close
Nuga News

Framing Titik-titik

Saya seperti anak sekolahan. Tingkat paud. Seperti cucu saya. Disuruh mengeja kosakata-kosakata tertentu.

Kosakata yang trending khas era digital. Kosakata yang hilang dan membuat saya tergagap tiap kali mengejanya. Itu berulang-ulang dan terus berulang…

Muasalnya, kemarin pagi saya ngumpul di sebuah store dengan tiga teman sesama “old jurnalis.” Saya selalu memakai istilah ini. Bukan untuk jargon, Tapi sebuah realitas usia ….

Ketiga kami kini berada di posisi usia tujuh puluh pertengahan. Bahkan salah satunya berada diambang batas pertengahan akhir.

Tema ceritanya tentang kosakata framing. Saya gak tahu apa asal kata ini dari frame. Kalua kata frame saya sudah tahu. Sejak dulu. Sejak bisa memotret. Berkaitan dengan pengambilan gambar.

Frame ini memang punya banya arti. Bisa bingkai, kerangka, atau unit transmisi data.

Framing?

Saya menemukannya di google. Teknik manipulasi penyajian informasi untuk memengaruhi persepsi dan penilaian pemirsa.

Framing dapat dilakukan dengan menggunakan kata-kata, gambar, dan konteks.

Penjelasan lanjutnya saya berbagi dengan dua teman membahas tema ini. Tema yang sedang viral terkait dengan paket kepala babi untuk seorang wartawan yang kedua telinganya di potong.

Ketiga kami pantas tersentak dengan kasus ini. Kami satu biduk, dulunya, di media tempat si wartawan yang mendapat kiriman potongan kepala babi itu.

Paket kepala babi gak terlalu mengejutkan kami. Saya sendiri tahu paket model begini sebuah bentuk ancaman. Anda gak perlu saya komentari tentang ancam mengancam di lingkungan jurnalis.

Ancaman macam begini keciilll di banding era saya menjadi jurnalis lapangan ketika siup dan sit bisa membunuh periuk nasi semua jurnalis. Era cabut siup.

Era memang sudah bersalin. Kehidupan juga telah bermutasi. Media mainstream seperti surat kabar kini sudah upuh hapah. Banyak yang sudah innalilahi….

Kini media sosial telah menggantikan kejayaan media koran. Media cetak. Media yang yang memasuki fase akhir. Kuno dan akan menjadi artefak. Untuk dikenang.

Kembali ke framing. Sebuah istilah di era media sosial.

Menjelang zuhur itu ketiga “old jurnalis” yang nongkrong di sebuah store sepakat nonton wujud framing leat gadget.

Framing menonton film thriller. Kamera menyorot wajah tokoh utama yang tersenyum di tengah kobaran api. Tanpa penjelasan, tanpa konteks.

Spekulasi pun muncul: apakah dia pelaku? Apakah dia gila? Atau… tak peduli?

Begitulah yang terjadi saat pernyataan seorang juru bicara dipotong dan viral hanya karena satu kalimat: “udah dimasak aja.”

Anda tahu dari mana pernyataan itu muncul. Saya tahu itu sebagai respons atas insiden pengiriman kepala babi ke kantor sebuah media.

Itu sebuah aksi teror simbolik. Sasarannya ancaman kebebasan pers. Namun, alih-alih ditampilkan utuh, media hanya menyorot potongan paling “menggigit.”

Publik pun murka. Judul berita menjadi sensasional. Media sosial meledak dengan cercaan. Dalam sekejap, juru bicara itu bukan lagi komunikator publik, melainkan meme, musuh, bahan ejekan.

Ketiga kami amin..Itulah kekuatan framing seperti kamera yang anda lihat ketika sorotnya  memilih sisi gelap seseorang dalam cahaya redup.

Di era digital ini teknik media dalam membingkai realitas, menyusun informasi dengan sudut pandang tertentu agar audiens melihat dunia melalui jendela yang telah dipoles sudah menjadi biasa

Apakah ini sebuah kebohongan?

