close
Nuganomics

“Bohay” Atsiri

Ia masih seperti yang dulu. Masih penuh vitalitas diusianya sudah manula sepuh. Manula sepuh seperti saya yang gaek penuh.

Usia yang seharusnya sudah mendapat nama baru. Pak tua atau tua..tua.. dan tua..atau kakek… dan semacam lainnya

Tapi, baik dia dan saya sudah sepakat membuang kata “tua” yang konotasi pengangguran dan upah apah teronggok di kursi malas.

Saya tahu di usia begini, ia masih mampu menjalani hidup di pasang naik dan pasang surutnya sebagai petani dan muge. Masih mampu mengolah raga maupun emosi.

Gak mudah menjalani kehidupan  sebagai petani sekaligus muge yang butuh keterampilan, ketelitian plus perhitungan.

Padahal gonjang ganjing emosi seorang petani  dan muge sering memotong angka usia sekali gus didera pilinan penyakit menahun.

“Kecuali penyakit taun,,,” katanya terbahak di suatu hari perjumpaan saya dengannya dua tahun lalu.

Pilihan hidup itu sering ia katakan sebagai petani dan muge itu merupakan keputusan di angka sebelas. Keputusan seusai ia menamatkan sekolah dengan iazah menengah atas,

Keputusan menjadi petani. Tanaman nilam dan pala sebagai wareh ayahnya. Yang kemudian menjalar ke muge minyak atsiri untuk kedua tanaman itu.

Ia menekuni kerjaan itu dari hulu hingga ke hilir. Konsisten.

Saya salut abis dengan profesi yang ia tekuni sepanjang hayatnya itu. Sering memujinya dengan mengatakan profesi “entrepreuner bogok.”

Saya tahu gak banyak orang yang konsis menjalaninya. Kerjaannya dari hulu hingga ke hilir itu sesuatu yang gak mudah. Dari menanam, menyuling sampai menjual.

Sebagai petani dan muge itu ia pernah melambung sebagai orang kaya gampong. Kaya gaya orang udik. Yang ada bohaynya.

Bohay ketika di undang oleh buyer hingga eropa dan amerika ketika dua komoditi itu melambung harganya oleh banyak faktor

Dilain waktu ia juga pernah ambruk. Yang ia katakana kepada saya dengan santai: hanya tinggal celana dalam.

Tapi bangkit lagi. Khas jalan hidup petani yang berada di antara jepitan “booming” dan “resesi.”

“Booming” sering diartikan naik atau melesat yan dalam dagang kata itu sering jadi dengung kesuksesan. Sedang resesi adalah lesu. Sering juga istilah resesi ini dikaitkan dengan “malaise”

Kemarin sore, menjelang buka puasa, ia menyapa saya sembari memuntahkan kerinduan  lewat video call. Saya dan dia haha..hihi..sekaligus hoho…dalam durasi yang amat panjang.

Panjang sekali hingga kumandang  azan maghrib pertanda buka puasa.

Tiga perempat dari hudu hada kami yang hampir dua jam itu isinya tentang tanam dan dagang nilam maupun pala sepanjang jalan hidupnya.

Nama sang teman: homber. Bukan nama hakikahnya. Saya gak tahu kenapa nama hakikahnya bisa tersingkir. Mohamad rizki. Yang saya lantas teringat: apalah sebuah nama.

Nama homber itu sangat khas kalau di acak dalam bahasa lep lap negeri ketelatan. Hom berarti gak tahu. Kata hom ini sering diucapkan secara sepele dengan tatapan nanar.

Sedang ber merupakan akronim alay: ember. Kalau anda ingin menerawang arti nama si homber ini silakan aja…

Dengan homber ini saya berteman sepanjang hari. Dulunya. Dari bangun tidur, sekolahan hingga malam di pengajian mundasah. Hari-hari pertemanan itu terus berulang. Sepanjang tahun usia remaja.

Saya dan homber pernah kerja bareng sebagai pengeruk tanah gunung untuk menebus karcis bioskop klas pe-ha-er. Bioskop klas jelata di sebuah kota udik yang bangunannya panggungnya beratap langit,

Pernah juga jadi agen pala basah yang sukatan harganya di hitung dari jumlah are atau bambu. Agen pala untuk bisa makan enak soto warung si kunyit, gado-gado gaseh umat mak tuan gaboyo ..

Atau pun menikmati banderk “taluak maimbau” di jula malam …

Yang paling berkesan dari pertemanan itu adalah ketika saya dan homber menjadi petani nilam ketika harga melangit dan para pedagang mencampur dengan minyak keurewing.

Harga nilam yang selangit menjadikan kami sebagai toke bangku…

Di era petani inilah kami harus pisah. Saya ke perantauan dan homber, seperti yang ceritakan secara berulang setiap kami jumpa, menekuni hidup bertani dari lahan yang terus meluas.

