Foto kegiatan pengungkapan Tambang Ilegal Nikel oleh Unit 5 Subdit 5 Direktorat Tipidter Bareskrim Polri di wilayah Konawe Utara Sulawesi Tenggara tahun 2019 Dari kiri ke kanan: Bripka Antonius Pebriyanto,SH, Ipda Muhardiyanto,SH, AKP Rezeki Revi Respati,SH,SIK,MSi, AKP Teja Ismoyo,SH, Kombes.Pol.Thomas Panji Susbandaru,SH,MH, Briptu Masnico Praba Krisnawan,SH,MH
Hari itu, kamis, bakda zuhur. Hari pertengahan di pekan kedua bulan desember.
Saya baru saja terperosok ke simpul macet berpilin di kawasan senayan ketika nada tring…tring…tring singgah di kotak pesan aplikasi whatsapp.
Ada rangkaian kata beriringan, foto berjejer plus pujian plas plus.
Rangkaian kata yang datang usai saya mengirim paragraph demi paragraph dalam rangkuman kalimat sederhana. Sederhana karena narasinya berbentuk sebuah esai dengan style nota.
Nota dalam sebuah penulisan yang tidak berjingkrak. Nyaris liar karena alurnya berpindah-pindah. Dan itu dikatakan oleh si penerima bagaikan roller coaster.
Entahlah… apa iya?
Namun begitu, rangkaian kata, foto beserta pujian itu membuat saya buncah. Buncah karena di luaran sana hujan sedang menghambur dan tumpangan saya terkunci dalam pilinan jalanan,
Menyesakkan.
Dan saya berusaha menjaga mood dengan meraih hand phone sembari mengerling ke arah bunyi tring…tring.. dibukaan pesan whatsapp.
Dengan handphone di telapak tangan saya menyungging senyum. Menarikan jempol jemari sebagai jawaban karena zuhur belum tertunaikan.
Jawaban untuk mendamaikan hati seraya mbatin: “terima kasih.”
Mbatin bak sufi-istik jawa terhadap kata-kata yang tak terucapkan untuk membalas sebuah pujian. Balasan mbatin yang isiannya keikhlasan. Keikhlasan untuk si pemberi dan juga penerima.
Ah,,,,, saya mendesis, “kita bukan jawa ya Res.” Seolah berucap di kesendirian kepada pengirim pesan saya hanya bisa tersenyum.
Untuk kemudiannya berbisik: “anak-anak mu Res, pasti mampu merasakan getaran itu di sebuah hari nanti.” Ia anak-anak heterogen. Yang menyalin duhur ayah ibunya. Ayah yang elegan dan ibu yang nrimo.
Elegan karena kepercayaan dirinya yang kukuh dan nrimo sebagai wujud kesederhanaan.
Melenceng jadi sentimenttal….. maaf…. biasalah..
Kembali ke pra kata awal tentang rangkaian kata-kata, foto dan pujian saya kembali memolotinya. Kemudian memilahnya usai shalat di sebuah masjid milik depdikbud ristek.
Masjid yang saya sambangi setelah keluar dari belantara jalanan.
Tentang rangkaian kata-kata yang intonansinya menyelipkan banyak pujian saya sudah maklum. Tapi dari rangkaian foto yang di posting si pengiri, Respati, saya mencoba memilah dalam beberapa lot.
Bukan memlsahkan bak lot saham. Yang hitungannya kapitalisasi grafik naik turun. Naik turun untuk bertahan dan melepaskan, No….
Memilah yang saya lakukan untuk mengelompokkan seorang Rezeki Revi Respati sebagai milik dirinya, milik istri dan keluarga kecilnya serta milik trah garis lurus dan menyamping aliran darahnya,
Rangkaian foto itu saya tahu adalah genangan kenangan bagi Respati. Kalau tidak ada genangan kenangan kenapa ia kirimkan.
Foto yang bisa dibaca dengan kasat mata tentang eksistensinya. Eksistensi seorang Respati ditengah keluarga besar yang takzim. Di tengah keluarga kecilnya yang luruh.
