalah. Istilah kerennya Inggris pasif.
Inggris pasif yang membuat saya sering kepentok dengan kata-kata “aneh.” Kata aneh yang membuat otak saya jadi waras. Waras untuk sebuah bisik tanya: ‘ngapain harus mengeja?”
Bisik tanya yang menuntun saya kejawaban simple, “translate aja lewat google” perintah cel otak kanan saya. “Kan langsung beres,” sambung otak kiri. “Ooo ya ya.,’ jawab kata finalnya menghapus bingung.
Translate itu kan kata terjemahan.
Langsung beres?
Nggak beres-beres amat. Ternyata masih banyak kata yang masih menyembunyikan arti. Kata yang sembunyi dibelukar banyak arti.
Terhadap kata-kata dibelukar ini saya membawanya kembali ke ranah google. Nampaknya semua beres. Beres untuk semua isi beritanya. Tahu ba-bi-bu-nya. Ba-bi-bu case dan background masalahnya.
Ternyata beres ba-bi-bu ini belum “on track” ke inti tulisan. Inti tulisan yang menyisakan sengkarut dengan kata John Doe dan Jane Doe. Bukan kata droe yang saya fasih amat artinya.
Kata yang ditetakkan di kop artikel.
Saya mengangkat alis dan menanarkan pandangan untuk menyibak kata John Doe dan Jane Doe itu. Dua kata yang tak saya dapatkan padanannya dalam kamus Poerwadarmita. Kamus baku bahasa Indonesia.
Untuk mencari sahihnya kata Doe untuk John dan Jane ini saya mengirim pesan ke seorang teman. Guru bahasa Inggris sebuah perguruan tinggi.
Ia langsung membalas.”Nggak tahu pak. Udah saya kulik nggak ketemu.”
Tak ada kata putus asa. Saya kerahkan kemampuan investagasi saya ke skala tinggi.
Akhirnya ketemu juga.
John Doe itu panggilan untuk anak lelaki. Sedangkan Jane Doe sebaliknya. Sapaan anak perempuan.
Sampai di sini “cespleng,.” Saya pun berguman,,bereh. Bereh juga dengan satu persatu kata di judul artikel. Judul yang menuliskan John Doe sebagai samaran untuk sebelas nama.
Nama-nama yang diurut sebagai John Doe satu hingga sebelas. John Doe penggugat. John Doe tempat persembunyian anak aso lhok yang kelak dihadirkan sebagai saksi. Versus exxonmobil.
Dengan terbukanya belang John Doe usai pula preambul tulisan ini Dan saya langsung membalas pesan whatsapp sang kawan yang mengirim kedua artikel itu.
“Thank you Jib,” tulis saya. Ia membalas dengan tulisan pendek. “Adios boss. Selamat lanjut,” balasnya.
Saya tahu kata lanjut si Jib yang bernama lengkap Najib Rahman itu. Kata lanjut untuk permintaan agar saya menuliskan artikel yang lebih baik.
Kata lanjut dari si Najib aneuk meugampong dari desa Meuligo di kecamatan Sawang. Desa yang tak jauh dari pasar Krueng Mane. Desa dengan blang yang luas.
Najib adalah seorang kawan yang sedang melanjutkan kuliahnya di starata tiga Columbia University. Starata finance.
Najib sangat mencolok “aso lhok”nya. Sangat kental ke”aceh”annya ketika masih melata sebagai pesuruh di sebuah lembaga nirlaba kemanusiaan. Sejak ia masih remaja sekolah lanjutan di Geurogok.
Saya kenal Najib sebagai sahabat trah istri saya. Sahabat kehidupan “blang” kala menanam padi-“pula pade”
Kala “pula pade”nya aksi kekerasan dari perlawanan Aceh terhadap penindasan Jakarta memberangus kata referandum untuk mengabsahkan aceh yang merdeka.
Aceh yang ditindas karena minta keadilan karena isi perut buminya dibancak dan para sjedara mereka dibiarkan hidup melata sebagai pengemis di tanah “wareh indatu”nya.
Perut bumi wareh indatu yang dimakan gergasi mobil oil. Yang produknya bernama gas alam. Gas alam di bumi Arun yang membentang dari Lhok Sukon hingga ke Seuruway untuk dimasak dikilang bernama keren Blang Lancang.
“Wareh indatu” yang sering saya datangi ketika masih belajar naik sepeda yang bernama wartawan. Datang yang berulang-ulang. Datang ketika “blow up” salah satu sumur Arun Lhok Sukon dan membawa beritanya pulang ke Jakarta.
Dari sinilah kisah tepuk horree itu datang. Tepuk hore gugatan yang padam setelah padam selama dua puluh tahun.
