Kemarin wartawan di karo demo bersama. Lokasinya: depan kantor polisi resort dan dewan perwakilan kabupaten di kabanjahe.
Jumlah pendemo lima puluh orang mengatasnamakan dirinya jurnalis. Ini bukan demo gaduh. Demo damai khas wartawan. Demo celingak-celinguk menenteng henpon. Saling motret.
Dari dua demo itu yang di resor jelas tuntutannya: tuntaskan kasus pembakaran rico, istri, anak dan cucunya. Memang belum jelas bagaimana menuntaskannya. Tapi sasarannya sudah pas. Sesuai tupoksi. Penyidik.
Terserah tuntasnya mau model apa. Model preman atau model polisi yang sering hang hing heng. Seperti kasus vina di ceribon sana. Kasus salah tangkap. Salah kaprah dan yang kita gak tahu apa salahnya si pegi.
Beda dengan demo di kepolisian resor. Demo ke dewan perwakilan rada aneh. Tuntutannya salah tembak. Nyasarnya ke pertanyaan mengapa kasus ini sama sekali tidak dianggap serius.
Gak seriusnya berpangkal dari tidak adanya komentar anggota dewan terhadap pembakaran rico, isteri, anak dan cucu.
Untuk demo yang ke dewan ini saya hanya bisa meng-ejan dengan kata: wantahlah!! Saya sendiri gak apa yang nyelip dipikiran pendemo.
Kalau saya punya hang sendiri untuk tuntasnya kasus ini. Tuntas kalau anda bisa menjawab pertanyaan ini. Pertanyaan tentang : dimana jasad ditemukan?
…apakah di dekat pintu atau jendela atau di atas tempat tidur. Bagaimana ditemukan? .. apakah tertelungkup atau terbaring?
Pertanyaan itu bisa dilanjutkan: ..apakah sudah meninggal dunia sebelum kebakaran? ..sehingga tak bisa melarikan diri dari rumah papan yang sempit seperti itu?
Untuk jawabannya saya bisa bayangkan: panjang …..
Di ujung seluruh jawaban ada kata kesimpulan. Kesimpulan ini merupakan keputusan yang diperoleh dari metode berpikir secara induktif atau deduktif.
Disimpulkan apakah ia dibunuh terlebih dulu sebelum dibakar atau saat dibakar.
Dari sini bisa juga disimpulkan apakah pembakaran itu untuk menghilangkan jejak?
Model demo hang.. saya ini sesuai dengan tugas pokok si wartawan. Tupoksi juranalistik. Investigasi. Yang gak sama dengan investigasi kepo. Kalau yang ini namanya:investigasi report.
Ya udah… geser saja “haba” demo. Geser ke inti kasus Rico yang Sempurna yang juga Pasaribu. Yang secara kejahatan sangat sadis dan mengerikan kalau pertanyaan saya tuntas terjawab.
Karena anak,istri dan cucu ikut jadi korban. Semoga tenang di ‘alam sana’ Rico Sempurna
Saya, anda dan anda.. mengharapkan kejahatan ini segera terungkap.Tidak menunggu ada yang ‘kesurupan’ arwah. Tidak menunggu sewindu baru ramai lagi. Salah tangkap pula.
Saya sendiri panasaran membaca komentar dari rantai berita yang gak lengkap. Sepotong-sepotong. Dan juga banyak yang terpotong.
Untuk itu kemarin pagi usai demo saya putuskan neleponan seorang teman. Ia seorang senior jurnalis investigator sejak dulunya. Teman seliputan di sebuah kantor biro majalah berita.
Dari si teman yang kini masih bekerja di sebuah harian dengan jabatan litbang saya baru tahu kalau pembakaran itu hulu kasusnya judi tembak ikan. “Ada oknumnya,” kata sang teman.
“Oknumnya baju hijau.” Anda gak usah saya ajari kalimat pendek sang teman senior itu. Kan tahu sama tahu siapa yang oknum dan warna bajunya.
Ujar si teman yang marganya juga “pasar-ibu” itu sang oknum bandar toto singapore. Oknum pemilik rumah judi tembak ikan yang ditayangkan di tribrata teve tempat rico menjadi jurnalis.
Oknum yang disebutkan pernah menawarkan ke rico untuk mencabut tayangan itu. Oknum itu sendiri berinitial “hb” berpangkat tamtama
Rico, menurut informasi si teman, pernah menyampaikan ia diminta profit sharing dari bisnis itu Permintaan mana ditolak dan si jurnalis merasa jiwanya terancam.
Saya sendiri kalau membahas perjudian, kok jadi teringat dengan sosok “godfather” pelindung mafia perjudian yg “sialnya” harus masuk bui karena kasus mengeksekusi ajudannya sendiri.
