Saya tahu, ketika menulis catatan pinggir atau caping-begitu tulisan esai itu selalu disapa – gm, nama ringkas goenawan mohamad, berjudul “ahmadiyah,” ia pasti tidak tahu dimana letak tapaktuan.
Ia hanya menyalin nama kota itu dari sebuah tulisan bung karno ketika dalam pembuangan ke Ende. Buku yang ditulisnya untuk sebuah semangat kemerdekaan. “Di bawah bendera revolusi.”
Saya tak ingin membahas buku bung karno itu. Sudah terlalu banyak penulis membahasnya. Saya hanya mengutip dari kutipan tentang bukunya itu.
Kutipan gm- goenawan mohamad. Di paragraph enam caping-nya. Gm menulis:,,,,tahun seribu sembilan ratus dua puluh lima, mubalig pertama ahmadiyah qadian sampai ke tapaktuan, aceh. Ia kemudian ke sumatera barat. ……..
Catatan pinggir gm tak menyebut nama sang mubalig. Tapi saya tahu siapa namanya. Tahu dari dari dulu…Dulu sekali… dan pagi tadi saya coba mengingatkannya ke seorang teman.
Teman yang keluarga dan trahnya bagian dari ahmadiyah. Yang ayah dan pamannya pernah belajar ke qadian lantas menjadi bagian dari aliran itu.
Namanya Zulfikar Kayum. Kami menyapa fikar. Ayah sendiri bernama Ahmad Kayum. Fikar ini adalah prototype ayahnya. Cerdas dan ceplas ceplos. Otaknya encer.
Hingga sekarang, diusia pertengahan tujuh puluhan, memorinya masih topcer. Mengalir tanpa tergagap oleh usia.
Dari dialah saya banyak tahu tentang tempat berpijak ahmadiyah di tapaktuan. Tempat berpijak seorang mubalig bernama Rahmat Ali di tahun seribu sembilan ratus dua puluh enam.
Yang berarti sepuluh tahun sebelum koran “pemandangan” menulis cerita fiktif tentang tuduhan terhadap bung karno sebagai seorang propagandis penyebar ahmadiyah di sulawesi.
Sepuluh tahun sebelum cerita fiktif itu Rahmat Ali, seperti diceritakan, fikar, sudah berdakwah damai di tapaktuan. Berdakwah dari rumah ke rumah tanpa menyinggung masalah aliran dan tafsir.
Dia, kata fikar, yang mendapat informasinya menjadi sahabat orang tapaktuan. “Dia tinggal di rumah haji agam,” kata fikar. Haji agam orang kaya di tapaktuan. Yang menjadi trah menyamping saya.
Tak ada benturan paham ketika Rahmat Ali itu jadi pendatang. Saya tak tahu mengapa begitu damainya ahmadiyah sebagai paham di tapaktuan. Kota kecil dengan lautnya bak sebuah kolam di ceruk teluk itu tak mengalami guncangan apa-apa.
Saya percaya mas gun tak tahu bagaimana aliran islam qadian bisa begitu welcome di tapaktuan.
Kalau ia tahu tentu paragraph catatan pinggir bergaya esai dengan narasi dan intonasi yang apik itu bisa bertambah indah
Mas gun, begitu kami dulu menyapanya, pasti akan mengubah teks tulisannya. Seperti mengubah penampilan kantor medianya yang dulu di sebuah toko kayu bergoyang di segi tiga senen.
Yang kemudiannya pindah ke proyek senen lantai empat. Gaya mas gun tetap nggak pernah luntur. Nggak pernah dimakan usia.
Saya sendiri menemukan caping itu beberapa hari lalu secara tidak sengaja. Betul-betul secara tidak sengaja di google. Sekelebat. Dan nggak selera untuk menelusurinya.
Tapi di pagi berikutnya ada kupasan agama yang menyenggol aliran itu di sebuah stasion tv. Yang nadanya menghujat. Dan saya tergoda untuk kembali ke google search. Mencari sang caping : ahmadiyah.