Bahkan ditengah komunitas kerjanya yang yang wibawa. Komunitas kerja yang di testimoninya dengan penggalan kalimat untuk memberi garansi kebenaran. Lewat kalimat sederhana.
Dan ini bunyinya. Bunyi kewibawaan. “Dulu,’ bukan dulu sekali,” saya pernah menjadi danki brimob di solo baru”
“Sebutan lainnya komandan kompi adalah kepala sub detasemen waktu pangkat iptu. Anggota saya di kompi ada seratus lima belas orang”
Saya sengaja memotong kata dulu untuk mengingatkan tahunnya. Tujuh tahun lalu. Tujuh tahun lalu yang ia rendahkan dengan nada datar.”Untuk info awal saja om…hhe.”
Info awal yang saya tahu Respati gamang untuk membungakan kata. Sebab saya juga tahu kalau ia membungakan kata bisa mendatangkan sikap “mbong.” Bukan “mbong” secara harfiah. Tapi maknawi.
Kata “mbong” maknawi bagi anak indatu adalah sebuah sikap yang kebablasan. Saya tahu Respati tak ingin kebablasan. Terutama dalam mengedepankan jenjang karir. Jenjang jabatan.
Tidak hanya karirnya di detasemen yang ungkapkan. Tapi juga medan tugas yang ia tuntaskan.
Medan tugas sejak di brigade mobile dua belas tahun lalu. Dan ia berada di sana selama lima tahun. Karir awal di pasukan elite kepolisian. Pasukan yang membentuk jiwa bayangkhara.
Tuntas pula tugas lainnya ketika ia menyabet pendidikan lanjutan di perguruan tinggi ilmu kepolisian-ptik-dua tahun berikutnya dengan predikat sarjana ilmu kepolisian.
Selesai di ptik Respati bertugas di bareskrim. Anda pasti tahu kancah apa bareskrim itu. Kalau saya maklum amat tentang kancah besar dari belangong gulei institusi kepolisian itu.
Reskrim baik dengan ba di depan akronimnya maupun dit sebagai lembaganya adalah kancah gulai yang berisi semua bumbu hingga sayur dan daging tulang serta gapah yang kemudian diaduk.
Bahkan pada sebuah kesempatan diskusi dengan banyak teman ketika kepolisian diamuk kasus polisi tembak polisi saya secara bergurau mengatakan, reskrim yang belangong gulei agar enaknya perlu dicampur ganja.
Ternyata ganja itu memang ada di sana. Ganja benaran. Ganja sebagai kasus kriminil.
Ganja berkasus yang kemarinnya menyeret mantan kapolda sumbar. Yang menyebabkan ia gagal naik ke peringkat polda klas a.
Di bareskrim Respati menjalaninya selama empat tahun. “Saya sebagai penyidik di tipidter,” tulisnya. Saya tak mafhum apa kepanjangan akronim ter ….di ujung tipid. Kalau tipid itu sendiri so pasti saya tahulah
Akronim tipid itu sudah menjadi hafalan saya sejak lama. Sejak lama sekali….. Ketika masih menjadi mahasiswa. Walaupun saya mengakhirinya dengan pilihan studi hukum ketatanegaraan.
Karir Respati di reskrim terus lanjut. Sejak tahun lalu, ia menjadi penyidik di ditreskrim polda metro jaya dalam posisi kanit harda.
Saya telah menulis tentang posisinya di polda metro itu. Menulis tentang pertemuan dan banyak bla..bla… lainnya.
Dalam episode ini sengaja tidak merinci rentang jenjang jabatan anak muda ini. Tulisan ini tidak fokus ke sana. Sebab kalau menyambungkannya kesana bisa panjang. Bahkan bisa sedikit njelimet membacanya.
Saya sendiri nggak ingin menjelimetkannya. Karena rentang karir yang dijalaninya sekarang tentu tak lepas dari pilihan awal cita-cita yang ia pendam
Ada asas kausalitasnya. Asas sebab akibatnya. Anda pasti tahu dan pernah menjalani asas ini ketika menjatuhkan pilihan. Ada latar belakangnya. Latar belakang dari otak kecil.