Tentu kasus Rico ini hanya seujung kuku dari jangkauan kekuasaan yang anda sudah tahu heboh kasusnya dua tahun lalu. Ferbo Samdy.
Tahu juga bagaimana aparat menjadi bebek lumpuh setiap menangani kasusnya. Itu gambaran betapa “tangan dingin” selalu datang mengusap setiap kasus.
Haha … saya gak tahu apakah halu-nya masih begitu berkuasanya hingga “manajemen” itu menjangkau tanah karo nun jauh dari lapas yg mengurungnya
Ke si teman yang hafal rumus investigasi reporting saya punya pertanyaan tentang “god father” rantai akhir penangkapan: Bebas ginting. Yang nama sapaan khasnya di kabanjahe sana: Bulang.
Kalau memang ia adalah god father, apakah yang bersangkutan tega menghabiskan nyawa elparibu boru ginting, isteri rico si wartawan yang pasaribu itu. Sesama marga ginting?
Untuk itu saya sekali lagi berharap semoga kasus ini tidak putus sampai di ginting yang god father.
Biarkanlah polisi dengan metode sciI menemukan motivasi dan menangkap penjahat sebenarnya.
Semoga jurnalis rico sempurna pasaribu dan keluarganya yang tewas terbakar “rest in peace.”
Tragis, memang.
Terlepas dari itu kening saya tetap berkerut tentang deskripsi rumah mendiang. Masa iya ukurannya hanya tiga kali empat meter. Berdinding papan pula.
Padahal itu rumah seorang wartawan. Padahal pula isterinya juga berdagang mracangan. Memangnya berapa sih gaji minimal seorang wartawan?
Nalar saya sulit menerima ukuran empat kali tiga meter meter untuk sebuah rumah. Hanya seluas dua belas meter bujur sangkar Seukuran kamar tidur. Dihuni tiga dewasa dan seorang anak kecil.
Dapur dan kamar mandinya di mana? Tetangga saya, tiga puluh tujuh bujursangkar. Koeli bangunan saja. Istrinya jualan dawet keliling bisa bangun rumah ukuran representative.
Berlantai keramik, berplafon gypsum. Memang tidak langsung lantainya keramik. Awalnya hanya semen. Plafon juga baru dipasang setelah tujuh tahun usai rumah itu berdiri.
Tetapi, yang jelas, rerata penghasilan bulanan suami-isteri dengan dua anak usia sekolah dasar itu kurang dari empat juta rupiah.
Pun ia punya motor, kulkas dan mesin cuci. Padahal ia hanya kuli bangunan. Bukan wartawan.
Nama wartawan yang tulis ini: rico. Usia sekitar empat puluh lima tahun. Panggilannya sempurna. Kasusnya tewas terbakar di rumahnya bersama istri, anak, dan cucunya.
Para wartawan sudah mendesak agar aparat keamanan mengungkap sejelas-jelasnya: itu kebakaran atau dibakar. Dibunuh lantas di bakar.
Kecurigaan sengaja dibakar sangat beralasan. Alasannya di dua pekan terakhir, sang wartawan gigih mengungkapkan perjudian sampai backing-backing-nya.
Selain itu ia juga gigih menulis soal peredaran narkoba.Di kabupaten tempat si wartawan me;iput peredaran narkoba menduduki posisi ketiga terbesar di provinsinya
Hanya bisa dikalahkan dua kota lainnya. Medan dan binjai.
Sebagai jurnalis era “waka-waka” saya gak kenal dengan Sempurna. Di era “waka-waka ketika saya masih menjadi jurnalis aktif juga pernah mencatatkan kasus serupa.
Kasus Udin. FM.Syafruddin.
Wartawan harian “bernas.” Bernas yang satu payung manajemen dengan tempat saya bekerja. Bernas-berita nasional- di yogya.
Udin yang tewas di dua puluh delapan tahun silam diketahui setelah tiga malam sebelumnya, dihajar entah siapa.
Kasusnya serupa tapi gak sama. Khalayak umum dengan mudah tahu bahwa pelaku adalah orang suruhan. Suruhan bupati. Bupati bantul yang petahana plus tentara berpangkat kolonel.
Akar persoalannya keinginan sang bupati untuk maju lagi dalam pilbup. Kala itu lewat pemilihan kota suara di dewan perwakilan. Kotak suara yang sudah lebih duluan ketahuan jumlah isinya.
Sebelum meninggal Udin sering menulis tentang kinerja bupati yang buruk dan kotor. Lucunya, polisi menangkap kambing hitam. Bukan kambing putihnya.
