Saya gak tahu apakah ia masih “memeluk” bir bintang bak guling sembari memandang poster bugil madonna dari ranjang bambu di sebuah ruang sederhana rumahnya menjelang tidur?
Tak pernah menanyakan itu lagi. Gak perlu perlu ada jawaban Sudah menjadi artefak di akar serabut otak kiri saya. Biarlah jawaban itu abadi di sana.
Di sebuah senin pagi, pekan lalu, ketika keluar dari gerbang klaster perumahaan tetirah saya yang sekarang, kerinduan saya terhadap si pemeluk bir bintang meletup.
Saya menyapanya. Tak perlu menunggu lama. Lewat dua dering sebuah “say’s hello” itu datang
Saya sudah tahu, pasti ia akan langsung mengulik bulatan yang menyertai dering di henponnya untuk sebuah ngalor ngidul.
Ngalor ngidul yang sejak dulu gak pernah runut. Dalam tema yang berantakan.
Isiannya macam-macam. Sesuka hati. Yang gak pernah alpa ia selalu mengatakan,”bila mendengar suara ketak ketuk dari nang.neng..neong.. kereta api ia langsung teringat bekasi.”
Saya tahu apa maksud dari kata-kata dalam kalimat berantakan itu. Rangkaian kata-kata yang terhubung di sebuah perjumpaan saya dan dia di sebuah malam.
Perjumpaan tumpah ruahnya rindu di sebuah sudut gerai starbuck. Di mall summarecon bekasi. Jumpa untuk mengayak banyak kisah hingga di ditendang jadwal penutupan pusat perbelanjaan itu.
Usainya, kerinduan itu terus sambung menyambung di sapa dan forward whatsapp. Berselang-selang, Di selang terakhir ia mem-forward foto selfie dirinya dengan teman saya dan temannya bernama: sjk.
Sjk adalah sebuah nama initial seseorang, Saya gak ingin melengkapi nama itu. Biarlah menjadi milik saya dan dia.
Foto itu gak disertai teks. Plasss … begitu saja dengan latar barisan kursi di sebuah ruangan dan kesibukan orang yang menjadi pengisi frame=nya.
Sjk sendiri duduk di kursi roda dengan kacamata hitam, berbaju batik beserta tongkat di genggaman tangan kirinya. Masih gagah. Topi golf senada menutup kepalanya. Sangat dandy.
Sedangkan si teman berdiri di kirinya dengan tampilan casual. Khasnya. Sederhana….
Saya ngah dengan foto itu. Lantas mengulik dengan satu kata: posisinya?
Jawabannya langsung jreng…
Eits……gak lah…saya tak ingin menuliskan jawabannya di sini. Bisa panjang. Inikan lahan privacy.
Saya sendiri ketemuan terakhir dengan sjk di sebuah sore berawan mendung dua setahun lalu.
Di rumah nyi..nya. Beda nyi dengan forward foto sang teman….
Kondisinya?
Jawabannya ada di akun facebook anaknya yang kini sedang menjdi sesuatu… Jawaban itu sudah menjadi milik pertemanan. Silakan baca kalau ketemu akunnya..
Saya sendiri tahu perjalanan panjang hidup seorang sjk. Kehidupan dalam tensi rendah dan tinggi. Untuk mengisahkannya saya terikat janji dengan diri sendiri.
Namun begitu, setengah dari perjalanan hidup sjk ditemani oleh diabetes. Masih ada penyakit lainnya yang datang dan pergi.
Ya.. sudah…Maaf…. keluar tema…
Kembali ke pemeluk bir bintang…
Mohon jangan ghibahkan tentang nyi dan nyi itu. Lupakan saja…
Si pemeluk bir bintang itu telah menjadi teman sepanjang hayat. Saya tahu kebiasaannya sejak dulu-dulu sekali. Sejak empat dekade silam.
Kala perjumpaan pertama, ….. dan sudah menjadi masa lalu. Gak perlu ada pembahasan. Hahaha….