Saya berani menjawab: tidak.

Apakah itu kebenaran utuh?

Juga bukan.

Tatap layar henpon anda dengan akurasi penuh. Lihat bayangan fakta seperti cahaya putih.

Media bisa memasang filter biru, merah, atau hitam. Warna yang sampai ke mata kita bukanlah cahaya aslinya, melainkan hasil olahan.

Nah… disnilah framing bekerja: bukan memalsukan peristiwa, tetapi mengatur bagaimana peristiwa itu dicerna.

Ya,  mirip seorang  koki yang tahu bumbu apa yang bikin orang ketagihan.

Media memahami bahwa emosi—marah, takut, haru, kagum—adalah kunci atensi. Dalam dunia yang penuh distraksi.

Disinilah kunci bertekuk lutunya  berita “biasa.” Berita yang  akan tenggelam seperti batu di sungai deras.

Saya diberitahu seorang teman bahwa framing bisa dijadikan sebagai strategi bertahan. Semacam double cover dalam olahraga tinju. Double cover untuk melindungi sasaran sansak lawan.

Strategi bertahan di media framing ini adalah, untuk menjual cerita, mempertahankan klik sekaligua  menyajikan dunia dalam versi yang bisa “dijual.”

Tujuannya demi kepentingan ideologis, kadang sekadar strategi bisnis. Namun hasilnya sama: realitas yang dikurasi, bukan direkam.

Framing dapat dapat membuat publik marah kepada orang yang salah. Seperti kaca cembung di taman sirkus: yang tampak besar, belum tentu penting. Yang terlihat kecil, bisa jadi sangat mendesak.

Saya tahu di digital ini anda memerlukan kacamata kritis untuk menterjemah setiap konten. Dibutuhkan lebih dari sekadar mata.

Munculkan terus tanya : “apa yang tidak dikatakan sebuah berita.

Lantas kritisi kenapa harus si narasumber yang dipilih. Baca judul: apakah sesuai dengan isi. Bukankah antara judul dan isi sering hang…

Yang gak kalah penting, cari siapa pemilik medianya dan apa kepentingannya

Anda harus tahu berita bukan jendela bening. Ia adalah cermin dua arah, dimana semua orang bisa menatap ke luar.

Memang  media juga mengarahkan cara kita berpikir.

Kembali ke kepala babi dengan dua telinga terpotong.

Pernyataan spoker yang viral itu saya tahu bukan karya seni modern yang bebas tafsir sesuka hati. Itu adalah respons terhadap teror serius yang seharusnya dihadapi bersama.

Yach…. Karena bungkusnya framing, publik justru lebih sibuk menyerangnya daripada mencari siapa dalang pengiriman kepala babi tersebut.

Saya setuju pendapat seorang teman yang menulis dengan bisa. “ Di era banjir informasi, kita butuh lebih dari sekadar kecepatan baca. Kita perlu kedalaman cerna.”

Lanjutnya, media boleh membingkai, tapi publik harus sadar: di balik bingkai, ada realitas yang lebih luas. Jangan sampai kita ikut menghakimi hanya karena terjebak dalam bingkai yang sempit.

Maaf… tulisan saya tentang framing ini hanya sebuah penjelasan tentang pemahaman seorang awam. Saya hanya hanya seorang pendatang baru yang menangkap makna bahasa yang bisa dipahami

Tulisan ini hanya sekadar kaidah yang terjadi terhadap dunia media berdasarkan pada penggunaan kebahasaan yang sesuai, diksi, serta penggunaan maknanya

Saya tahu dalam lingkup masyarakat, framing jarang sekali disadari. Hal itu disebabkan karena masyarakat yang peminatnya kurang dalam memahami penggunaan makna bahasa.

Tetapi tak sedikit pula masyarakat yang paham akan istilah framing yang dipakai untuk menyerang.

Pada dasarnya penggunaan framing dalam berita memiliki fungsi yang baik untuk media

Selanjutnya terserah pendapat dan tanggapan anda.. dan …anda….

Tags : slide