Sebab dan akibat juga yang menyebabkan seorang Respati memilihnya. Memilih kelanjutan jalan hidup usai ditabal sebagai alumni sekolah modal bangsa.
Sekolah menengah atas modal bangsa di kawasan blang bintang, Sekolah yang juga menjadi almamaternya Tompi. Tompi yang dokter bedah plastik yang dulunya menggoyang banyak panggung konser bersama Fren Fredly,
Dan dari sinilah Respati memilih lanjutan karir pendidikannya. Pilihan yang menyisakan tanya kenapada harus menjadi seorang polisi ….
Pilihan yang saya tahu persis melewati proses dan benturan. Yang saya saya juga nggak tahu bagaimana ia menjadi keputusan dengan satu kata “iya” di keluarga kecilnya.
Sebab yang saya tahu ia anak tunggal dengan pilihan jalan hidup keras dan penuh hadangan, Tidak mudah bagi seorang ayah dan ibu melepaskannya. Melepaskan anak tunggal untuk jadi polisi.
Anak tunggal yang adabiyahnya berada di bawah ketiak ibu. Anak tunggal yang nggak akan mudah dilepas untuk mengepak sayap memilih jalan hidup dan karirnya. Apalagi di sebuah institusi yang liat.
Penggalan ini saya tak ingin melanjutkannya…. Dan tak ingin menuliskannya… Biarlah seorang Respati yang membuat garis bintik-bintik untuk merajut cerita utuhnya.
Alasannya, saya sendiri mengalaminya. Di keluarga kecil saya. Yang juga punya anak tunggal. Anak mahkota. Anak lelaki yang menjadi milik utuh ibunya.
Milik ibu seperti dishahihkan oleh bukhari dan muslim tentang perkataan nabi.
Perkataan rasul. Mohammad. Ibu mu….ibu..mu…ibu mu …. berikutnya … ayah mu. Ayah di posisi nomor empat. Nomor empat untuk mendamaikan hati orang nomor satu..dua dan tiga.
Dan seorang almarhum Riswan tentu tak berbeda dengan yang saya alami ketika menaklukkan seorang wanita yang namanya bukan Efrida
Efrida yang membiarkan Respati terbang dengan pilihan karir dan kehidupannya,
Berat Res…. berat…..tak mudah….Dan tak mudah pula bagi seorang ibu dari anak lelaki tunggal memilah kasihnya dengan pasangan hidupnya.
Ada perasaan kehilangan ….Kehilangan dari kodratinya ingin memilikinya secara utuh…
Entahlah…. saya tak ingin melabuhkan tulisan ini lebih panjang.
Saya hanya ingin mencatat karir dari Respati sesuai dengan ritual hari-hari, pekan-pelan dan bulan serta tahun berjalan. Catatan yang di share Respati dihari suara tring..tring.. itu datang.
Perjalanan seorang polisi yang membuat banyak anggotanya terpeleset karena kerasnya medan tugas.
Karir yang dijalani Respati kini berada di pertengahan. Bukan dipersimpangan. Karena jalan yang akan dilewatinya masih panjang. Dan tak ada “jalan kembali” untuk sebuah pilihan yang tuntas.
Jalan panjang yang pasti bukan sebuah fatamorgana. Fata morgana yang sering membuat tipuan.
Yang saya percaya seorang Respati pasti tidak menjadikan jalan karirnya sebuah bayangan yang menipu. Ia tahu tempatnya berpijak.
Tempat berpijak seperti yang saya dapatkan dari share lot foto-foto yang ia kirim. Juga dari kata-kata ringkas yang ia umpankan hingga tulisan ini bisa dipanjang-panjangkan.
Umpan kata-kata yang juga menjadi peneguh dalam sapaan percakapan kami menjelang ashar di hari itu.
Hari yang teduh usai hujan berlalu dan benderang pun datang.