Masa lalu yang penuh dengan hari huda.. hudu…. Hari-hari ketika ia tak punya agenda pribadi… Hari-hari ketika roadmap hidupnya ngaco…
Hari dan malam-malam sepanjang pekan … saya bisa memastikan ia gak peduli dengan suara hujan.
Walaupun ia masih senang mendengar jejaknya lewat jendela yang jatuh bergemericik di atas atap rumahnya.
Selain itu saya juga bisa memastikan bila malam jatuh di hari hari itu ia tak kan pernah melupakan ritual: mematikan lampu, berbaring dalam gelap lantas pulas dalam pelukan…. Hihihihi….
Itu ketika ia masih berkesendirian. Dipeluk angin malam…
Kini saya tahu ia tidak lagi dalam kesendirian…..
Kini rumahnya tak begitu sunyi. Ia gak akan pernah lagi kesepian kala duduk di sofa sembari menyalakan televisi.
Di rumah ia sering bikin kejutan. Tiba-tiba mematikan lampu, berjalan ke jendela, menggesernya.
Ia sering melihat bulan purnama dalam gelap. Kalau tak ada bulan ia kembali menyalakan lampu, menuju kursinya dan bertelekan di meja.
Saya tahu, petman, anjing blasteran miliknya itu masih belum pisah menjadi kawan candanya.
Tentang petman ini ia pernah mengirim gambar “close up” bersama dirinya ke saya lewat whatsapp ketika kami ber”say hello” setelah lama gak menyapa.
Teks gambar itu bikin saya tertawa sembari menahan pipis. Saking gelinya….
Selain petman teman paling mengasikkan yang lain saya sudah hafal. Olah tubuh. Kungfu. Ia memiliki gerak yang nyaris sempurna kala memainkan banyak jurus kuntaw
Untung saja gerakan kungfu miliknya itu gak pernah viral. Kalau era itu seperti digitilasasi hari ini, saya hakkulyakin jackie chan bakal mengadopsi dalam serial sinema miliknya.
Gerak kungfu ini telah menemaninya sejak beberapa dekade. Tentang ini ia pernah mengatakan semacam olah tubuh itu bagian dari ritual. Semacam “ibadah.” Ibadah olah tubuh.
Olah tubuh yang selalu saya kick sebagai ibadahnya seorang suhu di starata makrifat. Ia sudah berada di tataran sufi untuk aliran silatnya.
Kini dunianya semakin ringan. Sebenarnya, juga dari dulu dia memang memandang dunia ini ringan. Seringan ketika ia terlelap dan tak pernah bermimpi serta mengimpikan apa-apa.
Seringan ketika kami menikmati pergantian hari lelap ayam di meja panjang ruang rapat redaksi sebuah koran lokal. Ataupun melewati perjalanan malam di sebuah pusat jajanan bernama: rex,,
Malam di rex menjadi sumbu yang tumbuh di batang otaknya untuk membantah stigma negeri milik indatu. Stigma tentang waliyatul hisbab, jilbab. pecut lecutan hingga ganja dan agitasi eleganitas.
Pusat jajanan itu bukan hanya dijejali atribut kulinernya yang beraroma “keumamah. Tapi juga ada lirikan perempuan malam yang lewat sebuah kedipan bisa membawa hang..hing..heng ke alam syahwatail.
Ia selalu mengatakan kepada saya gak percaya tentang potret buram dari stigmanisasi negeri di ujong donya itu.
“Negeri itu tanah air kedua saya jika dulu ia jadi merdeka,” katanya dengan suara ngakak. Saya hanya membalas dengan kalimat pendek: gak ada salah seseorang punya dwi kewarganegaraan.
Negeri keduanya yang hanya bisa dikalahkan salatiga, merbabu, sumbing dan merapi.
Di pusat jajanan itu kami menghabiskan malam hingga bubaran oleh kumandang azan subuh dari masjid yang hidup damai berdampingan dengan sebuah gereja
Bubaran usai meregang penat dari rutinitas yang saya jalani dan ia jalani.
Rutinitas ketika ia menyapa saya tentang bedah buku di gondang dia, seremoni award dan terakhir temu ala tharekat penulis di kemang.
