Tadi pagi saya baru tahu ada ideologi “puritanisme” dalam menyajikan kopi. Yang memberitahu seorang anak muda. Anak muda aceh. Penggemar kopi. Tidak hanya gemar tapi sudah gila kopi
Yang kegilaannya terhadap kopi sudah berumur dua belas tahun. Tertular ketika ia bersekolah di sorbonne, perancis, usai memperoleh beasiswa strata dua finansial.
Padahal sebelum ke negeri mode itu ia belum mengenal kopi itu dari jenis “binatang” apa. Di perancislah ia baru tahu kopi itu “binatang jalang” yang membuatnya hang..hing…hong…
Hang..hing… hong ketika ia berburu kopi dari kafe ke kafe. Dari kafe lorong-lorong pendek dan lorong panjang.
Dari pinggiran avenue hingga kafe tuak. Dari arabica costa rica hingga ethiopia-abesenia. Hingga ia kepentok dengan arabica gayo mountain. Gayo pantan meusara.
Anak muda itu dari trah sayed. Fam-nya az-zahir. Asal garut. Bukan garut Swisse alpenis. Tapi pidie dan bekerja di firm keuangan di saigon. Vietnam. Tiga bulan sekali ia mudik.
Saya karib dengan bapaknya yang arab yaman. Sang bapak dulunya bekerja di patrol. Menetep dan berumah di indramayu.
Ia sering mengajak saya dan istri nginap di rumahnya yang asri dan dikelilingi pohon mangga. Setiap pulang saya dibekali berkeranjang-keranjang mangga.
Ia sendiri beristrikan seorang jawa cirebon kini menetap di desa mekarjaya
Desa yang persis di persimpangan jalan arah pondok al-zaytun yang pernah heboh-hebohan dulunya itu. Pondok zaytun yang sejak dulu saya malas untuk mengangkatnya ke pembicaraan
Untuk itu kembali saja ke si anak teman yang bernama fahmi.
Kegilaan ngopinya ini sudah di strata “atjeh moorden.” Setiap hari ia menenggak kopi sebanyak dua puluh dua kali.
Ingat!! … Dua puluh dua kali. Bukan dua puluh dua gelas ala kopi solong ulee kareng. Kopi solong enam ribu rupiah pergelas pancong.
Saya saja yang dua kali ngopi sehari-pagi dan sore-dituding isteri lewat telunjuknya yang bengkok sebagai setengah gila.
Kalikan saja berapa derajat setengah gilanya si fahmi di banding saya.
Soal ngopi ini, di sebuah waktu, saya sendiri pernah mengejek teman yang tujuh kali ngopi sebagai seorang “gila penuh.” Teman lainnya yang ngopi sepuluh kali sehari saya katai sebagai “pesong.”
Si fahmi ini dua puluh dua kali. Pasti gilanya bukan di tataran pesong. Kegilaannya sudah di tingkat si “jundai.”
Kumatnya seorang yang gilanya di tingkat si “jundai” bisa memanjat dinding. Setingkat dengan “atjeh moorden” yang pengobatannya hanya bisa lewat pasung.
Kemarin saya ke rumahnya. Ia menawarkan ngopi sembari mengatakan,” di sini tidak ada gula dan susu. Adanya cuma kopi”.
Terlepas dari debat gila saya terkesan pada keberaniannya memegang ideologi puritanisme dalam menyajikan kopi ini.
“Boleh juga,” kata saya dalam gumam. Gumam anggukan.
Saya juga menganggukkan wejangan panjangnya tentang kopi sebagai salah satu minuman yang paling banyak dikonsumsi orang setelah airputih
Wejangannya tentang kopi hari saya ke rumahnya panjang.
Ia juga memberi pengetahuan baru ke saya bahwa kopi bersama dengan gula adalah komoditas yang telah mengubah wajah dunia secara sangat revolusioner beberapa abad lalu
Kalau anda belum tahu, silahkan google sendiri, sebab saya tak akan membicarakan hal itu di sini.
Saya cuma ingin menuliskan cara membuat kopi yang lezat, dan cara menikmatinya dengan sepenuh hati.
“Ini beberapa kiat yang saya terapkan saat membuat dan menikmati kopi,” lanjutnya.
Yang terpenting, kopi harus diseduh dengan air mendidih. Ia ulangi: mendidih.
Air panas dari dispenser bukan air mendidih, karenanya bukan air terbaik untuk menyeduh kopi. Air yang dipanaskan dalam coffee maker, sama kurang memadainya seperti air dari dispenser.
