Saya sering menularkan pertanyaan ini ke teman ngumpul atau teman ngobrol. Baik ngobrol nampak muka maupun ngobrol kelihatan punggung.. hahaha…
Gak ada yang aneh dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang sering diejek gak jelas juntrungannya. Bisa di dianggap sebuah keisengan atau jahil. Bisa juga serius. Malah bisa tengah-tengahnya.
Makanya, kalau ada teman yang menanggapinya iseng dan jahil saya timpal aja: limpahkam aja jawabannya dengan si komeng.
Dari namanya saja anda pasti udah haha…hihi… Apalagi ngelihat tampangnya pasti gaduhnya huhuhu…
Untuk pertanyaan itu saya sering mengingatkan ke teman ngumpul agar gak usah dipikirkan serius. Anggap aja kelakar.
Ini dia pertanyaannya.
Apakah kalian sudah merdeka? Atau apakah anda sudah menjadi orang indonesia?
Pertanyaan itu sejak lama sudah menjadi kegundahannya saya. Kegundahan tentang kapan merdeka itu selesai
Jika kita lihat “merdeka” adalah sebuah laku, pertanyaan itu tak akan ada. Sebab laku itu—yang berlangsung dalam sejarah sebagai proses—tak punya titik yang tetap di depan untuk dituju.
Titik itu, untuk jeda, harus tiap kali diputuskan kembali.
Itu sebabnya, “merdeka” adalah proses. Dalam bahasa kata sifat kadang-kadang bisa juga berfungsi menjadi kata kerja Daun adalah hijau dan itu juga berarti daun menghijau.
Maka “ merdeka” dapat berarti “isinya juga merdeka”
Tapi juga bisa berarti kerja merdeka itu masih berlangsung.
Artinya jadi sangat berarti. Setidaknya saya tak bisa membayangkan diri saya hidup tanpa pertautan dengan ”merdeka” itu.
Saya yakin, saya tak sendirian. Bersama yang lain-lain, saya tak akan bisa merumuskan dengan fasih apa arti ”merdeka” bagi saya.
Tapi saya melihat teman-teman saya yang tanpa merumuskan apa pun berdiri menyanyikan kata merdeka seraya siap untuk melakukan tindakan besar bagi orang banyak di negerinya
Misalnya melawan mereka yang menindas.
Tak akan mengherankan bila kata merdeka dan indonesia” bagi mereka tak berarti apa-apa.
Geografi mereka sederhana: sebuah tempat adalah bagian dari wilayah musuh atau wilayah diri. Tak ada yang lain.
Makanya, sering kedua pertanyaan itu ditanggapi galau plus gelagapan oleh teman ngumpul maupun teman ngobrol.
Biasanya mereka kagok mencari kata-kata untuk disusun agar menjadi kalimat yang tertata, tertib sekaligus terstruktur…..
Kalau sudah begini saya selalu nyeletuk dengan kata ahh… sembari mengibaskan tangan sebagai isyarat yang anda tahu maksudnya.
Saya gak mempersoalkan jawabannya. Sering saya ingatkan ke teman-teman gak usah dijawab juga tak apa-apa
Kemarin pertanyaan itu saya ajukan ke teman sesama “old jurnalis.” Teman lama yang dulu pernah satu biduk di sebuah media. Pernah sama-sama mencari identitas paham kebangsaan.
Puluhan kali ketemu dalam ngalor ngdul gak pernah ketemu jawaban yang tuntas. Selalu ngelantur Yang terjawab, biasanya, hanya potongan-potongan bak kain perca. Ditempel-tempel. Gak utuh
Kesimpulannya gak ada simpul sebagai jawabannya. Akhirnya kami sepakat untuk membenamkan jawabannya ke bathin masing-masing,
Di sini, saya ingin berhati-hati dengan hiperbol. Kata “bintang-bintang” bisa terasa terlampau melambung, tak bersentuhan dengan bumi.
Sang teman seutuhnya tak pernah memakai perasaan. Ia selalu mempergunakan logika ketika menjawab apapun masalah yang membelit. Versinya seperti rocky gerung lah, tapi ndak pas amat.
