Pernah merasa kesal banget karena dengar suara orang mengunyah, meletupkan permen karet, atau bahkan suara orang bernapas?
Ternyata kondisi seperti ini ada sebutannya, yaitu misophonia.
Anda tahu apa itu misophonia?
Secara literal misophonia bisa diterjemahkan sebagai ‘kebencian terhadap suara.’ Kondisi dimana suara memicu reaksi ekstrem dari penderitanya.
Kondisi tersebut juga diketahui sebagai sindrom sensitivitas selektif suara.
Mungkin masih banyak yang belum tahu bahwa mereka merasa terganggu akibat suara-suara tertentu diidentifikasi sebagai misophonia.
Suara-suara tertentu, seperti suara mengunyah, meletupkan permen karet, mengetuk jari berulang-ulang,
mengeklik pulpen, bahkan bernapas, bagi sebagian orang justru menjadi suara yang mengganggu.
Misophonia berarti “rasa tidak suka yang sangat ekstrem” atau “kebencian” terhadap “suara”.
Istilah ini diciptakan ilmuwan asal Amerika bernama Pawel dan Margaret Jastreboff pada dua puluh tujuh tahun lalu.
Penyakit ini berasal dari otak yang tidak merespons suara dengan baik.
Orang yang menderita misophonia merasa stres akibat mendengar suara-suara tertentu. Dalam keadaan yang sangat ekstrem, mereka bisa merasa ingin melakukan tindak kekerasan.
Bagi orang awam, kondisi penderita misophonia mungkin dianggap konyol.
Masa mendengar suara orang mengunyah makanan saja bisa sangat terganggu?
Padahal bagi penderita misophonia, itu bukan hal yang konyol. Mereka bisa sangat tidak tahan mendengarnya hingga stres.
Ada penderita yang kadang membalas dengan menyuruh orang itu berhenti, ada yang menahannya, namun ada pula yang langsung pergi.
Reaksi yang dialami berbeda-beda sehingga misophonia masih dianggap bukan penyakit yang serius, bahkan oleh penderitanya sendiri.
Misophonia secara umum diasoasikan dengan rasa terganggu saat mendengar suara tertentu, mulai dari suara bising akibat kendaraan atau pembangunan.
Jika sudah parah, penderitanya bisa terpicu dengan suara-suara kecil seperti mengunyah atau mengecap, berdeham, dan suara ketukan meja.
Semakin parah tingkat misophonia, pengidapnya semakin tidak bisa bersosialisasi, karena lingkungan dianggap terlalu bising.
Dia pun bisa jadi mudah terpicu melakukan tindakan ekstrem akibat suara-suara di sekelilingnya.
Untuk Anda tahu, suara, tanpa disadari bisa menjadi salah satu penyebab stres.
Suara bising, seperti teriakan anak-anak, peluit kereta api, klakson kendaraan atau bahkan suara orang makan sambil mengecap, ternyata bisa memicu gangguan emosi.
Terutama, bagi mereka yang mengidap misophonia.
Secara medis, misophonia berarti gangguan emosi dan fisik yang dipicu oleh suara.
Tidak hanya itu, mereka dengan misophonia parah bisa mengalami kecemasan parah bila berada di lingkungan bising.
Kondisi tersebut juga diketahui sebagai sindrom sensitivitas selektif suara.
Misophonia umumnya diasoasikan dengan rasa terganggu saat mendengar suara tertentu, mulai dari suara bising akibat kendaraan atau pembangunan.
Jika sudah parah, penderitanya bisa terpicu dengan suara-suara kecil seperti mengunyah atau mengecap, berdeham, dan suara ketukan meja.
Semakin parah tingkat misophonia, pengidapnya semakin tidak bisa bersosialisasi, karena lingkungan dianggap terlalu bising. Dia pun bisa jadi mudah terpicu melakukan tindakan ekstrem akibat suara-suara di sekelilingnya.
Pasien dengan misophonia kerap melaporkan rasa panik, kecemasan dan agresi yang tidak terkontrol.
Mereka juga melaporkan keluhan fisik seperti sakit kepala, nyeri dada, atau bahkan rasa nyeri di seluruh tubuh yang ditandai dengan meningkatnya rasa kaku otot.
Beberapa pengidap melaporkan peningkatan suhu tubuh, tekanan darah atau jantung yang berdetak lebih cepat saat ‘serangan’ berlangsung. Lainnya melaporkan telapak tangan yang berkeringat dan sesak napas.
Penderita misophonia kerap mengasosiasikan suara dengan hal-hal negatif yang merujuk pada agresi, seperti “Saya ingin memukul orang ini” dan “Saya benci orang ini”.
Janie Richardson, jurnalis Irish Times dan juga pengidap misophonia, mengatakan, “Misophonia yang saya rasakan seperti mendengar suara yang sangat mengganggu di segala penjuru dan membuat saya ingin berteriak dan berlari.”
Cara paling umum mengatasi misophonia adalah dengan menghindari suara bising. Namun, hal ini tentu bisa jadi gangguan bagi kegiatan sehari-hari.
Alternatif lainnya adalah melakukan meditasi dan mencari solusi melalui kelompok pendukung. Cara lain yang juga lazim dilakukan adalah dengan menggunakan earphone atau sumbat telinga.
Jika misophonia sudah sangat parah, obat-obatan bisa jadi solusi. Obat antidepresan, antikecemasan ataupun obat-obatan ADHD, bisa mengurangi gejala misophonia.
Cara lainnya adalah dengan melakukan terapi perilaku kognitif untuk mengalihkan agresi dan pikiran negatif saat mendengar suara tertentu.