close
Nuga Tokoh

“…Si Otodidak”

Kemarin siang di tengah amuk kacau balaunya jalanan haji mas mansur, tanah abang, jakarta pusat,  saya meneleponnya setelah dua kali sebelumnya dering panggilan gak wusss… Hang…

Baru dipanggilan ketiga ketika saya menyingkir dari pilinan benang kusut jalanan pusat tekstil itu ada ngah dari seberang jauh sana. Ada nada ya..ya..ya…ya…. berulang.

Ada juga nada ee.ee.. macam intonasi suara penyiar radio dulunya. Nada eee..ee.. bak penyiar radio ekspo tujuh puluh atau radio arafuru. Dua stasiun radio yang sangat peopuler di awal tujuh puluhan.

Kemudiannya muncul suara tang teng tong persambungan kata bersahutan. Lantas, mulailah terangkai nada sahut menyahut di kalimat yang compang camping di pendengaran.

Dalam wira wiri yang panjang itu saya mengajukan satu permintaan ingin menulis penggalan  celotehan-celotahan yang pernah singgah dalam pertemanan saya dengannya

Keinginan ini datang untuk penawar sidingin baginya. Penawar sidingin sebagai “obat” atas deritanya usai stroke ringan menghampirinya.

Saya tahu, celotehan-celotehan bisa memuaikan memorinya. Alasannya, memori orang yang terserang stroke biasanya beku yang membuat penderitanya kesepian.

Celotehan untuk membangkitkan batang terendam betapa indahnya hari-hari perkawanan di era rakit batang pisang hingga sampan gandeng yang diikat tali ijuk hingga berpayah-payah naik bis kope.

Saya punya pertalian puak dengannya. Pertalian puak dengan nama yang saya plesetkan dengan le lap.. Lep lap gak usah di cari di kamus. Gak akan ketemu. Khas kosakata negeri di pucok domya.

Saya gak tahu apakah kata lep lap itu merupakan mutasi dari kata lelap.

Entahlah… mungkin iya tapi mungkin juga jauh dari kemungkinan.

Kata “lelap” sendiri memiliki beberapa arti, yaitu: nyenyak atau tidak sadarkan diri saat tidur, Hilang atau lenyap, Kalau dalam dagang gadaian gak boleh ditebus. Bisa juga beku kalua itu minyak kelapa.

Terserahlah…

Kalau di puak saya kata lep lap itu punya makna keragaman. Bisa juga diplesetkan sebagai gak konsisten. Kalau keragaman menyangkut  campuran suku.

Sang teman yang saya ngobrol panjang itu bernama lengkap: arminsyah. Sejak dulu. Sudah lama sekali saya cukup menyapa potongan tengah namanya. Potongan yang complang.

Cukup dengan “men” .. bukan min…

Entah bisikan suara langit ke berapa saya harus menyapanya dengan “men” .. entahlah.. Kalau lagi gnepas saya sapa dengan tiga perempat potongan: armen…Ahhh gak penting amat…

Yang saya tahu arminsyah atau si “men” atawa armen ini adalah cucu dari raja kecil di sebuah negeri nun di katalana sana. Dari garis ibunya. Raja kecil ini sering dibasakan sebagai ulee balang.

Ulee balang ini bagian dari zelfbestuur di tatanan pemerintahan belanda yang berada di bawah strata kepangkatan controlir. Ulee balang ini merupakan bagian yang terpisahkan dari klas amtenar.

Amtenar adalah sebutan untuk pegawai negeri sipil atau pamong praja pada zaman itu. Kata ini berasal dari ambtenaren yang berarti pejabat atau pegawai pemerintahan

Ciri khas dari ambtenaar pada zaman kuda makan besi itu adalah: berpakaian jas putih-putih, Memakai topi helm keras seperti topi baja yang popular sengan topi lamhood.., Pergi dan pulang kerja naik sepeda.

Jabatan ambtenaar menjadi impian dari kebanyakan anak-anak pribumi, karena dipandang bahwa kehidupannya terjamin.

