Namanya Bahrun Suwatdi. Kini sudah jadi guru besar. Orangnya gemuk dan pendek. Dari dulu perawakannya sudah begitu.
Gak pernah berubah. Yang berubah hanya angka umur dan warna rambutnya.
Orangnya terkesan acuh…. seperti gak pernah serius. Walaupun sudah menyandang status professor doktor di universitas ternama. Acuh juga terhadap temuan banyak foklor himpunannya.
Foklor-himpunan cerita rakyat- yang jadi bidang penelitiannya sebagai akademisi ilmu budaya. Yang kalau ditanya tentang penelitiannya itu ia selalu mengibaskan tangan.”Ahh..,” keluhnya
Kemarin pagi saya menerima panggilan teleponnya. Ia menyapa sekenanya. Bikin janji seenaknya. Ingin ketemu. “Siang ini,” katanya ringan. Seringan ajakannya yang tanpa beban.
“Terserah saja kau mau dimana,” lanjutnya. Semua itu juga diucapkannya seenak dan sekenanya.
Saya gak mengumpat. Apalagi gerudel. Sudah tahu pilo-oh Bahrun gak pernah berubah. Dan tak akan berubah. Sejak mengenal, berteman dan ber..ha..hi..hu..he..ho sepanjang lima puluh tahun.
Dari deretan angka algoritma perangainya itu hanya satu yang berubah ketika dia duduk berselonjor menyedot “arabica” dan sebongkah roti di sudut meja gerai starbuck.
Di sebuah mall. Bakda zuhur kemarin.
Yang berubah itu ia bisa serius menggali lobang kenangan di awal kebersamaan kami kala menjadi jurnalis junior di sebuah masa kejayaan nasi kapau “uni fat” kramat raya dulu.
Kebersamaan di sebuah majalah berita mingguan era nasi kapau ketika senen raya-kramat raya dan salemba masih menjadi poros yang belum dihalangi oleh flyover panjang seperti hari-hari ini.
Era itu saya dan Bahrun sering boncengan di motor yamaha berknalpot sember sebagai sesama koloni jurnalis sepatu sol bermerk reporter investigasi.
Frasa sepatu sol itu selalu memikat saya. Saya memakainya sebagai ungkapan untuk pekerjaan seorang jurnalisme investigasi. sol sepatu.
Kalau Anda menolak penamaannya jurnalis tipe begini terserah saja. Abaikan saja. Intinya, saya mau mengajak Anda untuk mengambil pesan utamanya: reporter datang dan melihat.
Jurnalis sepatu sol ini mengingatkan saya dan Bahrun ketika menjalankan tugas untuk mengangkat tema kasus-kasus yang gak biasa. Bukan kasus-kasus biasa.
Kasus-kasus yang tidak akan bisa diungkapkan oleh jurnalis jenis “wartawan kabel.” Ataupun wartawan rilis maupun konprensi pers.
Jenis wartawan ini di media kami dilabel dengan koloni reporter. Untuk membedakannya dengan koloni lainnya: koloni penulis. Dua koloni ini hanya istilah saja. Gak pembagian secara resmi.
Yang namanya koloni reporter kebanyakan mereka yang pandai dalam mencari berita.Pintar dalam menembus narasumber.
Bisa mendapatkan banyak data dari lapangan. Tekun dan gigih dalam menghasilkan satu informasi untuk berita utama majalah.
Mereka yang termasuk kelompok ini punya keuletan luar biasa dalam mendapatkan berita yang eksklusif. Jejaringnya banyak. Informasi bisa didapat dari manapun dan sebagainya.
Saya dan Bahrun berada di koloni ini. Akan tetapi, koloni ini punya “kecenderungan” kurang mampu dalam mengurai naskah menjadi senarai yang memikat.
Mungkin karena datanya bertumpuk, sebagian besar kurang mampu mengejawantahkan semua ke dalam satu naskah yang baik.
Namun, ini hanya kecenderungan ya. Saya hakulyakin, saya yang masuk ke dalam koloni reporter juga piawai menulis. Seperti tulisan ini dan tulisan di kolom titik..titik.. hahaha…
Mohon jangan dibahas lanjut… ini kecenderungan meskipun reporter di koloni ini sering mengaku memang payah kalau menulis.
Beda dengan koloni yang satu lagi namanya koloni penulis. Mereka yang masuk dalam koloni ini punya kemampuan menulis yang cakap. Pemahaman bahasa yang mumpuni.
Punya keahlian dalam meramu bahan yang terbatas menjadi tulisan yang memikat. Punya kemampuan merangkai kata dengan apik dan resik. Enak dibaca dan memikat pembaca.