Tepuk horree dari Najib atas dibukanya kembali lipatan gugatan si John Doe terhadap ExxonMobil yang dituduh memperalat tentara dalam mengamankan operasionalnya.
Gugatan si John Doet yang anggota keluarganya ditangkap hingga disiksa di dalam atau di sekitar pabrik gas ExxonMobil.
Semuanya kisah tragis si John Doe itu tertuang dalam dokumen pengadilan yang diajukan terhadap ExxonMobil Corporation.
“Dia dibawa oleh tentara,” kata pengakuan salah satu dari sebelas penggugat dalam kasus tersebut seperti ditulis di artikel media milik Jepang yang terbit di Tokyo “asia.nikkei.com”
Salah satu penggugat, lanjut nikkei, bernama Jane Doe, anak perempuan, mengatakan suaminya hilang pada dua puluh tahun silam
“Tangan sang suami dipotong dan bola matanya diambil.”
Itulah salah satu isi gugatan Jane Doe yang diajukan di Pengadilan Distrik untuk wilayah Columbia
Penggugat menuduh ExxonMobil bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pelecehan seksual hingga kematian tak wajar yang dilakukan oleh anggota militer Jakarta.
Dalam laporan gugatan tertulis bahwa ExxonMobil menyewa anggota militer untuk menjaga operasional pabriknya sepanjang tahun sembilan puluhan.
Kala gugutan itu diajukan ExxonMobil menolak klaim penggugat yang membayar pengacara terkenal. Pengacaranya yang sembilan kali mematahkan argumentasi penggugat.
Argumen yang membuat proses hukum berjalan lambat.
Saat ini, pengacara John Doe berharap proses pengadilan terkait gugatan kepada ExxonMobil akan segera diproses setelah mengendap
Agnieszka Fryszman, penasihat dalam kasus ini mengatakan bahwa tim hukum penggugat telah mengajukan lebih dari tiga ratus halaman temuan faktual, empat ratus pemeran, dan lima laporan ahli.
Pada November tahun lalu, tim mengajukan mosi untuk menetapkan tanggal persidangan. Ia memproyeksi persidangan akan dilakukan pada musim semi ini.
“Kasus ini mengangkat isu penting. Kami yakin dengan bukti yang kami hadirkan dan berharap pengadilan untuk membuktikan semua klaim kami,” ucap Fryszman seperti dikutip Washington Post.
Dalam dokumen pengadilan, ExxonMobil mengatakan tak tahu soal pelanggaran human rights itu dan tak dapat dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran yang mungkin terjadi.
Sejarah gugatan ini bermula dari ditemukannya cadangan gas oleh Mobil Oil lima puluh tahun lalu di daerah konsesinya,di sekitar Lhoksukon
Munculnya nama Exxon dalam gugatan itu karena di dua puluh tiga tahun lalu perusahaan ini membeli Mobil Oil dan membentuk ExxonMobil Corporation Perusahaan itu yang mengelola lapangan Arun hingga dua puluh tahun lalu
“Kasus kami dimulai sebagai upaya penting untuk meminta pertanggungjawaban salah satu perusahaan terbesar dan paling kuat di dunia atas pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar,” kata pengacara penggugat Terry Collingsworth.
Ketika mobil oil datang ke Aceh, provinsi ini terlibat dalam perang saudara berdarah yang telah berkecamuk selama beberapa dekade. Tepatnya, ketika gerakan aceh merdeka berjuang untuk kemerdekaan dari Indonesia.
Kemudian, Aceh resmi dinyatakan sebagai daerah operasi militer khusus Di ujung pergantian abad lalu, kekerasan sering terjadi di Aceh dan menyebabkan ExxonMobil menyewa tentara untuk melindungi pabrik dan stafnya dari serangan.
Saat itulah penggugat menuduh bahwa tentara di bawah kontrak ExxonMobil menggerebek dan menyiksa penduduk desa yang mereka tuduh sebagai separatis. Hal ini membuat ExxonMobil dinilai harus bertanggung jawab atas pelanggaran ham yang terjadi.
Media dunia menyoroti gugatan warga Aceh terhadap ExxonMobil
Al Jazeera mewawancarai pengacara para penggugat, Terry Collingsworth, menjelang sidang yang diperkirakan bakal digelar di Washington DC .
Dalam wawancara itu, Collingsworth mengenang kembali alasannya mengajukan gugatan atas nama sebelas warga Aceh ke pengadilan distrik Columbia
“Saya mengajukan kasus atas kebrutalan pemakaian militer sewaan untuk melindungi fasilitas pencairan gas alam mereka di Aceh, Indonesia,” ujar Collingsworth.