Lahan yang beranak pinak hingga merambah ke sagoe negeri. Hingga ia mampu membangun pabrik kecil penyulingan ketel uap dari drum bekas. Penyulingan yang pembakarannya dari kayu api.

Kemarin di sapa huda hudu itu ia masih bicara tentang harga nilam yang sempat terpuruk. Di sapa itu ia mengatakan terpuruk  hingga ke titik terendah.

“Hari ini  telah berangsur membaik terutama di tingkat petani. Sementara itu, harga pala basah yang lesu selama hampir dua bulan juga  mulai naik lagi,” katanya

Kenaikan harga pala basah ini menyusul terjadinya kenaikan harga minyak atsirinya. “Saya sendiri saat ini berani menampung minyak nilam dari petani lainnya,” ujar homber

Usai memberitahu tentang posisi harga nilam dan pala terkini kami membuka tombo peta tata niaga minyak atsiri yang tak pernah bergeser dari pola lama

“Masih  pemain lama,” ungkap homber

Saya tahu pemain lama itu. Sudah tiga kali bersalin zona. Kakek, ayah dan anak. Pemain lama itu bernama karimun dan aroma. Dua nama eksportir yang kini masih eksis.

Dua eksportir plus “pemilik” tata niaga yang berkantor pusat  di medan. Mengendalikan  mengendalikan pasar rempah-rempah hingga ke nusantara lebih dari enam dekade.

Dua pemain itu menekuni bisnis minyak atsiri, plus bahan  pala dan fuly, dua pemain ini telah menanamkan kaki pengaruhnya ke pusaran tata niaga dan mengukuh keberadaannya

Mereka berhasil “membelenggu” pedagang kecil dan menengah  di akar rumput melalui ikatan emosional serta mengobarkan semangat dagang dengan  memelihara hubungan “saudara” dengan petani.

Tidak hanya ke bawah mereka mencengkeram, ke  importir yang sekaligus konsumen dan “fabricien” di hilirnya. Nun di paris atau los angeles sana  dan tak pernah mencederai suplai dan mutu.

Memang pernah terjadi, di awal tahun enam puluhan goncangan pasar ketika minyak nilam diburu kemana-mana karena importir di los angeles menambah stok dari lima tahun menjadi sepuluh tahun

Penanmabahn stok ini akibat krisis “teluk babi.” Krisi ideologi kapitalis dan sosialis antara kuba castro dan paman sam.

Pasar waktu itu bergejolak. Nilam membubung  harganya hingga mencapai tingkat paling tinggi dalam sejarah.

Era itu ribuan orang bermutasi jadi petani nilam. Mulai dari krueng sabe, teunom, meukek hingga pucok kluet. Malah melebar hingga ke dairi dan nias jadi petani musiman.

Kala itu, karena harganya membubung muncul ratusan penyulingan skala kecil yang ketelnya terbuat dari drum dan pipa-pipa karatan. Lantas, kualitasnya jatuh.

Apalagi banyak pedagang yang nakal mencampur minyak hasil penyulingan dengan minyak “keurwing” atau alkohol.

Saya tahu campur mencampur ini di ajari si homber.

“Hanya dua tahun cara perdagangan ini bertahan,” kata homber yang dikenal sebagai pemain lapangan.

Ambruknya pasar dan terjungkalnya harga serta ditinggalkannya ladang-ladang baru oleh petani musiman mengembalikan lagi nestapa tata niaga atsiri ke dasar jurang paling dalam.

Sejak itu tak pernah terjadi “booming” harga yang panjang.

Memang ada gejolak kenaikan harga tahun terakhir ujung abad lalu  Akibat selisih kurs. “Tapi tidak menyebabkan permintaan meninggi,” seperti catatan homber

Saya pernah diberitahu aroma dan karimun dikenal bermain aman dalam mengelola tata niaga di pasar produsen terbawah dengan menyitir harga berdasarkan lonjakan kurs dan kebutuhan pasar global.

“Mereka pemain berpengalaman yang mengamankan posisinya sebagai eksportir dengan stok dan kualitas yang terjaga,” kata dulah isin dulunya.

Ia sendiri adalah pemain  distrata besar  pasar lokal, ketika dua dekade silam dan  menghadiri sebuah panel atsiri di sinagpura.

Dulah isin juga yang mengungkapkan  bagaimana jalinan yang ruwet  dan misterius antara karimun dan aroma. Kedua eksportir ini memanipulasi “persaingan” dalam bungkus kepentingan bersama.

Ia mengatakan, “Mereka bersaudara. Mereka saling terikat perkawinan yang diantara anak menantu memegang kendali di masing-masing perusahaan.”

