close
Nuga Life

Cobek Sachet

Isteri saya sekarang sudah berubah. Ia tidak lagi menjadikan dapurnya sebagai rumah resto  tradisional. Sudah bergeser ke resto siap saji.

Telah meninggalkan petuah  yang sejak ibu dan nenek saya lambat merayap. Sejak persiapan bahan sampai mengulek hingga tersaji di meja makan.

Perubahaan itu terjadi ketika kami memutuskan untuk hidup bersama anak dan cucu. Sebuah pilihan yang sangat sulit tapi harus ada kata iya dan tidak….

Apa pun keputusannya mempunyai kisi-kisi baik dan gak baik. Bukan buruk…..

Kembali ke isteri saya yang berubah itu.

Di hari-hari bulan ramadhan ini, seusai sahur, ia sibuk dengan gadget. Bermain dengan youtube. Permainannya bisa cepat dan bisa lama. Tergantung temuannya di google.

Usai semuanya ia minta pendapat saya. Tukar pendapat soal selera itu ribet. Bisa cekcok. Bahkan bisa saling merajuk.

Saya selalu memalingkan pendapat dengan jurus melingkar. Gak langsung membantah. Berusaha meluruskan apa arti sesungguhnya selera.

Eith,,, dasar perempuan. Ia merasa dicederai oleh jawaban saya. Soalnya terletak pada benturan perasaan dan logika. Saya berusaha melogiskan perasaannya.

“Jangan!!” kata teman jalan pagi kemarin memberi nasihat. “Gak akan pernah lurus. Kan mereka dijadikan dari tulang rusuk.”

Saya mafhum. Anda pun mafhum. Tulang rusuk itu kan bengkok.. hihihi…..

Muasalnya semua rajuk merajuk ini  datang dari eksprimen menu yang ia ingin implementasikan hasil riset youtube-nya.

Semula saya menyebut kebiasaan ini sudah mencederai kearifan lokal. Kearigfan dari menu-menu yang ia cederai.

Kasus ini mungkin bukan hanya saja yang mengalami. Anda dan anda…. Mungkin punya masalah yang idem dito dengan saya.

Kalua gak percaya tanya isteri atau ibu Anda, apakah waktu menyiapkan masakan buat keluarga sekarang lebih mudah dan cepat?

Tanya  juga di mana peralatan cobek dan anaknya, atau penggilingan untuk membuat bumbu sayuran disimpan?

Apakah kuda-kuda parut kelapa masih dipakai?

Jawabannya gak perlu cari di google. Jangan di forward ke saya atau siapun.. Cukup iyakan atau kibaskan tangan anda sebagai jawabannya.

Anda akan ditertawakan dengan ngakak: ketinggalan spoor….

Masak memasak hari-hari ini lebih cepat dan praktis. Lada, ketumbar, gula merah, cabe, bawang putih atau bawang merah tidak perlu digiling atau diulek ditumbuk lagi.

Jika mau masak asan keung, keumamah, atau pun tumisan, dan bermacam gulai dengan pelbagai rasa, semua sudah tersedia dalam kemasan sachet – seperti halnya kopi susu plus coklat dan gula.

Lada atau ketumbar halus juga disediakan di dalam sachet.

Soal harga beli tergantung di mana membelinya: pasar, supermarket, atau warung sayur mayur tetangga.

Semua bumbu itu sudah disediakan industri kecil rumah tangga sampai industri skala besar yang namanya sudah menjadi hafalan para istri maupun ibu anda.

Bisa indofood, miwon atau pun. Perusahaan ini sudah lama masuk celah itu.

Dulu warung-warung kecil, seingat saya,  secara mandiri suka mengemas lada atau ketumbar dalam kemasan plastik dengan harga eceran terjangkau

Disrupsi di dapur, selain memakan korban yang tak ingin berubah, juga melahirkan orang kreatif.”

Sekarang lada dan ketumbar dalam kemasan plastik itu lenyap digusur lada dan ketumbar yang sudah halus dalam kemasan sachet.

Tak perlu mencampur lada untuk bikin sop. Sachet berisi bumbu lada tinggal dirobek dan masukkan ke sayuran. Lada halus ini juga bisa dipakai menyantap telur ayam setengah matang untuk sarapan.

Disrupsi di dapur, selain memakan korban yang tak ingin berubah, juga melahirkan orang kreatif.

Bayangkan bawang merah atau putih juga sudah tersedia dalam bentuk yang sudah dirajang, bahkan penjual makanan keliling lebih suka memakai bawang goreng kemasan yang dibeli di pasar.

Para istri maupun mak-mak dan tukang masak  tak perlu lagi mengupas dan mengiris bawang merah dengan air mata bercucuran seperti air mancur.