Ia kemudian berkata, “Tentara Exxon membunuh dan menyiksa klien saya dan banyak orang lain. Semua mereka merupakan warga sipil yang tinggal di dekat fasilitas Exxon.”
Collingsworth mengajukan gugatan itu dengan nama “John Doe v ExxonMobil”. John Doe sendiri merupakan nama samaran salah satu korban
Doe mengaku ditangkap militer yang disewa oleh ExxonMobil Saat itu, Doe disiksa, bahkan sampai disetrum.
“Mereka mengikat saya dengan posisi seperti disalib dan menyetrum saya. Saya terus berdoa kepada Tuhan di dalam hati. Saya berpikir, ‘Saya akan mati hari ini,’” tutur Doe.
Ia kemudian bercerita bahwa, “Orang-orang yang ditangkap tentara Exxon sangat jarang yang akhirnya pulang.”
Cerita Doe ini merupakan salah satu kisah suram yang terangkum dalam gugatan. Selain kisah Doe, ada pula cerita korban-korban lain yang mengaku mengalami pelecehan seksual hingga pemerkosaan.
Sebagaimana dilansir Nikkei, gugatan itu juga menjabarkan sejumlah kasus penghilangan nyawa secara sengaja oleh militer yang disewa ExxonMobil di Aceh.
Namun, dalam sejumlah dokumen Terry Collingsworth mengatakan, gugatan ini untuk meminta pertanggungjawaban ExxonMobil atas penggunaan pasukan “yang disengaja dan brutal” dalam mengawasi wilayahnya,
Mereka mengetahui tindakan penyiksaan, hingga pembunuhan oleh aparat keamanannya.
“Klien kami menginginkan pertanggungjawaban publik dengan membawa pengadilan, dan mereka ingin ganti rugi berupa uang untuk cedera serius mereka,” kata Collingsworth
Collingsworth menambahkan, perjalanan dua puluh tahun tahun kasus itu menjadi contoh buruk bagaimana perusahaan multinasional raksasa mencoba untuk menghindari pertanggungjawaban.
Mereka menyewa firma hukum raksasa guna mengulur waktu dan membuat proses menjadi sangat mahal bagi para penggugat.
Ia mengatakan, akan menghadirkan sebelas pelapor dalam persidangan, namun tergantung dari pemberian visa dari Washington.
Dua puluh tahun lalu, organisasi advokasi International Labor Rights Fund mewakili sebelas warga korban yang mengalami kekerasan mengajukan gugatan perdata
Satu dari sebelas korban yang rencananya akan diberangkatkan ke washington untuk memberikan kesaksian dalam persidangan Dia akan menceritakan kekerasan yang dialami.
Bagaimana luka tembak masih membekas hingga saat ini. Ia bernama Zakir- bukan nama sebenarnya. Zakir mengungkapkan saat ia dan rekannya melakukan penjagaan mala
Saat konflik melanda wilayahnya jaga malam adalah kewajiban. Jaga malam dari warga yang tinggal di sekitar kawasan kilang
Kemudian, tiba-tiba mereka diserang oleh tentara yang berjaga di pipa line-jalan pipa mobil karena dituding sebagai pembantu gam.
Zakir mengatakan, giginya dipukul sampai rontok, lutut kaki bagian kanannya ditembak. Sementara rekannya meninggal setelah peluru menembus dadanya.
“Pada masa itu tidak ada pertanyaan, baru setelah pemukulan adanya pertanyaan, dan baru ketahuan salah pukul. Setelah itu dilakukan upaya damai, aparat pemukul datang ke rumah untuk meminta maaf,” kata Zakir
Zakir menambahkan, tentara yang berpatroli juga sering meminta barang milik warga secara paksa, “kalau tidak dikasih, akan dipukul”.
Zakir mengingat, terdapat puluhan warga yang menjadi korban kekerasan di antara mereka telah meninggal dunia.
Tindakan kekerasan juga dialami oleh Umar, bukan nama sebenarnya. Umar mengatakan dipukul oleh tentara ketika menolak untuk menjual pohon durian miliknya.
Umar yang kini berusia enam puluh empat tahun menceritakan, pemukulan itu terjadi saat ia mengendarai sepeda motor, lalu diberhentikan dan dibawa ke pos penjagaan untuk ditendang dan dipukul.
“Setelah kejadian pemukulan, besoknya satu pos itu datang ke tempat saya untuk membuat perdamaian, ada surat sebagai buktinya. Surat saya itu sudah sampai ke Amerika,” kata Umar.
Penggugat John Doe lainnya dipukul, dituduh anggota gam, dan punggungnya diukir huruf “gam” dengan menggunakan pisau.
Penggugat John Doe lainnya lagi disiksa selama tiga bulan dengan penutup mata terpasang. Alat kelamin korban juga disetrum listrik, dan rumahnya dibakar habis.