Air dengan suhu terbaik untuk menyeduh kopi adalah dari ketel yang langsung diangkat dari kompor saat masih menyala.
Selain itu, ada alasan lain untuk menghindari coffee maker yang serba otomatis. Membuat kopi dengan coffee maker sama saja seperti memotret dengan kamera serba-otomatis.
Ini sama bila anda seorang penikmat fotografi akan sangat menghindari hal itu
Begitu juga para pengopi sejati akan menghindari coffee maker.
Piranti ini akan membuat kopi secara serba ajeg, dan karenanya tak akan menghasilkan kopi dengan nilai seni berarti.
Katanya, kenikmatan kopi itu harus diaduk saat diseduh dengan air mendidih. Seduhan air mendidih ini akan berkolaborasi dengan adukan sendok
Di sini ada pernik yang harus dicamkan. Jangan pernah memakai sendok aluminium untuk menghasilkan ekstraksi yang sempurna akan rasa dan aroma kopi.
Inilah yang tak bisa dilakukan oleh coffee maker.
Siapkan air panas dari ketel anda hingga mendidih. Ingat juga tentang kopi bubuk asli dalam cangkir.
Sebagai penikmat kopi manusia merdeka, tak ada takaran ideal tentang berapa sendok bubuk kopi untuk membuat secangkir minuman lezat.
Semua terserah anda. Tapi bagi saya, setengah mug ukuran sedang membutuhkan sesendok makan munjung bubuk kopi.
Seduh bubuk kopi anda tanpa gula. Biarkan bubuk kopi dan air mendidih saling bersinergi tanpa pihak ketiga. Bantu dengan adukan ringan.
Dan jangan lupa, ini harus anda lakukan sendiri. Kenikmatan kopi tak hanya terletak pada rasanya, melainkan juga pada aromanya.
Aroma terbaik kopi keluar saat ia diseduh. So, don’t miss this defining moment!!
Tunggu sekitar semenit, sebelum anda tambahkan gula (jika anda butuh).
Kalau dokter menyarankan untuk tak banyak mengkonsumsi gula demi kesehatan, turutilah dengan ikhlas kali ini saja.
Gula dalam kopi dibutuhkan hanya untuk mengurangi sedikit rasa pahit, bukan untuk memaniskan.
Rasa manis pada kopi karena gula terlalu banyak, tak ubahnya sebuah pemerkosaan. Kita tak akan lakukan permerkosaan pada orang yang kita cintai, kan?
Karena itu jangan tuangkan gula terlalu banyak ke cangkir kopi anda.
Nah, setelah itu kopi bisa langsung diminum, kan? No! Jangan lupa, kopi itu tadi anda seduh dengan air mendidih.
Suhu air mendidih ini bagus untuk menyeduh kopi lezat, tapi jelas-jelas sangat berbahaya untuk bibir dan lidah anda. Jadi cerdas dikit ya.
Tunggu dulu sebentar. Dalam menunggu, jika anda seorang perokok, mungkin anda bisa nyalakan sebatang. Tapi kalau itu anda lakukan, anda telah melakukan kejahatan terhadap alam.
Jadi jangan anda lakukan!
Kkalau itu dilakukan itu sama saja dengan merusak aroma kopi dengan bau-nyesek asap rokok
Jika kopi sudah tak terlalu panas, peganglah cangkir kopi anda dengan penuh cinta, untuk menikmati isinya.
Hindari cara memegang yang penuh kesombongan, seperti saat orang Inggris minum teh: mencubit kuping cangkir hanya dengan ujung jari.
Saat menikmati kopi, genggamlah cangkir atau mug anda, selipkan satu jari di kupingnya. Yak, peluklah dia. Lalu perlahan bawalah mendekat ke bibir anda…
Sebelum mendapat wejangan si fahmi, saya tahu di era ini banyak orang yang mengaku suka kopi, namun yang mereka sukai sebenarnya adalah distraksi dari kopi itu sendiri.
Distraksi ringan terhadap kopi adalah gula yang sering ditambahkan berlebihan. Distraksi berat adalah susu, yang meracuni kopi dengan nama-nama canggih
Nama-nama yang sering memposisikan seseorang di tempat yang salah. Misalnya cappuccino, caffè latte atau apapun. Posisi sok modern
Juga, menurut si fahmi, si penikmat kopi, mengingatkan kaum puritan kopi harus mencampakkan kata creamer.Kata itu “dosanya” sejenis dengan susu. Semua itu adalah bidah.
