Entah kenapa pembicaraan kami kemarin siang melenceng tentang integritas wartawan. Integritas yang oleh seorang teman di hari temu wicara itu diteriakkan dengan suara keras telah tergerus.
“Di sana,” katanya dalam kalimat mendongak,” tak ada lagi integritas.”
“Di sana yang nampak adalah wajah cecunguk. Wajah ketika mereka menunggu pembagian amplop usai wawancara atau usai sebuah temu pers.”
Wajah yang pernah dikeluhkan oleh seorang ponakan saya: bagai tukang todong. Tukang ancam bak preman. Ancamannya bengkok oleh uluran tangan tempelan amplop.
Tak terbantahkan, integritas menjadi landasan utama moralitas seorang wartawan.
Saya tahu wartawan yang berintegritas selalu menjunjung tinggi kejujuran dalam melaporkan berita, dan tidak membiarkan tekanan eksternal
Tekanan seperti kepentingan politik, ekonomi, atau sponsor dalam mempengaruhi proses jurnalistik mereka.
Integritas juga tampak dalam cara wartawan menjaga keseimbangan untuk memberitakan semua pihak secara objektif dan tidak memihak.
Lebih dari itu, integritas seorang wartawan diuji saat harus menjaga kerahasiaan sumber informasi.
Dalam banyak situasi, wartawan menerima informasi dari narasumber yang ingin tetap anonim.
Menjaga kerahasiaan ini merupakan salah satu tantangan terbesar, karena kegagalan melindungi identitas sumber dapat merusak kepercayaan publik dan rekan sejawat terhadap kredibilitas mereka.
Saya dari dulu selalu mengatkan integritas seorang wartawan pada akhirnya bergantung pada hati nurani individu.
Di tengah perkembangan teknologi dan tekanan komersial yang mendorong jurnalisme menjadi lebih mekanis, hati nurani wartawanlah yang menjadi panduan dalam membuat keputusan yang tepat.
Ketika menghadapi dilema, saat batas antara benar dan salah tampak samar, wartawan yang berpegang pada hati nurani akan selalu mempertanyakan: “apakah ini tindakan yang benar?
Apakah berita ini bermanfaat bagi masyarakat?”
Sang ponakan yang pejabat protokol dan kehumasan di sebuah kabupaten sering minta advis. Advis bagaimana menghadapi wartawan yang garang dengan cerocos punya ini itu…
Sebagai “old crack” journalism advis saya: lecehkan saja. Suruh tulis saja dari ini dan itu miliknya
Saya tahu jenis manusia yang begini. Mereka menggali lobang sendiri.
Dulu pun banyak wartawan begini berkeliaran. Mereka tak perlu lagi menggali dan menggali lobang yang menganga dari pertanyaan yang gak ada jawaban.
Padahal seorang wartawan harusnya pantang surut untuk mendapatkan berita depth.
Saya sebenarnya tahu arah suara keras sang teman. Wartawan itu harusnya tak bisa dibeli.
Tiap kali ada godaan buat lembek dan menyeleweng, tiap kali ia harus ingat ada orang lain yang mungkin sekali celaka, atau tertipu, karena kebohongan beritanya.
Anda mungkin sepaham dengan saya. Atau tidak sepaham tentang menulis adalah adalah “laku moral.”
Yang bicara tentang kebenaran. Dan harus berani menyatakan kebenaran. Saya kenal banyak wartawan.
Diantara mereka tahu soal kebusukan petinggi negeri ini. Mereka tahu redaktur mereka mulai sering ditelepon bedinde-bedinde si petinggi.
Kok nulis ini? Kok nulis itu? Tapi mereka tak punya keberanian. Mereka takut bisnis mereka terganggu. Maka “himbauan” si bedinde diikuti.
Akibatnya, banyak cerita di belakang layar yang tak ditulis di negeri ini. Mereka ketakutan macam anjing sembunyi ekor di balik pantat.