Maaf … saya tidak sedang menulis biografi si armen. Tidak menulis tentang kehidupan keluar intinya. Walau pun disebuah hari ia pernah bercerita tentang salah seorang anak nyi dengn memforwatd foto yang saya muat ini.

Selain itu tidak ingin menulis dengan gaya riwayat hidupnya. Sebab biografi itu hakikinya adalah riwayat hidup  seseorang yang ditulis oleh orang lain.

Dimensi penulisan biografi yang saya tahu adalah untuk menyampaikan hal-hal istimewa yang dimiliki oleh seorang tokoh. Biografi dapat menjadi motivasi dan inspirasi bagi banyak orang

Khusus untuk armen saya hanya menulis celotehan dan celutukan yang pernah singgah dalam pertemanan saya dan dia.

Pertemanan di era yang panjang. Sejak era bohay hingga era katalana negeri ini. Sejak era melata hingga era tertatih-tatih. Era hari ini. Yang semuanya bisa selesai di podium…

Saya sering menuding si armen sebagai seorang otodidak. Sebuah sebutan lainnya untuk mereka yang “belajar sendiri.”

Orang yang tanpa bantuan guru bisa mendapat pengetahuan dan dasar empiris yang benar dalam bidang tertentu.

Si otodidak adalah mereka yang  punya antusiasme dan motivasi yang tinggi, kadang-kadang harus mencari pokok persoalan melebihi subjek utamanya dalam pendidikan konvensional.

Khusus untuk armen, ia ia otodidak tulis menulis. Ia bisa menulis puisi hingga menulis buku dan menerbitkannya sendiri. Bahkan menjualnys sendiri.

Saya sering berterus terang kepadanya: kalah dalam hal produktifitas menulis buku. Padahal ia mengaku saya salah seorang mentornya tentang pemahaman menulis.

Di sebuah pagi, saya lupa hari, bulan dan tahunnya, tapi ingat waktunya, di sebuah pagi. Saya bercerita panjang dengan armen di kawasan ulee lheueu. Do sebuah keude kopi.

Saya dan armen saling bertaklimat tentang penulisan. Ia sedang kasmaran. Jatuh cinta dengan tulis menulis. Padahal ia memang penulis. Penulis puisi. Puisi sunyi yang puitis.

Puisi cinta negeri dan cinta-cinta lainnya. Saya gak ingin membahasnya. Tapi, seperti ia katakana terus terang saat itu, puisi cintanya pertama kali wuusshh di sebuah media lokal yang sedang sakarat.

Ia senang. Gak tanggung-tanggung. Senang dengan mengabarkan kegembiraannnya kepada penghuni langit dan bumi…

Saya sering ketawa ngakak kalau ia dengan alay menyericitkan kegembizznnya itu secara berulang di banyak perjumpaan.  Menceritakan dengan mimik serius dengan suara garau.

Armen memang tipikal teman yang sulit membohay. Ia berupaya merunut kalimatnya agar tertata apik sebelum diucapkan. Responnya terhadap sesuatu yang menggelitik pun bak air tenang. Tanpa kecipak.

Paling hanya riak kecil dalam sesungging senyum…Ia tak berteriak. Ia bisa beda pendapat tapi menghindar polemik tanpa garang. Ia tak pernah kasar, ia bahkan terasa “lunak“.

Saya tak tahu secara utuh bagaimana ia tumbuh di masa kecilnya. Ia pernah bercerita tapi potongan-potongan cerita itu tak pernah bersambung. Terurai begitu saja.

Ia berbahasa aceh bernada rendah. Gak macam trah ulee balang yang sering mbong. Sombong yang ketulungan. Sombong di atas sombong.

Di masa kecil, katanya kepada saya dia menjadi cucu sang nenenk yang penurut. Hampir tak pernah bertengkar; ia bahkan penolong.

Ia, yang lebih pintar dalam pelajaran karang-mengarang. Bahkan, mungkin  ketimbang saya

Armen pernah kecoplos kepada saya bahwa ia sejak kecil dikenal pandai. Banyak yang diingatnya tentang rumah kehidupan masa kecilnya. Banyak minat yang ia terbangkan kea wang-awang.

