Kenangan itu tak kan mungkin terulang dan terlalu indah untuk dilupakan. Saya selalu merindukannya. Merindukan hari-hari terakhir di bulan ramadhan di saat itu
Hari-hari yang selalu saya selipkan dalam bait doa:”kalau engkau maha pemberi izinkan lah hari-hari itu menjelma ketika kami berumah di arash sana.”
Saya tahu allah mendengar lamat bait doa itu, Tapi saya dan siapapun yang bernama makhluk gak pernah tahu apakah perkenan Nya akan terwujud.”
Seperti lantunan doa hari ini. Malam ini. Malam seribu bulan. Malam lailatul qadar. Malam yang doa insan menembus ufuk langit.
Entahlah….
Saya selalu ingin menulis dan ingin terus menulis agar semua kenangan itu jangan lapuk dan menjadi serbuk di memori.
Saya ingin kenangan itu terus hidup dan terselip hingga saya bisa terus mengenangnya. Menulisnya jika buncah datang merundung.
Buncah yang membasuh hati saya yang kemudian hanyut menjadi bulir bak gerimis setelah kelopak mata saya banjir oleh kesenduan.
Sampai di paragraph ini saya menangis. Terisak dalam sengguk yang membuat hidung saya ikut merasakan kepedihan.
Kenangan itu di ujung ramadhan. Di sebuah komunitas kecil. Di sebuah gang buntu. Di hari-hari hitungan mundur dua puluhan tahun. Atau tiga puluh tahun lalu.
Saya selalu menulis gang buntu itu. Temanya silih berganti. Gak bosan-bosannya mengulang nama gang di sebuah pojok kampung perbatasan itu.
Gang di pojok kampung dengan lima rumah itu. Gang yang saya tak tahu kenapa ia dinamai jalan. Sebab, setahu saya jalan model begini lazim di label dengan “gang.”
Anda tahu dengan gang buntu, kan? Ya…. Gang yang mentok ujungnya. Tak ada persambungannya. Sebab kalua ada persambungannya bukan gang buntu namanya.
Lebarnya jalan itu, kalau Anda masih berkenan menyebutnya jalan…bukan gang,,,,cuma tiga meteran dengan panjang delapan puluh meter kalau di ukur dari jalan utama, tengku di blang.
Sejak beli tanah, bikin rumah dan jadi penghuninya, seingat saya, gang itu sudah dinamai dengan jalan. Jalan antara.” Jalan antara yang sempit dan buntu.
Anda jangan berprasangka sepele dengan jalan itu ketika saya menuliskannya.
Jalan itu secara news layak untuk ditulis. Karena ia merupakan jalan penting. Jalan penting di gampong saya. Jalan di perbatasan dua gampong.
Perbatasan gampong yang pernah mengundang konflik antar dua gampong. Konflik dalam bentuk dakwa dakwi.
Muasal dakwa-dakwi-nya patok batas. Patok batas yang bisa berbuntut prang. Prang kata-kata. Prang bisa menjadi massal kalau masalahnya di bawa ke ranah emosi. Masalahnya eksistensi wilayah.
Eksistensi wilayah di gampong saya konflik patok batas jangan disepelekan. Dan patok batas ini menyangkut kepemilikan jalan itu. Jalan perbatasan. Jalan antara.
Anda nggak perlu saya kasih wejangan tentang silang sengkarut watas. Entah itu watas tanah pribadi, watas erte, watas gampong, watas kecamatan, kabupaten, provinsi hingga negara. Ruwetlah.
Seruwet perang gaza. Menyangkut tanah yang diperjanjikan, Menyangkut kepemilikan wilayah. Yang dulu juga pernah dialami negara ini tentang kepemilikan timur leste,
Rebut irian barat.
Yang masalah klaim mengaklaim ini bisa panjang sekali kalua dihela sebuah tulisan.
Syukurlah ruwetnya watas jalan antara ini hanya melibatkan dua gampong. Di timur ada gampong lamdingin. Baratnya gampong lampulo. Sering disapa dengan lampulo baru.
Lampulo dan lamdingin di utara kota banda aceh. Yang bisa didatangi dari arah penayong lewat gampong mulia.
Atau pun dari simpang jambo tape melewati jalan syiah kuala terus lurus atau berbelok ke jalan tengku di blang. Yang ada kantor polsek kuta alam-nya.