Lain lagi cerita penggugat Jane Doe, yang pada waktu itu sedang hamil, dipukul dan diserang secara seksual oleh seorang tentara yang ditugaskan untuk exxon mobil
Para korban diduga mengalami penyiksaan, perkosaan dan pembunuhan, yang diduga dilakukan oleh aparat
Persidangan perdata di AS akan membuka pintu keadilan bagi para korban.
Ada proses perjuangan untuk pemulihan hak korban, bagaimana kerugian bisa dipulihkan, diberikan kompensasi.
Persidangan itu juga menjadi “pintu masuk” bagi pemerintah Indonesia untuk menelusuri dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oknum tentara di wilayah ExxonMobil dan área lainnya di Aceh.
Apalagi kalau terbukti ada pelanggaran HAM oleh ExxonMobil dengan melibatkan aparat keamanan Indonesia, pemerintah dan terutama Komnas HAM harus mengkaji hingga menyelidiki kasus ini.
Gugatan ini sekarang beralih ditangani pengadilan federal AS.
Kesebelas orang Aceh itu mendakwa perusahaan minyak dan gas (
Exxon merupakan salah satu raksasa migas terbesar berpusat di Texas, Amerika Serikat, sehingga kasus ini dapat ditangani pengadilan federal.
Pada laporan berbeda, resume buletin Down to Earth merekam kisah seorang warga yang sedang bersepeda membawa sayur ke pasar, tiba-tiba ditembaki lengannya dan dilempari granat oleh tentara yang berjaga
Ada pula seorang pria yang disekap tiga bulan di tempat penyiksaan rahasia bernama “kamp rancong”. Pada akhirnya ia dibebaskan, namun sebelumnya ia sempat ditunjukkan sebuah lubang berisi potongan kepala-kepala manusia serta rumahnya dibakar.
Jika sidang ini resmi tergelar, maka untuk kali pertama sejak reformasi kasus pelanggaran ham berat masa lalu di Aceh berhasil dibawa ke hadapan pengadilan.
Tak ada data berapa korban yang jatuh selama perang saudara sepanjang dom, termasuk di masa transisi menuju perdamaian setelah bencana tsunami, namun jumlahnya dipercaya mencapai ribuan jiwa.
Jubir Exxon beralasan, “Tergugat tak punya kontrol, karena hukum Indonesialah yang mewajibkan mereka untuk memiliki personel keamanan militer di lokasi.”
Mereka juga mengklaim tak mengetahui adanya pelanggaran ham maupun kekerasan yang terjadi di sekitar situs ExxonMobil di Aceh.
Terry Collingsworth, salah satu kuasa hukum penggugat, sekaligus pengacara The International Labor Rights Fund, “membantah” argumen Exxon lewat artikelnya di Harvard Human Rights Journal .
Dengan adanya perkembangan baru ini, salah seorang penggugat bertekad maju terus.
“Kami ingin tahu vonisnya. Kami ingin semua ini jelas, dan kami tak takut. Kami sudah menghadapi dan mengalami penyiksaan. Kami adalah orang-orang yang dipukul dan disiksa itu,” tuturnya kepada Nikkei Asia.
Raksasa minyak Amerika Serikat, Exxon Mobil, sekarang ini tengah menghadapi gugatan di pengadilan Amerika atas keterlibatan mereka dalam pelanggaran ham yang dilakukan tentara Indonesia di Aceh yang kini tercabik-cabik
Gugatan terhadap Exxon Mobil atas keterlibatannya dalam teror yang dilakukan pihak militer Indonesia di Aceh dengan melakukan pembunuhan massal, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan dan “penghilangan” paksa tanpa hukum secara sewenang-wenang.
Gugatan itu menyatakan pula bahwa perusahaan telah membeli perlengkapan militer untuk pasukan keamanan yang bertugas di proyek mereka dan membayar tentara sewaan untuk memberikan nasehat, latihan, intelejen serta perlengkapan militer di wilayah proyek gas.
Gugatan itu mengatakan pula bahwa pasukan keamanan Indonesia telah menggunakan dana perusahaan untuk operasi militer yang dirancang untuk menghancurkan perlawanan di Aceh dan meningkatkan kemampuan “untuk melakukan taktik-taktik represif melawan kaum separatis di Aceh.”
Gugatan diajukan di pengadilan distrik Columbia, Amerika Serikat oleh organisasi yang berkantor di Washington, International Labor Rights Fund.
Tindakan tersebut dilakukan dengan mewakili sebelas penduduk desa Aceh yang namanya dirahasiakan yang mengalami penderitaan langsung akibat tindakan-tindakan pasukan keamanan