Semua itu berlalu…
Kini di usia merangkak naik ia sering sentimentil. Bercerita tentang malam yang tak ada hujan. Langit hitam pekat. Jalan aspal di muka rumah sunyi. Udara terasa bersih dan dingin.
Bahkan disapa terakhir ia memberitahu saya tentang rumahnya di bintaro yang akan dijadikannya sebagai kelas penulisan. Ia mengajak saya untuk datang kongkow-kongkow.
Tentang rumah bintaro ini ia pernah menceritakan secara runut dengan saya. Sejak dari recehannya hingga pentaannya. Ceritanya panjang. Intinya diperoleh dari uang halal and tayibah.
Beda dengan rumah ciawi-nya. Rumah di jalan menyimpang dari arah puncak ini seperti ia tutup. Saya sendiri terkejut ketika ia mengabari saya sedang di ciawi.
“Kampung” berhawa sejuk itu menjadi rumah kedamaiannya. Ia pernah mengirim foto lewat whatsapp dengan saya ketika sedang latihan silat di halamannya.
Ia pernah mengatakan, gak mau kerja di mana-mana lagi. Saya ingin pensiun, lalu menulis. Ia memang terus menulis. Punya blog. Menulis esai, nota maupun cerpen.
Blog yang dia share ke saya untuk mengelupas rindu. Rindu dengan gerai rambutnya yang keriting, panjang, dan beruban dengan kacamata yang sering berganti frame.
Saya mengutip dari tulisan panjang seorang sahabatnya bagaimana ia menghabis hari dan malam.
“Sekarang ini saya cuma pengrajin tulisan saja. Semua tulisan saya kerjakan dalam waktu singkat, sesuai permintaan, kayak gitu. Ya, pengrajin tulisan.”
Usai mengurai kata itu saya tahu ia pasti terkekeh.
Beda dengan masa balita setengah pancongnya dulu sebagai anak pemalu dan agak minder..
Ia tak membantah masa-masa itu. Bahkan mengakuinya. “tak berlangsung lama,” ujar disebuah kesempatan.
Saya tahu. Tak ingin mengejar jawaban pendek dan alay itu. Tahu secara tematis orang-orang perlahan melupakan peristiwa itu, seperti tak pernah terjadi. Kehidupan berlangsung bagai sediakala.
Sedikit tentang lelaki yang sepanjang tulisan ini
Ia terlahir dengan nama tri sabdono. Di lingkungan pertemanan ia di sapa bre redana.
Bre juga yang menjadi “by line” kalaua ia menulis. Bre redana bukan nama sebenarnya.
Di sebuah kesempatan ia secara berkelakar mengatakan nama itu hanya untuk berdamai dengan sejarah.
Kini sabdono, seperti saya memanggilnya mas don, telah memiliki semuanya. Setelah complang sebagai lajang. Saya tak pernah diberitahu kapan ia mengakhiri masa lajang itu.
Katanya, ibunya pernah khawatir ia akan sendirian selamanya.
Tawanya selalu berderai kalau ibunya sengit bertanya tentang kesendiriannya itu.
Kalau soal ini saya idem dito dengan mas don. Walau pun secara tahun saya ia kalahkan. Saya sendiri mengakhiri masa lajang di usia empat puluh tiga.
Sedangkan mas don?
Tanyakan saja. Saya gak akan pernah bertanya. Gak suka mengaduk-aduk kesenangan hidup melajang. Hidup melajang yang sangat indah. Tanpa beban. Bebas dsb…dsb…
Melajang adalah sebuah keindahan. Keindahan ketika seseorang melepaskan diri dari semua ikatan yang berlaku, termasuk dengan perempuan.
Saya ingat seorang penulis pernah memberi resep tentang apa itu melajang.”sebuah ideologi kebebasan.
Kebebasan itu ala mas don.
Kebebasan di sebuah rumah mungil berjendela kaca patri warna-warni di kawasan bintaro yang terjaga sejak malam. Ketika lampu menyala di perpustakaan.
Dan ada suara nyanyian sayup-sayup