Sengkarut watas ini tak bisa selesai dengan deuk pakat. Buntu. Sebuntu gang itu sendiri. Naik lagi ketingkat musyawarah kecamatan. Juga buntu, Baru dilevel kota ia clear.
Keputusannya: jalan antara itu milik gampong lam dingin. Milik gampong untuk diproyekkan.
Proyek aspal dan bikin parit. Ya … proyek gampong dari dana desa. Oo.. alah. Atau dana otsus. Entahlah….
Di jalan antara itu, ketika di awal sengketa watas, terdapat lima bangunan rumah. Dengan lima keluarga penghuni.
Sisi timurnya dua rumah. Statusnya gampong lam dingin. Di sisi barat dua rumah masuk lampulo.
Sedang satu rumah lainnya di ujung jalan dalam bentuk tusuk sate menggenapi jumlah lima rumah dihakikahkan ke gampong lamding sebagai kesepakatan.
Karena gang buntu… eheheh… jalan buntu…. kelima pemilik sekaligus keluarga penghuninya menjalin keharmonisan bertetangga yang tidak sebuntu jalannya. Tetangga melebih kebersamaan sebuahi trah.
Tetangga yang tak peduli beda gampong. Yang katepe dan kartu keluarganya juga ikut beda. Beda pula masjid hingga beda meunasah dan kauri maulid.
Yang terkadang beda jumlah rakaat tarawih dan doa qunutnya.
Tetanggaan jalan antara itu sangat heterogen dari akar muasal secara puak
Heterogen horizontal dan tak pernah jadi vertikal. Horisontalnya bak awan indah di pucuk langit. Damai….
Heterogenitas itu sendiri berpilin dari garis muasal. Ada gayo, jawa, aceh benaran, jamee, leplap dan nagan jeram. Banyaknya garis muasal ini melebihi jumlah rumah yang ada.
Ketetanggaan di jalan antara itu sudah menjebol batas saudara dan bertaut dalam satu kata: keluarga. Keluarga tanpa memerlukan akad atau pun ikrar.
Ketetanggaan inilah yang menjadi warna di sebuah pagi di penanggalan hari ke dua puluh enam bulan desember tahun dua ribu empat. Dua puluh tahun silam.
Dua puluh tahun akhir cerita kebersamaan tanpa ada meninggalkan luka. Keindahan yang hanya meninggalkan duka.
Keindahan pagi yang tak pernah mengelupas di pucuk akar serabut kami yang tersisa.
Keindahan yang menjadi kenangannya milik kamarullah, mahdi abdullah, maimun, herwani dan buk zul. Juga milik si tari, si liza, si opi, si opan, si ayi dan si fikri.
Keindahan ya masa allah sebagai anugerah…..subhanallah…. Anugerah hari-hari yang mereka jalani hingga sekarang dan kedepan.
Keindahan yang menjadi tetak memori kami. Memori kami ketika melangkah masuk usia manula. Memori anak-anak kami yang kini berkutat membangun kehidupan sebagai keluarga.
Juga keindahan yang di bawa ke langit surga sana oleh buk rosa, buk odah, bundi dan aisyah ke langit surga ketika janji kematian menjemput
Keindahan yang menerbangkan arwah sila tazkia, latifah dan dila kepangkuan illahi dengan janji keindahan surgawi.
Keindahan yang masih kami kenang dari langkah ketak ketik para balita itu nyerocos sembari menenteng piring dengan wajah berbalur comeng.
Keindahan ketika hari-hari terakhir para mak-mak keluarga kami bergosip ria tentang resep kue. Dari resep nastar hingga telban dan bolu gulung.
Keindahan kala masing-masing rumah saling tukar makanan. Mulai dari asam keung hingga touco cumi dan mansi-mansi. Dari kolak dingin hingga lumpia maupun dadar gulung.
Hari-hari akhir ramadhan juga diisi olah saling menebar senyum dan mengumbar tanya tentang jumlah sisa puasa menjelang uroe raya.
Saya merindukan hari-hari itu. Rindunya mencabik berkas memori. Membuat ia melayang. Terbang bersama awan hujan yang bernama sentimentil.
Ya…. awan sentimentil untuk malam-malam lailatul qadar ketika saya menjauh dari gang buntu itu….