Peumayong.
Apakah Anda tahu dengan kata itu? Kalau jawabannya tidak marilah kita “berdamai” menelusuri sejarah panjangnya
Sejarah dari Peumayong yang iya juga dengan Peunayong
Sebuah kata dari dialek “hokian,” yang berarti memayungi.
Sebuah kata yang penuh dengan makna falsafah keteduhan.
Peumayong, yang iya juga dengan Peunayong, dulunya, dan juga hingga kini, adalah gampong keteduhan yang sangat “sibuk” di sudut timur pusat kota Banda Aceh.
Sebuah gampong “keramaian” yang sarat dengan kedamaian dan tak pernah “tidur” karena di “stempel” sebagai pusat pasar.
Peunayong memang tak terbantahkan memang gampong sibuk. Gampong pembauran dengan akar sejarah panjang sebagai gampong “donya,” tempat mekarnya pembauran etnis, terutama china.
Untuk itu pula secara tak terelakkan Peunayong sering “dikatai” sebagai gampong china. “China Town.”
Gampong yang tidak hanya dihuni mayoritas China tapi juga ada Persia dan India. Dan mayoritas Cina
Bagi Anda, bila datang ke Banda Aceh, sesekali datanglah ke gampong ini. Telusuri relief sejarah dari keragaman kultur yang ada di dalamnya.
Anda, so pasti, akan menemukan ramainya suara “cing cong hoa” beserta kuliner khas yang dijual dan disajikan di sana.
Di sana Anda juga akan terperangah menyaksikan deret bangunan pertokoan berarsitek “hokian” yang masih utuh sebagai “peninggalan” kejayaan yang pernah dimilikinya.
Ya, pertokoan yang masih utuh, dan rencananya, akan tetap utuh untuk diremajakan sebagai pengingat jejak sejarahnya.
Selain itu sapukanlah pandangan Anda di beberapa sudut tembok pertokoannya pada hari takziah itu
Anda pasti akan menemukan grafiti unik dari banyak sketsa. Dan salah satunya ada sketsa dua laki-laki yang saling berjabat tangan. Satu menggunakan pakaian Adat Aceh, satu lagi pakaian Tionghoa.
Gambar itu makin mematrikan ingatan kita kembali tentang sejarah perdamaian dikala terjadi perdagangan antara masyarakat Aceh dan etnis Tionghoa beberapa abad silam.
Itulah sekelumit kisah ringkas kota tua bernama Peumayong.
Iya juga ketika Peunayong mengukuhkan dirinya sebagai sebuah gampong tua di Banda Aceh.
Gampong ini, awalnya, memang didesain oleh sejaran, baik di zaman keemasan Aceh, maupun Belanda sebagai Chinezen Kamp atau Pecinan.
Disana memang ada dominasi Cina dari Suku Khe, Tio Chiu, Kong Hu, Hokkian dan sub-etnis lainnya.
Kegiatan perdagangan di kawasan tersebut, cukup menonjol. Karena berdagang merupakan mata pencaharian utama suku Cina, yang umumnya tumbuh di lingkungan pusat bisnis.
Pada masa kejayaan Aceh di zaman daulat Sultan Iskandar Tsani, ibukota kerajaan dibangun Taman Ghairah, satu taman tempat bercengkerama keluarga sultan yang juga ada balai Cina
Orang-orang Cina di Banda Aceh banyak berperan dalam perdagangan. Mereka, menempati rumah yang berdekatan satu sama lainnya di salah satu ujung kota di dekat laut dan daerah mereka itu saat ini dinamakan Kampung Cina.
Menurut catatan sejarah, para pedagang termasuk pedagang dari Cina, selain ada yang tinggal dan berdagang secara permanen di ibukota Aceh, ada juga pedagang musiman. Pedagang itu datang dengan kapal layar.
Kapal-kapal Cina membawa beras ke Aceh. Mereka tinggal dalam perkampungan Cina, di ujung kota dekat pelabuhan. Mereka menurunkan barangnya di pelabuhan untuk selanjutnya didistribusikan.
Lokasi tempat menurunkan barang tersebut kini dikenal sebagai Peunayong
The Chinatown Aceh di Peunayong merupakan kota “spesial”. Julukan spesial karena memberikan rasa aman kepada para tamu yang datang ke daerah ini
Lantas bagaimana dengan eksistensi Penayong kedepannya?
Di masa depan Peunayong memang sudah disiapkan menjadi ikon sejarah. Ia akan tampil sebagai lokasi Kota Tua yang akan menjadi tempat ruang kumpul di masyarakat tanpa memandang strata tentunya.
Dan orang akan datang tidak hanya berwisata sejarah saja, tentunya juga mencari tempat-tempat ikonik. Terus banyak juga kuliner yang istimewa di sana, semua dipadukan dengan sangat unik tentunya.
Menyulap wajah Peunayong yang kini sangat semrawut dan sangat sempit itu merupakan tantangan baginya. Butuh edukasi, pengertian, dan dukungan masyarakat agar semua berjalan dengan lancar.
Namun, mewujudkannya bukanlah hal yang mudah. Menyulap wajah Peunayong yang kini sangat semrawut dan sangat sempit itu merupakan tantangan. Butuh edukasi, pengertian, dan dukungan masyarakat agar semua berjalan dengan lancar.
Daerah ini menjadi simbol keberagaman, dimana berbagai macam etnis duduk di sini dengan aman, damai dan tentram.
Untuk memaksimalkan hal itu Banda Aceh harus ditata. dengan memindahkan pasar di pusat kota itu ke daerah Lamdingin, Kuta Alam, yang kini dinamakan pasar ‘Al Mahirah’.
Kemudian, mengandalkan wisata air yang merupakan bagian dari konsep waterfront city, untuk memberikan ruang bagi pengusaha kuliner yang selama ini berdagang di badan jalan di kawasan Peunayong dengan membangun culinary riverwalk.
Kios kuliner yang selama ini sudah berjalan akan dimodifikasi, dilengkapi dengan pemasangan atap.
Bersebelahan dengan Peunayong, di seberang sungai nantinya akan dibangun hotel dan pusat perdagangan yang bangunannya akan menyerupai Twin Tower di Kuala Lumpur, Malaysia atau menara Petronas, tepatnya di bekas terminal Keudah.
Ini pun akan mendukung wacananya menjadikan daerah itu sebagai destinasi wisata kota tua.
Namun, mewujudkannya bukanlah hal yang mudah.