Akan tetapi, mereka yang termasuk di kelompok ini rada sulit kalau disuruh liputan. Kurang cakap dalam menemukan angle berita dan punya kecenderungan susah menembus narasumber.
Umumnya mereka yang di koloni ini kebanyakan sastrawan yang punya kemampuan meramu bahasa dengan baik. Maka itu, bahasanya indah dan enak dibaca.
Fungsi penyuntingan dari koloni penulis di sini, sangat diandalkan.
Pendek kata, dengan bahan liputan yang terbatas, di tangan para penulis ini, berita dan artikel lain mampu dipoles sehingga lengkap dan enak dibaca.
Nah, kalau merujuk ke sini, Anda termasuk yang mana nih? Masuk kelompok penulis atau reporter. Terserah aja
Ini perihal kecenderungan. Saya meyakini ada orang yang bisa kedua-duanya. Piawai melakukan reportase dan cakap dalam menulis serta melakukan penyuntingan.
Khusus bagi saya dan Bahrun mengingat kerjaan di koloni reporter itu kami sering cekek..an. Maklum, kami sering diiingatkan pekerjaan reporter adalah kerja tangan dan kaki.
Artinya, pekerjaan wartawan pertama-tama adalah berada di lapangan, mengamati detail peristiwa, menjumpai sosok-sosok, hingga menemukan rasa dari peristiwa itu.
Hidup wartawan bukanlah di kantor, tapi di jalanan. Belajar bahwa jujur terhadap fakta sebenarnya merupakan moralitas jurnalistik.
Disiplin verifikasi fakta dan mengemas dengan sentuhan humanisme membuat tulisan-tulisan sangat kaya, menyentuh, dan menggugah. Bisa memberi kenikmatan tekstual.
Untuk itu banyak liputan dari koloni ini bergenre naratif
Saya tahu dan banyak membaca karya hebat jurnalis-jurnalis yang berdisiplin. Mereka bekerja lebih keras dan berani keluar dari zona kenyamanannya demi produk-produk jurnalistik bermutu.
Khususnya dalam mengangkat kelaliman penguasa, membongkar kebohongan pejabat, korupsi, hingga fakta-fakta orang-orang kecil dan tertindas.
Sampai merelakan dirinya disiksa, dijebloskan ke penjara, hidup dalam persembunyian dan pelarian, atau bahkan dibunuh.
Di era tsunami informasi atau era pascakebenaran di mana kita kewalahan membedakan fakta dan kabar bohong, disiplin verifikasi sangatlah menantang bagi wartawan masa kini.
Dunia terus berubah, namun prinsip-prinsip dasar jurnalisme kekal abadi. Memang terjadi kultur copy paste dan malas melakukan verifikasi sebagai penyakit jurnalis hari ini.
Bamun begitu saya berani mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Diisiplin verifikasi mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat.
Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Kita tidak berkomunikasi hanya dengan kata-kata, tetapi dengan mata, dengan nada suara, dan dengan gerakan.
Saya dan Bahrun di jumpa tendang kenangan itu masih percaya jurnalisme memiliki masa depan di era kegaduhan media sosial saat ini.
Masa depan itu terletak pada kesetiaan para jurnalis pada prinsip-prinsip jurnalisme.
Era media sosial telah melahirkan para kaum pendengung atau buzzer yang jauh dari disiplin verifikasi.
Apalagi kalau para pendengung ini mendengung karena diminta. Kasarnya dibayar oleh penguasa. Termasuk untuk mendengungkan kebohongan-kebohongan dan propaganda.
Sekali lagi, “datang dan lihatlah.” Kita akan melihat dan merasakan sendiri betapa besarnya kerusakan akibat kejahatan yang didiamkan.
Semua ini membutuhkan keberanian. Mengingat kebenaran selain memerdekakan, juga menyakitkan.
Jargon ini selain menarik juga menjadi pengingat bagi wartawan seperti saya. Datang dan melihat sendiri peristiwa menjadi pesan utama. Ini bukan barang baru di dunia jurnalisme.
Ini tak ubahnya seperti lonceng pengingat bahwa esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.
Saya tahu dari dulu krisis industri penerbitan berisiko mengarahkan pemberitaan yang hanya dirancang di ruang redaksi, di depan komputer, di pusat-pusat berita, di jejaring sosial,.
Tanpa pernah keluar ke jalan, tanpa ketemu orang untuk mencari cerita atau memverifikasi situasi tertentu dengan mata kepala sendiri.