Dulah mafhum itu karena namanya di”catut” sebagai “pemilik” sebuah destilling paling besar dan modern yang ada di negeri ini lewat manipulasi “share” di bawah tangan.

Sebenarnya dua eksportir bukan perusahaan yang “bersaing” secara tajam. Mereka terikat secara koneksitas dalam keluarga.

Pemiliknya adik kakak yang kongsinya “pecah” karena perbedaan pendapat dalam pengendalian usaha dan pembagian keuntungan.

Keduanya juga, dalam prakteknya, berbagi informasi mengenai situasi pasar dan memiliki importir serta produsen yang sama di pasar global.

Kalau pun ada perbedaan jaringan agen dilapangan, secara hakekatnya  mereka sepakat mengatur harga  dan pengendalian pembelian untuk  kebutuhan stok.

“Mereka tahu kapan harus menahan dan melepaskan stok berdasarkan permintaan ,” kata seorang pengamat minyak atsiri yang Mukmanan yang kami temui di Medan.

Memang, dulunya, di dekade enam puluhan pernah menyempal pemain baru, Atjeh konsi dan rempah sari di daerah produsen.

Sebagai pemain pendatanga atjeh kongsi, yang ketika itu berkantor pusat di medan,  benar-benar pemain baru yang mendapat order dari importir singapura yang hanya membeli pala biji dan fuly.

Sedangkan rempah sari, sebenarnya tidak jua pemain baru. Mereka sudah menjadi pengumpul sekaligus penyuling fuly di pasaman dan bengkulu dan berkedudukan di padang.

Keberadaan mereka dalam tata niaga sempat terhempas  Keok setelah dikerubuti kenyinyiran  permainan dari karimun  yang mendongkrak harga lewat agen-agen kecilnya di tingkat pengumpul.

Di akhir tujuhpuluhan keduanya keok dan menutup kantor perwakilan . Dan sejak itu tak pernah kedengaran lagi keberadaannya sebagai eksportir.

Pernah pula masuk gecis nusantara, sebuah anak perusahaan pupuk iskandarmuda, khusus untuk pembelian minyak nilam, yang dipaksa oleh “kongkow”  kartel permodalan bustanil

Mmereka mendikte  dengan memotong rantai perdagangan nilam dengan mengobarkan semangat orientasi tata niaga pendekatan politik “beringin,” namun  kandas  akibat mengeringnya  “cashflow” akibat  penumpukan produksi karena tak satu pun pembeli di luar negeri mau bekerjasama.

Tata niaga atsiri memang spesifik. Sejarahnya juga mengacu pada pola “monopoli” seperti yang pernah dipraktekkan oleh netherlands indische landook aceh maatschaapij

Yang kemudian disalin sebagai pengganti nama “pogostemon cablin benth”untuk menyebut tanaman jenis rumput-rumputan yang kemudiannya pupuler  di barat selatan dengan nilam, pakai huruf kecil.

Di masa kejayaan eksistensi  “maatschaapaij” itu tata niaga atsiri nyaris tak punya saingan.

Sebagai pemain Tunggal mereka mengatur pola tataniaga “win-win solution”  dengan petani produsen tanpa praktek  perdagangan kompeni yang mengacu pada  monopoli pemerasan.

Pola perdagangan yang dipakai  menjaga keseimbangan  permintaan importirr dengan pengaturan luas tanaman yang diperkenankan kepada petani melalui “ulee balang”

Ulee balang yang memiliki kekuasaan sebagai “zelfbestur” yang mendapatkan hak “toelagh.” Hak menerima “belasting” dari areal tanaman.

Pola ini didasari kepada  kemampuan penyerapan pasar selama setahun dengan masa stok lima tahun..

Biasanya importir   juga adalah “fabriecan” yang menyuling kembali minyak pala dan nilam dengan pecahan atau turunan produk berjumlah puluhan disesuaikan dengan kebutuhan produsen obat, minuman dan makanan.

Pola tata niaga ini tidak pernah berubah hingga sekarang. Prakteknya persis sama dengan “maatschaapaij”  tapi dipoles dengan tataniaga yang bebas.

“Bebas ya bebas. Tapi siapa yang mampu memotong rantai perdagangan tradisonil yang disertai hubungan emosional antara eksportir dan importir.

Ini masalah kepercayaan,” ujar sardin yang pernah bekerja dengan aroma kepada saya ketika kami ketemuan di jalan sutomo ujung kantor pusat aroma.

Mereka sudah punya laboratorium mini

Dari sini sayatahu bahwa kebutuhan rempah-rempah pala fuly serta minyak atsiri pala, nilam, cengkeh dan serai wangi tetap bertahan sepanjang orang masih memakai minyak wangi, makanan dan minuman kalengan serta obat-obatan.

Tags : slide