Tipikal manusianya blak-blakan kalau ngomong. Gak mau bersembunyi sebagai al munafikun. Kalau benar menurut akal sehatnya ia crot kan aja. Ia tak mau memakai kata-kata yang dibungkus.
Ia memberangus kata eufimisme di kamus hidupnya.
Kadang-kadang saya berpikir, apa gerangan yang ada dalam pikiranmya.
Kadang-kadang saya ingin membayangkan, ia menyebut nama ”indonesia” dan merdeka di bibirnya, atau ”indonesia merdeka”
Ia sering mengatakan: Ibunya tak pernah berbicara tentang ”indonesia”. Sembari menambahkan, saya tak bisa membayangkan diri saya hidup dalam pertautan dengan ”indonesia”.
Saya sering menggodanya apa yang mendorongnya berkataa demikian?
Mungkin karena tanah air adalah ingatan dan harapan yang menyangkut tubuh: harum padi yang terkenang, rasa rempah yang membekas, deras arus yang tak bisa dilupakan
Atau suara ayahnya yang memuji, lagu ibu yang sejuk, batuk kakek, dan cerita-cerita kanak yang mengendap dalam kesadaran.
Juga harapan: rumah kelak akan dibangun, anak-anak akan beres bersekolah, karier akan dicapai. Juga harapan akan melakukan sesuatu yang berarti.
Makanya bagi saya tak akan mengherankan bila ”indonesia” baginya tak berarti apa-apa.
Geografi mereka sederhana: sebuah tempat adalah bagian dari wilayah musuh atau wilayah diri. Tak ada yang lain.
Bagin saya, jawabanbya bisa lebih faktual. Silakan tengok ke kiri dan kanan atau depan dan belakang.
Anda kenali keragaman natural dan kultural itu: teman berbadan pendek, sedang, tinggi; warga berwarna kulit sawo matang, kuning, hitam; yang mereka lahir dari puak berbeda
Masing- masing menghidupi keragaman tradisi religiositas; dan seterusnya. Itulah fakta ciri kodrati negeri ini. Ciri kodrati inilah yang sedang mau dihancurkan
Hanya dunia ide yang bisa tampak monolit, sedangkan realitas dari sananya selalu plural. Tak ada hidup bersama yang tidak plural, tak ada sejarah yang tidak ditandai kemajemukan.
Pluralitas adalah ciri kodrati tata realitas, entah itu realitas natural ataupun kultural. Karena itu, penolakan terhadap pluralitas sesungguhnya juga penyangkalan terhadap realitas.
Inilah jalan mereguk kembali “awal-mula” agar memahami panggilannya pada “zaman ini”.
Dan zaman terus bergerak memeluk pluralitas..
Namun, gerakan “kembali ke fundamen” juga mudah bermuara ke penolakan ekstrem terhadap pluralitas.
Biasanya jenis ini terjalin erat dengan proyek-proyek “peternakan politik”, yaitu perkawinan nafsu telanjang untuk berkuasa.
Fakta bahwa di bawah langit ini, dahulu ataupun sekarang, tidak pernah ada yang murni tidaklah penting bagi “otak-otak sederhana”.
Hidup beradab merosot menjadi keganasan rimba.
Simaklah betapa warga negara dapat melorot menjadi seperti hewan di hutan.
Dalam tradisi panjang pemikiran politik, kemungkinan seperti itu menjadi bagian seni tata negara. Karena negara adalah proyek bentukan manusia, tata negara juga kelanjutan dari tata manusia.
Tata negara modern bersandar pada kekhasan tata manusia, yaitu kapasitas bernalar, hidup dengan hukum, kerja sama bagi kebaikan bersama, dan semacamnya.
Ringkasnya, negara modern mengandaikan manusia-warganya punya kemungkinan luhur naik menjadi “beradab”.
Teknologi keberadaban itu adalah konstitusi, hukum, ciri obyektif pengetahuan, data, persuasi.
Namun, manusia-warga yang sama juga dapat merosot menjadi “biadab” seperti di hutan.
Lupa diri itu hal biasa, tetapi tidak perlu berlama-lama.