Sebagai keluarga trah ulee balang armen terbiasa berbagi. Mungkin dari kebiasaan berbagi itu, ketika ia memiliki penghasilan ia suka traktiran teman-teman.

Ia menceritakan ketika masih duduk dikelas sekolah dasar sering di palak teman-temannya. Masalahnya sepele. “Karena saya memakai nama teuku di depan nama.”

Teuku yang berarti memiliki uang saku dari hasil belasting tanah yang luas.

Ia, yang suka bertukar lelucon, adalah jenis orang yang suka bersama teman-teman dan senang aktif dalam kongkow-kongkow. Saya pernah menikmati kebersamaan itu ketika ikut mengadvokasi teman

Siapapun yang pernah dengannya pasti akan mengatakan hal yang sama.

.Yang gak saya sangka  ia mampu menulis buku dengan latar yang berbeda-beda. Bukunya dengan judul “ba la ap” menjadi fenomenal. Bercerita dengan ringan episode ke khasan negerinya.

Buku dengan genre prosa ringan yang dikemas dalam bentuk esai.

Sebagai anak keluarga aristocrat di strata bawah, ia menyayangi ibunya tanpa ampun. Belum pernah saya melihat seorang anak — bahkan sampai ia berusia tua — begitu total ketaatannya pada ibunda.

Ketaatan in sampai hari menulis ini setelah ibunya kembali kea rash. Ia masih menampilkan kebersamaan dengan ibunya di gambar profil whatsapp henponnya. Gambar yang menyirat kedekatan.

Dalam banyak kesempatan dulunya ia selalu bercerita tentang kerinduannya yang sering meletup terhadap sang ibu. Letupan itu biasanya ia wujudkan dengan langkah pulang kampung.

Pulang kampung dari medan ke lamainong.

Saya gak tahu banyak tentang kedekatan ini. Saya gak tahu apakah ia tetap diingat sang ibu  agar berhati-hati terhadap tulang ikan yang masuk ke mulutnya.

Apakah juga si ibu menganjurkannya untuk mencobai sayur ini dan itu

Semua sahabatnya sudah tak perlu lagi meledeknya sebagai “anak mami”, karena ia tak pernah — selama berpuluh tahun — menggubris ledekan yang sia-sia itu.

Ia bahkan seakan memamerkan bahwa ia memang anak ibu. Dengan segala yang melekat  dengn dirinya, tetaplah ia anak yang taat kepada ibunda yang dikasihinya.

Soal totalitas kedekatan dengan sang ibu ia sering lobang, atau lebih tepat kekosongan, yang besar dibanding dengan diri saya.

Bahkan di banyak tulisannya termasuk puisinya saya tahu ada idiom  segar untuk merekam bagaimana ia mengulang-mengulang tentang kedekatan ini.

Armen pernah menghilang: ketika ia memilih hidup di medan

Selepas itu, yang saya tidak ingat kapan waktunya, setelah tahun-tahun saya direnggut perpisahan saya terhubungan lagi dengannya.

Saya tak berniat gagah-gagahan setelah pertautan pertemanan itu. Bagi saya, hal itu biasa saja Sebiasanya ketika saya dan dia terus bertukar ide. Hingga di siang hari tadi.

Di siang ketika saya sedang menikmati ulah cucu yang menganggu sepnjang sapa menyapa itu.

Armen  memahami ini. Ia tak merasa dilebihkan dalam  ketika kami saling ha.ho..ha.ho itu Sembari berguman saya mengatakan. “kau mengajariku mentertawai ini…”.

Humor adalah bagian sentral dalam percakapan dengan Amarzan. Agaknya itu yang mengikatkan kami berdua: humor — dan puisi.

Saya pernah mengatakan kepadanya, ini semua humor dan puisi  “hidupa” yang tak harus takluk kepada kebekuan hati dan pikiran.

Arminsyah bagi saya adalah sahabat yang tak pernah  jauh dank sesekali ingin saling  menuliskan celotehan  antara keseriusan dan lelucon.

Tags : slide