Ya, catatan pinggir dengan judul satu kata ahmadiyah. Dan bukan ahmadiyah itu yang menjadi fokus tulisan saya ini. Tetapi tapaktuan-nya.
Negeri saya. Kota saya. Tempat saya lahir, dibesarkan dan kini menjalani hari-hari sebagai old journalis yang never die. Old journalis yang bangga tapaktuan sebagai tapak dari eksistensi ahmadiyah di nusantara.
Tapaktuan sebagai pijakan ahmadiyah sebelum menyebar ke sumatera barat dan terus ke jawa hingga menusuk jantung pergerakan muhamadiyah.
Ternyata tulisan gm itu sudah berumur dua belas tahun lalu. Dibablaskan pada hari senin, dua agustus dua ribu sepuluh.
Caping itu menceritakan tentang hoak di media mainstream. Media prestise dieranya. Koran “pemandangan”
Media yang menulis hoaks ketika soekarno sedang menjalani masa pembuangan di ende, nusa tenggara timur, di tahun seribu sembilan ratus tiga puluh enam.
Hoaks yang menuduh soekarno sebagai propagandis ahamdiyah di sulawesi.
Setting ceritanya sendiri terjadi di bulan november seribu sembilan ratus tiga puluh enam.
Seperti ditulis mas gun yang saya kutip utuh,”Bung Karno menerima sepucuk pos. Di zaman ketika komunikasi masih sangat terbatas, surat itu dikirim seseorang dari Bandung dengan kapal biasa ke Kupang, di Pulau Timor bagian barat”
Lanjutan tulisan itu : Surat itu diterbangkan sebagai vliegpost-pos udara- ke Ende, tempat Bung Karno waktu itu hidup sebagai orang buangan.
Surat itu ditulis seorang teman “si bung besar.” Sapaan akrab untuk Soekarno. Ia bercerita bahwa harian “Pemandangan” yang terbit di Bandung memuat satu informasi kecil
Bung Karno telah mendirikan cabang ahmadiyah dan ”menjadi propagandis ahmadiyah” wilayah Sulawesi.
Saya tak tahu kaget atau tidakkah Bung Karno mendengar cerita fiktif tentang dirinya itu. Mungkin tidak.
Ia sudah siap mendengar tuduhan yang bermacam-ragam, termasuk ”anti-Islam”, karena pandangannya yang kritis tentang perilaku umat Islam di Indonesia.
Meskipun demikian, Bung Karno membantah. Dengan tenang sekali.
”Saya bukan anggota Ahmadiyah,” demikian ditulisnya dalam suratnya bertanggal dua puluh lima november tahun itu”
Kutipan ini saya abaca dari buku “di bawah bendera revolusi.”
Karena ia bukan anggota, kata Bung Karno pula, ”Mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiyah atau menjadi propagandisnya.”
Apalagi untuk wilayah Sulawesi: ia tak akan sampai ke sana.
Bung Karno orang yang diasingkan dan diawasi pemerintah kolonial Belanda. Tak akan ada izin untuknya ”pelesir ke sebuah pulau yang jauh Untuk perjalanan beberapa mil sahaja dari Ende ia tak diperbolehkan.
Saya membaca dari sejarah, di tahun surat Bung Karno ditulis itu, permusuhan terhadap Ahmadiyah sudah sekitar tujuh tahun umurnya. Yang mulanya ada gejolak apa
Dan sejarah itu menceritakan tentang dua pulih pemuda muslimdari Sumatera Barat datang ke India untuk belajar agama di Qadian.
Dalam catatan: tahun seribu sembilan ratus dua puluh lima mubalig pertama ahmadiyah qadian sampai ke Tapaktuan, Aceh.
Ia lanjut ke Sumatera Barat. Setahun kemudian, organisasi jemaat ahmadiyah berdiri.
Dalam catatan itu tak disebutkan nama mubalig yang singgah di Tapaktuan itu.
Sampai di sini, belum ada konflik yang tercatat, meskipun kalangan Ahmadiyah Qadian percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang pembaharu dan sekaligus ”nabi” tapi nabi yang tak membawa syariat baru.
