close
Nuga Forum

Kabur Referendum

Ia mengejek dengan kata “kuno” ketika saya men”share” esai seorang teman “old journalism” tentang tagar “kabur aja” lewat  whatsapp di siang kemarin.

Dengan nada sinis ia lanjut dengan satu kata lainnya: “artefak.”

Saya tahu apa itu artefak. Tapi saya tetap mengejar alasannya mengirim kosakata itu. Tapi ia menampik.

Tentang artefak itu sendiri saya tahu sebagai sejarah peninggalan manusia. Dan artefak yang ia maksud dengan tagar “kabur aja” itu saya juga tahu terkait dengan ejekan kuno itu.

“Tema lain ajalah. Gak menarik,” jawabnya pendek ketika pesannya membuat saya gelapan melanjutkan tulisan ini.

Saya tahu ia sendiri adalah “artefak.”  Artefak dari kata kabur di lima puluh tahun silam. Artefak ketika kehidupan di negeri ini di sapu badai. Ia di gulung oleh badai itu.

Jalan keluarnya ia “kabur.”

Usianya kala kabur itu dua puluhan awal. Usia remaja yang sudah mulai mikir untuk hari depan. Harapan kedepan.

Ia beringsut dari satu negeri ke negeri lain. Mencari kehidupan yang lebih baik, Dan tanpa mikir panjang usai mendapat pijakan ia mencampakkan kata Indonesia dalam kamus hidupnya.

Kini di hari tuanya ia sudah mapan sebagai warga dunia. Punya isteri, anak dan cucu yang jelas peta hidupnya.

Kini ia telah menikam jejak kaburnya. Untuk itu ia tak ingin membangkitkan batang terendam di negeri yang memang sedang kacau.

Tingkat pengangguran meningkat. Lapangan kerja menyempit. Nilai tukar fluktuatif tanpa kepastian. Daya beli rendah, banyak usaha gulung tikar.

Ini bisa disimpulkan dakam satu kata: suram.

Maka bagi saya tidak ada yang salah dengan tagar yang masiv itu. Tagar yang mengajak untuk kabur. Keinginan yang sangat wajar. Kondisi negara ini memang sedang ajaib-ajaibnya.

Di media sosial diaspora ini disambut dengan karpet merah yang langsung terbentang

Ada yang menggoda dengan janji gaji besar, jaminan kesejahteraan, hingga pemerintahan bersih dari korupsi.

Surga dunia versi mereka. Ada juga yang sibuk membanding-bandingkan, menyorot betapa hijaunya rumput tetangga

Memang, kabur aja dulu itu bukan cuma soal beli tiket dan pindah domisili. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan.

Administrasi ribet, bahasa asing, adaptasi budaya, pengetahuan mengenai politik dan kebijakan negara yang dituju, dan lain-lain.

Memang kabur aja dulu itu tidak sesedarhana itu. Toh  itu tantangan. Semuanya akan berkelindan.

Orang butuh makan. Butuh hidup tenang. Butuh bayar cicilan, bayar pajak, bayar pendidikan anak. Semuanya berhak hidup layak.

Makanya tak ada yang terhadap tagar itu. Sah-sah saja ketika di tanah merdekanya kehidupan tak terjamin. Ketika banyak yang bunuh diri karena terlilit utang dan tak bisa makan

Ketika banyak yang menjadi gelandangan dan terpaksa menengadahkan tangan, dan ternyata mereka  masih sibuk buang-buang uang.

Mereka lupa berbenah. Lupa melakukan perbaikan-perbaikan. Bahkan perbaika yang kecil sekalipun. Padahal dari yang kecil punya dampak besar.

Jualan kecil-kecilan untuk menopang hidup, berbagi dan membantu yang lain yang membutuhkan, membuka lapangan kerja, hingga turut menyumbang pendapatan negeri.

Tagar kabur aja yang viral di media sosial bukan sekadar tren sesaat. Saya berani memberinya label sebuah referendum sosial

Referendum dari, ekspresi kegelisahan generasi muda terhadap masa depan mereka yang suram di tanah air.
Selama sepuluh tahun terakhir  janji lapangan kerja tidak terealisasi.

Kini, janji menciptakan lapangan pekerjaan baru hanya menjadi orasi di podium. Janji  ndas mu..

Tak ada solusi selain kabur aja.

Bagi saya fenomena ini merupakan  refleksi mengapa begitu banyak anak muda lebih percaya pada peluang di negeri asing dibandingkan dengan negeri sendiri

Ini bukan  sebagai bentuk kepasrahan, apalagi, seperti kata para elite, bentuk ketidakcintaan terhadap tanah air. Ini adalah strategi bertahan dalam sistem yang telah gagal menjamin reproduksi kehidupan.

Namun, pindah luar negeri tidak boleh berujung pada apatisme politik.

Mereka yang menjadi diaspora masih dapat melawan dengan membangun solidaritas internasional, mendukung gerakan di tanah air, serta melakukan remitansi dan pemberdayaan akses yang dimiliki

Sementara bagi mereka yang bertahan baik karena memilih untuk itu atau karena memang tidak ada opsi lain, satu-satunya jalan untuk memperbaiki keadaan adalah dengan terus melawan.

Tinggal bukan berarti menyerah pada keadaan, tetapi memastikan bahwa ruang perjuangan tetap ada, bahwa perlawanan terhadap dominasi kelas kapitalis tetap terorganisir.

Hak atas tanah, kerja, dan kebebasan, harus terus diupayakan. Kita tidak boleh membiarkan para koruptor, oligark, dan aparatus represif hidup damai.

Kita tidak boleh membiarkan mereka terus mengonsolidasikan kekuasaan, menjarah sumber daya tanpa hambatan, dan memperdalam eksploitasi.

Baik pergi maupun bertahan, keduanya tidak boleh ditempatkan sekadar pilihan individu, melainkan bagian dari dialektika perjuangan kelas yang lebih luas.

Sebab kapitalisme tidak mengenal batas negara, dan sebagaimana sejarah telah membuktikan: penindasan hanya bisa dihancurkan dengan perlawanan yang terorganisir.

Tags : slide