Pabrik ban di meulaboh.. refinery sawit…jalan toll …investasi mubadala…dan seterusnya.. dst….
Halu….
Saya hang..hing..heng…dengan narasi yang mengisi pernyataan itu. Pernyataan yang menyeret saya ke dalam melodrama.
Melodrama karena sudah lama menyimpan skeptis terhadap kepemimpinannya. Skeptis karena ia sendiri gak punya agenda ketika menyiapkan diri menjadi sesuatu.
Menjadi pemimpin negeri diancuk masalah. Negeri seperti di sebuah donya antah berantah… entahlah..
Suasana bathin yang begini memang dibutuhkan. Pada saat-saat tertentu. Melodrama seperti sinetron yang silih berganti kita saksikan dalam lakon-lakon pemimpin hari-hari ini.
Lakon yang itu-itu juga. Yang tanpa malu memperdagangkan kata-kata secara simplistis yang sama sekali tak meyakinkan.
Saya sudah tahu melodrama akan dengan cepat jadi komedi atau bahkan farce. Para pemimpin yang bukan lagi pejuang dan tampak menggelikan, atau semakin tak meyakinkan.
Terutama dalam keadaan ketika elan perubahan telah bercampur dengan rasa kecewa dan hilangnya keyakinan yang meluas.
Tapi melodrama selalu tersimpan dalam sebuah masyarakat. Hidup terkadang terlalu penuh warna abu-abu hingga orang menginginkan gambar yang tegas dan sederhana.
Melodrama, di pentas kepemimpinan memang mengasyikkan, dengan atau tanpa berbuat apa-apa.
Kini semakin bisa dibenarkan antara tulus dan tak tulus, antara ekspresi yang berlebihan dan tidak, tampaknya tak ada garis yang jelas
Dan lahirlah hiperbol: sindrom rasa cemas kepada makna, karena makna tak dikuasai lagi.
Dengan kalimat yang berlebihan, seseorang mencoba meyakinkan diri dan pendengarnya bahwa bahasa harus diberi tenaga ekstra, agar sedikit kembali berartiTop of Form
Saya tahu betul ekonomi tidak pernah baik. Tak ada lagi booming ekonomi dengan tingkat pertumbuhan yang lebih dari satu digit.
Saya tahu angka kemiskinan, peringkat pendidikan dan birokrasi yang dengan produktif mengeluarkan regulasi yang mengharap agar peraturan sering dilanggar
Dengan kata lain, korupsi bukanlah tanda bahwa pemerintahana kuat dan serakah. Korupsi adalah sebuah privatisasi—tapi yang selingkuh.
Saya tahu juga kekuasaan sebagai amanat publik telah diperdagangkan sebagai milik pribadi, dan akibatnya ia hanya merepotkan, tapi tanpa kewibawaan.
Semua kita kini benar-benar sudah menjadi kapitalis dengan manusia sebagai sebagai aktornya.
Di negeri ini, negara adalah sebuah paradoks: ia represif dan sekaligus rentan, cerewet dan sekaligus ceroboh. Keadilan bisa dibeli dengan harga tertentu,
Kekuasaan dimonopoli untuk bisa jadi komoditas seperti jasa tukang pijat, ketika seorang bisa disewa untuk dibayar jadi bodyguard.
Berangsur-angsur, korupsi, yang melintasi sebuah garis batas, berakhir jadi cerita hantu
Hingga disini, kita bisa menafsirkan peran apa yang diberikan oleh kekuasaan untuk mereka melakukan restorasi sistem pemerintahan.
Maaf…
Untuk apa pabrik ban, refeniry sawit, jalan toll dan mubadala untuk negeri yang diancuk kemiskinan. Negeri yang diancuk pembacakan uang rakyat,
Ya saya tahu yang namanya investasi. Tahun lalu saya bolak balik.Mengkondisikan. Menawarkan. Sabang, refinery, pelabuhan juga kek. Tapi semuanya uap angin. Menjadi gelembung.
Sama dengan gelembung uap angin pulau banyak. Uap angin energi yang memorandum of understanding hanya jadi kertas lusuh di tingkat draft setelah studi banding dan proposalnya di paraf.
Gak tanggung-tanggung. Si investornya murban energi. Label negaranya abu dhabi. Nilainya lima ratus juta dolar. Rupiahnya per hari ini delapan trilun rupiah.
Investasi sebesar gajah bengkak untuk ukuran resort. Resort klas pangeran.
Saya gak ingin kasih penjelasan lanjutannya. Tinggal cerita “bo’ong.”
Tanyakan saja dengan si nova, mantan gubernur, yang jas dan dasinya sudah di koper tapi ketinggalan pesawat rombongan si mulyono.
Tanyakan juga dengan si luhut yang membawa angin surga ke aceh dengan mengatakan, inilah pointer dari pergerakan investasi negeri di naca itu.
Semuanya kini menjadi “no pont of return.” Tidak ada titik kembali.
Murban energi masih mending di banding dari saya. Yang masih di tingkat zoom meeting dan tukar menukar proposal. Belum masuh studi banding. Tapi semuanya tinggal cerita.
Anda sudah tahu kemana arah tulisan ini. Tulisan melodrama. Tulisan tentang potret kemiskinan yang ingin disandingkan dengan pabrik ban mobil di meulaboh, refinery sawit, toll dan mubadala.
Saya tahu di aceh tentang angka, faktor penyebab, dan upaya yang dilakukan untuk mengurangi kemiskinan itu. Sudah mendengar dari pejabat perencanaan dan Pembangunan.