Konflik pertama justru terbuka di Yogya, dan ini berhubungan dengan Ahmadiyah Lahore, yang tak meng anggap Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi, melainkan seorang mujaddid (pembaharu).
Awalnya sebuah ukhuwah. Tahun seribu sembilan ratus dua puluh empat, dua pendakwah gerakan ini, Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogya.
Djojosugito, sekretaris Muhammadiyah, mengundang mereka untuk berpidato di muktamar, dan menyebut Ahmadiyah sebagai ”organi sasi saudara Muhammadiyah”.
Tapi, setelah sebuah perdebatan, Muhammadiyah melarang paham Ahmadi. Pada Muktamar Muhammadiyah kedelapan belas di Solo, pada seribu sembilan ratus dua puluh sembilan, dinyatakan bahwa ”orang yang percaya akan Nabi setelah Muhammad SAW adalah kafir”.
Djojosugito dipecat. Ia mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia, empat April seribu sembilan ratus tiga puluh.
Takutkah Bung Karno dikaitkan dengan paham ini?
Dari nada suratnya, tidak. ”Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya ia seorang mujaddid,” katanya.
Tapi Bung Karno memuji pelbagai buku dan tulisan dari kalangan Ahmadi.
”Saya dapat banyak faedah daripadanya.” Salah satunya, yang dalam bahasa Belanda disebut Het Evangelie van den daad, oleh Bung Karno disebut ”brilliant, berfaedah bagi semua orang Islam”.
Apalagi Bung Karno melihat ada tenaga yang positif dari kalangan Ahmadiyah:
”… pada umumnya ada mereka punya ’features’ yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan, mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap hadits, mereka punya streven Qur’an sahaja dulu, mereka punya systematische aannemelijk making van den Islam.”
Bung Karno bukannya menyetujui semua. Ia menolak ”pengeramatan” Mirza Ghulam Ahmad dan ”kecintaan” kalangan Ahmadi ”kepada imperialisme Inggris”.
Tapi, tulis Bung Karno pula, ia ”merasa wajib berterima kasih” kepada pandangan yang termaktub dalam karya-karya mereka.
Di masa itu, seperti tampak dari surat-surat Islam dari Endeh, dan korespondensinya dengan T.A. Hassan, tokoh ”persatuan Islam” di Bandung, Bung Karno memang sudah menunjukkan keinginannya.
Ia hendak mendorong umat Islam ke masa depan, bukan berbalik ke masa lalu.
”Kenapa kita mesti kembali ke zaman ’kebe saran Islam’ yang dulu-dulu? Hukum Syariat?” tulis Bung Karno dalam surat bertanggal dua puluh dua februari seribu sembilan ratus tiga puluh enam. ”Islam itu kemajuan!”
Maka tak mengherankan bila ”kemajuan” itu yang ia lihat pada gerakan Ahmadiyah. Tapi, lebih dari itu, Bung Karno tak mungkin mengabaikan apa yang dibawa sejarah: benturan dan pertemuan pelbagai buah pengalaman.
Dalam kaitan itu, Bung Karno melihat ”cacat” ”Persatuan Islam” yang dipimpin T.A. Hassan, yaitu ”sektarisme”: hanya paham sendiri yang dianggap benar; gagasan lain dimusuhi.
Padahal, dengan ”membuka semua pintu budi akal kita bagi semua pikiran,” kata Bung Karno di akhir suratnya, akan lahir Islam yang ”tiada kolot dan mesum”, yang bukan ”hadramautisme”.
Akan lahir Islam yang ”cinta kemajuan dan kecerdasan”.
Mengapa saya ingat Bung Karno, Ahmadiyah, tahun seribu sembilan ratus tiga puluh enam?
Memang aneh bahwa saya harus mengutip surat tua itu untuk berbicara tentang ”kemajuan dan kecerdasan” bagi umat Islam di Indonesia. Mungkin justru karena kedua hal itu makin dibiarkan terjerumus ke dalam ”sektarisme
Hari-hari ini, ”sektarisme” itu bahkan ditegaskan dengan kekerasan.