Mesin pemotong bawangnya pasti buatan orang kampung.

Juga mesin perancah kelapa untuk menghasilkan santan. Memarut kelapa dengan risiko tangan kita robek-robek sudah lama ditinggalkan.

Pergi ke pasar saja atau warung tetangga, tinggal pilih: mau santan hasil perasan kelapa, atau kelapa parut saja.

Enaknya kita bisa beli sesuka kita. Tidak harus beli kelapa dengan batoknya lagi. Tak terasa kelapa parut orang pasar ini mendesak keberadan santan kelapa dalam kemasan dengan pengawet.

Lantas dimna posisi kunyit, jinten, atau jahe berada?

Semua tersedia dalam bentuk yang sudah digiling. Kita tidak perlu lagi menumbuk kunyit yang bisa membuat daster coreng moreng.

Istri saya pintar menyiasati untuk mendapatkan bumbu ini. Ia raup semua penjual. Ia komparasi rasa bumbu itu untuk kemudian menetapkan satu pilihan terbaik dari sisi harga dan rasa

Dari pengalamannya  bumbu gulai, atau rendang, hasil racikan antara lapak yang satu dengan yang lain pasti berbeda.

Rasa bumbu gulai dari lapak pasar sinpasa dan pasar asri pasti beda. Bahkan lapak mbak len dengan lapak bang sato rasanya gak sama

Sang isteri tak pernah goyah mengayak kata bersinyinyir  menyebut bumbu gulai untuk daging atau ikan tenggiri atau kakap merah.

Bila lupa memesan, otomatis akan membuat racikan gulai daging seperti kebiasaan masakan warung minang.

Padahal di tas kresek kita sudah mengantongi kepala ikan kakap merah plus kelapa parut.

Alaamaak… gulai kepala kakap diberi bumbu gulai daging kambing atau sapi rasanya nanti bisa rame di lidah orang rumah.

Dengan segala kemudahan itu, kita taruh di mana cobek dan muntunya?

Sialnya, kepraktisan itu juga menular ke banyak orang. Datang saja ke penjual  sate yang  lebih senang menghaluskan kacang untuk membuat bumbu dengan blender.

Rasanya lain dengan bumbu sate yang digiling dengan batu kemudian dimasak di dalam kuali tanah memakai kayu bakar. Bumbu kacang sedikit kasar, dan berminyak.

Cara tradisional membuat bumbu kacang dengan batu giling itu memang lebih lama, dan membuat tangan bisa kram atau semutan.

Selain itu, tukang sate tidak lagi memberikan sambal tumbuk dengan irisan bawang merah.

Membungkusnya pun dengan kertas coklat, bukan lagi dengan daun pisang uak. Lebih higenis memang, tapi menghilangkan kekhasan dan uap wangi daun pisang.

Apalagi tusukannya sudah diganti dengan bambu hasil produksi mesin – bukan lagi lidi kelapa hasil kerajinan tangan.

Selama saya mendampigi isteri ke pasar para pedagangnyanya  makin kreatif.

Agar bisa mendapat nilai tambah besar, mereka mengemas pelbagai bahan sayur asem, sop, cap cay, atau lodeh dalam bungkusan plastik – bukan dalam sachet.

Sayur kemasan dijual di banyak warung kampung di periferi kini memakai harga eceran tertinggi. Anda ingin nangka atau rebung semuanya. Nangka tidak lagi dijual glondongan.

Dengan mengemas sayuran dalam plastik, angka reject sayuran bisa dikurangi.

Soalnya sejumlah penjual yang nakal, suka menyertakan juga sayuran seperti daun sawi, pakcoy, atau daun bawang ke dalam kemasan. Beban reject akhirnya dipindahkan ke pundak pembeli.

Namun kemasan bumbu dalam sachet itu, seperti halnya kopi susu coklat atau jahe bahkan shampo dan sabun cair, justru menambah jumlah dan variasi limbah yang sulit diurai di alam bebas.

Sejumlah pekerja kreatif memecahkan problem itu dengan merangkai sachet itu untuk membuat tas.

Namun karena produksi bumbu atau minuman dalam sachet lebih besar, maka usaha mendaurulang kemasan itu kalah cepat.

Tidak terasa memang masakan dari dapur kita akan terasa seperti versi indofood, sasa, atau miwon. Rendang atau gulai rasa kobe atau finna.

Ada penyeragaman rasa, hilang kebhinekaan rasa seperti masakan isteri saya dulu Kalau gak percaya coba rasakan.

Bagi saya rasanya seperti kapitalis. Kapitalis menu yang menyeruak ke tulang sumsum bernama dapur…

Tags : slide