Nama kambing hitam itu dwi sumaji. Seorang sopir di perusahaan iklan yang tak tahu “kenthang-kimpul”nya perkara. Untunglah, hakim membebaskan si “kambing hitam.”
Sumaji si kambing hitam terlanjur ditahan beberapa bulan dan mengalami bonyok, Bonyol disiksa untuk mengaku
Yang juga lucu, polisi yang merekayasa kasus itu buru-buru dimutasi ke mabes lagi. Dan mabes menghalangi upaya untuk mengusutnya.
Padahal polisi si perakayasa ini menghilangkan barang bukti berupa sampel darah dan buku catatan korban.
Akan halnya bupati yang kolonel itu, tiga tahun kemudian memang dipenjara. Hanya beberapa bulan. Itu pun bukan terkait tewasnya si wartawan bernas yang hingga kini masih menggantung,
Kasusnya terkait suap satu miliar rupiah uang sebuah yayasan terkenal waktu itu. Yayasan dharmais. Sub judul kasusnya agar ia terpilih kembali sebagai bupati.
Kembali ke rico. Karirnya sendiri sebagai wartawan memang belum sepanjang langkah saya. Ia belum keluar dari titian wartawan lokal. Putus sambung di tiga media.
Dari koresponden harian “senior medan.” Lanjut ke koran “poskota sumatera” terus “pos metro”
Setelah tiga kali berpindah media, sempurna pindah ke media online bernama tribratatv.com tetap di kota kabanjahe. Gak bergeser dari status wartawan lokal.
Hari menjelang tewas itu si jurnalis masih meliput demo antijudi dan antinarkoba. Yang melakukan demo adalah tokoh-tokoh berbagai agama Jumlah pendemo tiga ratus orang.
Mereka demo seperti wartawan sekabupeten karo kemarin. Dua lokasi: pemkab dan polres. Meliput sampai siang setelah itu ke warung kaki lima memesan jus jeruk.
Sempurna kepada seorang temannya mengaku sarapannya agak siang. Masih belum lapar.
Kepolisian sudah menetapkan tersangka. Tiga orang. Nama tersangka terakhir yang ditangkap: Bebas ginting. Usia enam puluh lima tahun.
Menurut hasil penyidikan, ginting-lah yang membayar sopir angkot dan kuli serabutan, dua tersangka yang lebih dulu dicokok, untuk membakar rumah rico.
Yang menyebabkan seisi rumah tewas terbakar: Rico, istri, anak, dan cucu. Termasuk satu-satunya harta berharga milik Rico: sepeda motor tua.
Kerangka hangus sepeda motor itu kini disimpan polisi sebagai salah satu barang bukti.
Menurut berita terbaru ada satu barang bukti lagi yang masih dicari: cincin kawin yang dikenakan di jari manis istri si wartawan. Belum ditemukan.
Anda perlu tahu siapa sebenarnya Bebas Ginting yang disapa Bulang itu?
Kalau Anda tanya di seputar karo hingga ke puncak sinabung sana semuanya tahu namanya, tapi takut mengucapkannya
Menurut teman saya si investigasi senior itu ia preman di atas nomor satu di kawasan itu. Semua orang di sanao tahu siapa yang berkuasa di kawasan pasar sampai terminal. Dan seterusnya.
Untuk sementara saya mengacung jempol untuk polisi di sana. Mereka punya nyali menangkap preman di atas nomor satu.
Muasal bulang ditangkap rupanya dua tersangka pelaku pembakar rumah jurnalis itu kompak menyebut namanya sebagai yang membayarnya.
Gintin yang preman ini masalah dicokok polisi sudah biasa. Ia menganggap para penangkap sebagai teman. Itu bagian dari kejagoannya.
Maka kalau perkara ini terus bergulir firasat saya rantainya akan putus sampai di ginting. Tidak akan bisa sampai ke siapa yang membayar di ujung ginting. Itupun kalau ada.
Soalnya, seperti dikatakan teman saya si investigator senior itu Rico gak pernah mengaitkan nama ginting sebagai backing judi dan narkoba dalam tulisan-tulisannya. Mungkin enggan.
Penyebabnya, mungkin, soal ginting juga. Kan nama isterinya juga boro ginting. Kan gak mungkin harus menuding seorang “opung.”
Bagi saya muncul pertanyaan baru atas kasus ini dikaitkan dengan preman ginting.
Logikanya: Ginting tidak ada urusan dengan Rico sebagai wartawan. Lalu untuk apa si preman membayar dua orang itu untuk membakar rumah si wartawan?
Apa motifnya. “Sabar,” pinta si teman senior. “Masih terus didalami dan pada saatnya nanti akan telepon ulang untuk menjelaskannya,” kata si teman.
Yang lantas saya balas: “bah… macam pejabat polisi saja kau kawan.”