Jadi, kalau kau mau menulis, hanya dua syarat sederhana. Kau harus tahu sekecil apapun yang kau tulis.
Kau harus berani.Itu sebabnya bukan hanya ada latihan teknis untuk mendapatkan data yang akurat, tapi juga ada prinsip untuk menolak ”amplop” dan suap.
Prinsip ini tak bermula ketika seseorang memilih jalan hidup sebagai jurnalis.. Mereka seharusnya melakukan penguatan tembok hingga sogokan tak tembus ke angan-angannya.
Dulu, seingat saya. ketika masih menyandang status wartawan lapangan, ada kesadaran sebuah berita yang dihasilkannya adalah sebuah kerja tim
Sebuah kerja yang anggota timnya bisa berubah, dan sebuah berita selalu diperiksa setidaknya dua lapis redaksi.
Perjalanan berita macam ini tak hanya mencegah yang buruk. juga menumbuhkan rasa harga diri ke kalangan pembaca.
Di era itu tiap wartawan mampu menjamu para humas—dan dengan itu membalikkan praktek sebelumnya, di mana sang reporter yang selamanya dijamu.
langkah ini menjadikan wartawan sebagai oknum yang dihormati, dan pada gilirannya, merasa diri kukuh. Ia jadi subyek yang merdeka.
Harga diri ini tampaknya terbawa ke saat ini ketika setiap pertemuan saya harus membayari kupi pancung dan pulut panggang di setiap reuni.
Seorang teman yang sama sepuhnya dengan saya selalu mengejek dengan suara heroik yang berbisik: ”Kan kita semua sudah dibiasakan menolak amplop.”
Jurnalisme adalah sebuah posisi ethis ketika ia bersiteguh untuk merdeka, sebab hanya dengan kemerdekaan itu rasa tanggung jawab dan harga diri tumbuh.
Tentu saja, hanya kebenaran sebagai sesuatu yang didukung. Dan itu berarti mengecek pelbagai hal dengan kesaksian “mata dan kepala” sendiri.
Tapi seperti para pendaki gunung dan tebing, dalam kegigihan itu juga perlu dijalin rasa saling percaya dalam sebuah tim.
Di sini, posisi ethis menyentuh ke sesama teman sekerja: tak boleh ada curang-mencurangi. Tak perlu mendahulukan kepentingan diri, ketika ia punya kekuasaan yang besar.
Seperti yang saya kenang dari senior saya dulu. Ia tak pernah mau menerima fasilitas apa pun tanpa aturan yang berlaku bagi siapa saja. Ia bukan orang yang berkhianat dengan profesi ini.
Dalam masalah-masalah ethis, saya selalu bersandar padanya Sebenarnya ia memiliki banyak peluang untuk jadi sesuatu. Tapi ia tahu l’esprit de corps dan kerja tim amat menentukan dalam ikhtiar itu.
Saya tahu pada mula dan pada akhirnya, jurnalisme, justru di sisinya yang tak tampak, adalah setiakawan
Jurnalisme tak bermula ketika kabar disiarkan. Tiap kali sebuah berita terbit, ada sisi yang kelihatan dan ada yang tak kelihatan. Bagian yang tak tampak sebenarnya lebih besar perannya.
Para pembaca umumnya tak ingat bahwa hampir tiap kalimat, foto, dan gambar ditopang oleh sebuah aturan dan sistem kerja, perencanaan anggaran, persiapan logistik, juga latihan keterampilan
Juga: pembentukan l’esprit de corps.
Sayangnya, sejarah jurnalisme selalu mengabaikan yang tak kelihatan itu. Saya tahu salah seorang yang tak kelihatan itu adalah sang teman
Bagi saya, dialah penuntun sikap kerja yang seperti para pendaki gunung dan tebing. Puncak, tujuan itu, harus dicapai.
Untuk itu dibutuhkan ketabahan pribadi; dan tak kurang penting: kerja sama yang saling mempercayai. Tak banyak pidato langsung saja memberi contoh.
Itulah spirit…..