Anda pasti tahu tiap bidah sesat. Tiap kesesatan masuk neraka. Dan tak ada pilihan bahwa kopi harus hitam, dan getir.
Jika Anda tak suka pada rasa getir yang kuat, gula bisa sedikit menyeimbangkannya. Kopi yang benar adalah kopi yang pahit, bukan manis.
Bagi peminum kopi puritan. Kopi semacam ini soal akidah. Tentu saja, penggunaan istilah akidah, seperti istilah bidah di atas, adalah keseriusan berhumor para penggila kopi.
Saya mohon jangan bergurau dengan memasukkan hukum fikih, apalagi tauhid.
Demi akidah ini, upayakan sebisa mungkin membuat dan menyeduh kopi sendiri untuk diteguk atau di minum.
Lantas bagaimana kalau kepepet?
Saya hanya bisa menyarankan untuk kembali ke jejaring kapitalisme kopi. Kembali ke freshly brewed kopi hitam, bukan minuman-minum bid’ah .
Tapi percayalah, itu semua adalah foreplay yang tak sia-sia… Tak ada yang rumit dalam , menyeduh kopi. Semua ini ditujukan untuk mencapai kesempurnaan rasa.
Atau, biji kopi haruslah diambil dari daerah-daerah tertentu yang khas dengan hasil kopinya.
Perihal ia tumbuh di ketinggian tanam berapa, nyatanya juga sangat membuat riweuh dalam dunia penyeduhan kopi.
Itu sih bagi saya pribadi. Karena sekali lagi, menurut saya, kopi itu tidak pernah memihak.
Kopi, dengan segala tampilan dan cara penyajiannya, bisa dinikmati oleh siapa saja, tanpa pandang bulu.
Seperti halnya agama. Ia bisa dinikmati oleh masyarakat urban, masyarakat pedesaan, termasuk para borjuis.
Bisa jadi, bapak-bapak di kampung saya sana, yang saban hari ngopi dari pagi sampai pagi lagi di warung kopi, ketika disodori secangkir kopi lain yakin ia akan menolak karena dirasa kurang pas.
Dirasa kurang sesuai dengan kebiasaannya sehari-hari menyeduh secangkir kopi.
Kopi lainnya itu punya jarak yang tak begitu dekat. Ia jauh Tak akrab dan tidak memikat.
Karena jika dipikir-pikir, rasa itu sendiri sangat subjektif.
Misal, saya suka kopi pahit. Saya menganggap kopi haruslah pahit, kalaupun tambah gula paling maksimal untuk ukuran saya ya setengah sendok teh dalam secangkir kopi.
Itu sudah maksimal. Sedangkan kawan saya, ia haruslah menambah dua sendok makan gula teh ke dalam cangkir kopinya.
Lantas, apa hubungannya dengan kerumitan?
Sedikit bercerita tentang beberapa waktu lalu ketika saya mengunjungi sebuah warung kopi.
Tak jauh dari tempat saya duduk ada sekelompok muda-mudi sedang begitu sibuk, pun terlihat sangat rumit berlatih meracik kopi dengan para barista.
Obrolan-obrolan tentang suhu, penyaringan, hingga penyajian kopi seakan tak berujung.
Dua jam saya perhatikan mereka umek dengan takaran demi takaran hingga menghasilkan kopi untuk dapat dinikmati.
Rumit sekali. Entahlah, bagi saya yang seperti itu tidaklah memulu penting jika bukan dilakukan dengan tujuan profesionalitas.
Kebetulan, di seberang lainnya, obrolan tentang fenomena beragama baru terdengar dari sekelompok diskusi mahasiswi yang juga sesekali turut mencuri perhatian saya.
Ada macam opini yang saya dengar dari diskusi mereka. Sesekali saling beradu argumen ditambahi referensi beberapa dalil hasil gooling instan waktu itu.
Seperti ketika saya menikmati secangkir kopi pagi itu. Bisa jadi rasa yang dihasilkan para barista warung kopi tersebut sesuai dengan lidah saya.
Saya bisa menikmatinya dengan sangat pas, baik takaran susu ataupun kopinya. Saya merasa akrab dengan kopi tersebut.
Tapi tentu saja, kopi yang saya minum bukanlah satu-satunya kopi yang paling berhak dijuluki kopi yang paling punya rasa ‘kopi’.
Ada puluhan atau bahkan ratusan cara lainnya untuk dapat disebut dengan kopi.