Setengah isi penjelasan itu saya gak percaya. Seperempatnya pepesan kosong. Seperempat sisanya seperti karangan fiktif.
Faktor penyebab yang didalehkansebagai ikutan pasca konflik, Ketergantungan terhadap sumber daya alam, Kurangnya kualitas pendidikan dan infrastruktur,
Bahkan secara tematik gak ada upaya sinergitas untuk menguranginya Tak ada upaya untuk memberi porsi dana pembangunan untuk publik melebihi angka sekian dari total anggaran.
Padahal pendidikan merupakan kebutuhan paling asasi bagi semua orang. Kemiskinan masih terus menjadi topik perbincangan.
Dimensi lain yang perlu diperhatikan yaitu tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.
Bagi saya ditetapkan provinsi sebagai daerah termiskin di banyak versi merupakan sebuah ironi di tengah euforia anggaran berlimpah.
Nilai anggaran provinsi setinggi ini sebenarnya memudahkan penangangan penuntasan kemiskinan. Ini kontradikitif.
Dengan kondisi kontradiktif seperti itu gak perlu mencari kata kambing hitam untuk mencari tahu sumbunya. Gak percaya? Tanyakan saja ke si “ba la ap” tokoh setengah gila itu.
Jawabannya pasti akan kedengaran seperti orang mendendangkan syair pe-em-toh: “salah urus.”
Penyakit salah urus ini gak memerlukan diagnosa ekonom spesialis. Si gam pa’e saja sudah tahu resep apa untuk mengobatinya.
Beda dengan jawaban akademisi. Yang berputar-putar untuk mencari literasi sekaligus berkutat dengan pembenaran.
Makanya bagi saya yang dibutuhkan tidak sekadar menggugat metodologi. “Tidak ada negara miskin, yang ada negara salah urus”
Kondisi di negeri ini adalah kesalahan urus sehingga angka kemiskinan tidak menurun.
Saya gak setuju pendapat bahwa masalah kemiskinan di aceh tanggung jawab bersama. Maka untuk menuntaskannya juga harus bersama-sama.
Pendapat itu sudah ketinggalan spoor. Setelah isi kuah belangongnya dihembat piring kotornya ditinggalkan untuk di cucui. Menyederhanakan masalah. Itu namanya kurang ajar.
“Pak……..” Saya gak ingin mengisi lanjutan titik makian itu,
Bodohan saja, pemimpin lah yang menjadi penentu dalam mengeksekusi program-program pembangunan yang memiliki dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Melimpahnya duit di anggaran tidak menjamin turunnya angka kemiskinan Fokus lupakan metodologi apapun. untuk mencari akar persoalan
Saya percaya pabrik ban meulaboh, refinery sawit, jalan toll dan mubadala tentu saja tidak cukup untuk merestorasi kemiskinan.
Harus di bangun sebuah aliansi besar. Lupakan ideologi tumbuhkan spirit modernisasi.
Kerjakan perubahan-perubahan struktural di pedesaan, Sebab salah satu sarang kemiskinan itu ada di pedesaan.
Kemampuan mereka menurunkan angka kemiskinan, memberikan stabilitas pangan, serta berbagai fasilitas kesejahteraan untuk rakyat pedesaan .
Tentu, tidak ada pula orang yang harus bertanggungjawab untuk itu. Sama seperti tidak ada orang yang harus bertanggungjawab atas ribuan orang yang kematiannya terpaksa di era dom
Kini sebuah generasi harus tumbuh dalam puing-puing kekerasan itu.
Mereka akan dengan berat dan luka-luka harus membangun sebuah visi baru tentang aceh yang Merdeka
Sebuah negeri yang masih berada di satu atap dengan yang namanya Nusantara. Nusantara yang semoga tidak meneruskan kekerasan dan menghalalkan kebencian.
Dunia jadi ramah. Bahkan yang menderita ingin menjaga perasaan orang yang tak menderita, sebagaimana juga sebaliknya.
Ada yang agak ajaib di sini: ternyata beberapa saat lamanya di aceh, ekonomi bisa berhenti.
Ekonomi: sebuah proses yang bertolak bukan saja dari kelangkaan, tapi juga dari pertukaran, daur “mengambil-menerima”. Pasar membuat prosedurnya.
Di sana pusat hadir dalam bentuk pamrih. Kepentingan diri dianggap patut. Hubungan berlangsung seperti kontrak. Tapi mungkinkah itu segala-galanya?
Kontrak mengandung asumsi bahwa yang-lain akan menerima yang-seimbang. Tapi hal itu tak akan pernah terjadi. tukar.
Pernah ada cita-cita untuk membangun pilihan lain, agar manusia bisa kembali menikmati hidup bukan sebagai komoditas belaka.
Tapi kini pasar menang, dan cita-cita untuk menggantikan ruang yang “soliter” dengan yang “solider” disisihkan bagaikan barang yang apak dan lapuk. Memang ia tampak lapuk. Ia cita-cita yang lama.
Berabad-abad manusia telah mendengar petuah kebajikan ini: “jika tangan kananmu memberi, jangan sampai tangan kirimu mengetahuinya”.
Bagi saya sejarah tidak pernah hitam dan putih. Sekalipun demikian, saya tak ingin kembali pada cerita panjang negeri ini yang kerlap kerlip di tengah kelamnya harapan.
Tentu, tidak ada orang yang harus memikul tanggungjawab untuk itu. Sama seperti tidak ada orang yang harus bertanggungjawab atas derita yang pernah ada dan terus terulang