Ini dia sebuah pertanyaan klasik
Mana yang lebih buruk kebanyakan gula atau kebanyakan garam?
Ya, kita sudah sering mendengar bahwa kebanyakan makanan yang manis atau asin berbahaya buat kesehatan.
Baik gula dan garam masing-masing memang punya risikonya sendiri bagi tubuh. Namun, di antara keduanya, sebenarnya mana yang lebih buruk?
Apakah kebanyakan gula atau kebanyakan garam?
Gula dibutuhkan manusia sebagai sumber karbohidrat sederhana. Karbohidrat diperlukan untuk menghasilkan kalori
Energi sendiri digunakan untuk menjalankan bermacam-macam tugas. Misalnya fungsi kognitif otak, fungsi sistem pencernaan, dan fungsi gerak tubuh.
Sementara itu, zat mineral bernama natrium yang terkandung dalam garam dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh.
Pada dasarnya, kelebihan asupan apa pun tak baik buat kesehatan Anda. Akan tetapi, tak ada salahnya untuk mencari tahu perbandingan bahaya antara pola makan kebanyakan gula dan kebanyakan garam.
Kekhawatiran terbesar para ahli gizi dan tenaga kesehatan seputar bahaya kebanyakan garam adalah risiko tekanan darah tinggi
Ini karena dalam tubuh, natrium dalam garam bertugas untuk menahan cairan dalam tubuh.
Kalau seseorang kebayakan garam, makin banyak pula cairan yang menumpuk atau terjebak di pembuluh darah, ginjal, jantung, serta otak.
Akibatnya, ia bisa mengalami hipertensi. Hipertensi dapat meningkatkan risiko komplikasi yang fatal seperti serangan jantung, gagal jantung, dan stroke.
Bahaya dari kebanyakan konsumsi gula jauh lebih rumit daripada garam.
Kalau kebanyakan garam meningkatkan risiko kena penyakit jantung, kebanyakan gula efeknya bisa menjalar ke mana-mana.
Gula berlebihan akan disimpan tubuh sebagai cadangan lemak. Maka mengonsumsi gula kebanyakan membuat kita cepat gemuk.
Namun, kebanyakan makan gula juga bisa meningkatkan risiko hipertensi, obesitas, diabetes, stroke, penyakit jantung, dan kanker. Ini karena kadar gula berlebih bisa menyebabkan peradangan serta penuaan sel-sel dalam tubuh.
Seperti dijelaskan oleh ahli gizi dari Pennsylvania State University, Dr. Mike Roussell, kebanyakan gula lebih bahaya daripada kebanyakan garam karena ternyata keduanya saling berkaitan.
Kalau kita kebanyakan gula, tubuh akan memproduksi hormon insulin untuk mencerna gula. Padahal, hormon insulin akan meningkatkan fungsi natrium untuk menahan cairan di ginjal.
Hal ini tentu mengarah pada akibat yang sama seperti kebanyakan makan garam, yaitu risiko hipertensi.
Meskipun kebanyakan gula ternyata lebih berbahaya daripada kelebihan garam, bukan berarti kita tak boleh mengonsumsi keduanya sama sekali.
Pasalnya, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, tubuh tetap memerlukan gula dan garam dalam batas wajar.
Untuk asupan garam, batasi sampai satu sendok teh dalam sehari. Kita juga sebaiknya menghindari konsumsi makanan atau camilan dalam kemasan.
Pasalnya, makanan kemasan memiliki kandungan gula dan garam jauh lebih tinggi daripada makanan yang kita olah sendiri.
Para ilmuwan di Selandia Baru telah menemukan bukti awal bahwa gula sederhana seperti glukosa dapat mengganggu kemampuan kognitif, kemampuan yang mencakup kegiatan mental
Studi yang dipublikasikan di jurnal Physiology & Behavior menemukan bahwa pemanis yang mengandung glukosa berdampak pada menurunnya perhatian dan waktu respon.
“Saya kagum dengan bagaimana indra memengaruhi perilaku dan mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari,” kata penulis studi Mei Peng, dosen ilmu sensorik di Universitas Otago.
“Secara khusus, bagaimana konsumsi gula bisa mengubah cara kerja otak kita. Dalam kasus persepsi manis, kita telah berevolusi untuk menyukai rasa ini.”
Penelitian sebelumnya tentang konsumsi glukosa menghubungkannya dengan peningkatan kemampuan ingatan.
Namun, penelitian yang meneliti efek glukosa pada proses kognitif memberikan hasil yang cukup beragam. Dalam penelitian terbaru, i minuman manis yang mengandung glukosa, sukrosa, fruktosa, atau sucralose sebelum menyelesaikan tiga tes kognitif.
Tiga tes terdiri dari penugasan untuk waktu respon sederhana, pemrosesan aritmatika, dan efek Stroop, yang bertujuan melihat kemampuan psikologis seseorang.
Para peneliti juga mengukur kadar gula darah partisipan selama pengujian.
Mereka menemukan bahwa peserta yang mengonsumsi glukosa atau sukrosa cenderung melakukan tes kognitif lebih buruk daripada mereka yang mengkonsumsi fruktosa atau sucralose. Tubuh manusia mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.
Namun tidak seperti glukosa, fruktosa tidak melintasi sawar darah otak.
“Studi kami menunjukkan bahwa ‘sugar coma’—yang berkaitan dengan glukosa—memang merupakan fenomena nyata, di mana tingkat perhatian menurun setelah konsumsi gula yang mengandung glukosa,” kata Peng kepada PsyPost.
Efek ini diperkuat dengan peserta yang berpuasa selama sepuluh jam sebelum penelitian. Peneliti mengakui bahwa ukuran sampel penelitian in relatif kecil, namun efek yang diamati cukup besar.
Oleh karena itu, dia menyarankan penelitian selanjutnya harus mengukur seberapa jauh daerah otak berubah setelah mengonsumsi gula, dengan menggunakan teknik neuroimaging.
“Ini akan membantu kita lebih memahami bagaimana penurunan perhatian muncul setelah mengonsumsi glukosa,” ujar Peng.
Dia melanjutkan, seiring makanan yang kian beragam, mudah diakses dan lezat—penting untuk melakukan penelitian lebih banyak di daerah ini untuk memahami pilihan makanan dan perilaku makan.
Penelitian dengan judul ‘The “sweet” effect: Comparative assessments of dietary sugars on cognitive performance’ juga ditulis bersama Rachel Ginieis, Elizabeth A. Franz, dan Indrawati Oey.